Mursyid sedang khusyuk membaca The Catcher in The Rye di sebuah bangku panjang pinggir jalan simpang empat lampu merah tak jauh dari kampusnya ketika tiba-tiba seseorang duduk di ujung berlawan dari bangku itu dan berbisik padanya; “Membaca buku itu hanya membuatmu terlihat dungu seperti Holden Caulfield.”
Mursyid terkesiap seraya menoleh ke arah datangnya sumber suara. Ia menyipitkan matanya, berusaha mengenali orang itu. Namun pandangannya masih kabur tersebab pantulan sinar lampu yang terpasung pada sebuah tiang di sisi kiri bangku panjang; bias sinarnya menghunjam matanya yang terlampau lama menatap lembar-lembar kertas di pangkuannya. Dengan sedikit rabun, ia berupaya mengenali wajah orang yang bicara padanya. Dan saat pandangannya mulai sedikit jelas, Mursyid terlonjak dari duduknya usai menyadari orang yang berbicara padanya tampak mirip dengan dirinya.
Lekas ia berpaling, melepaskan kaca matanya, mengucek-ucek kelopak matanya, lalu kembali memasang kaca matanya seraya menggeridip. Setelah memastikan pandangannya tak lagi berkunang-kunang, ia bernafas lega mendapati seorang bocah berperawakan agak gemuk duduk di ujung berlawanan bangku tersebut. Melihat kekikukan Mursyid, bocah itu bertanya; “Sedang apa, Kak?”
Dari nada pertanyaan basa-basi serta raut wajah bocah itu yang menyiratkan keheranan, Mursyid ragu bocah itu yang berbicara padanya sebelumnya. Meski begitu, ia tak dapat menangkap perbedaan suara di antara pernyataan atau pertanyaan yang ia dengar belum lama ini; keduanya terdengar sama lugas. Tapi jika benar bocah itu yang berbicara sebelumnya, bagaimana bisa pandangannya menipu dirinya? Ia merasa yakin bahwa dirinya telah melihat dirinya yang lain atau seseorang yang begitu mirip dengan dirinya duduk di tempat bocah itu belum lama ini.
Lagi pula, tahu apa bocah yang kesehariannya hanya mengamen ini dengan tokoh utama novel yang sedang kubaca? batinnya.
Karena tak ingin ambil pusing dengan apa yang baru saja terjadi, lebih-lebih agar bocah kecil di hadapannya segera pergi, Mursyid merogoh sakunya dan memberikan dua keping receh pada bocah itu. Lantas bocah itu mengambil recehan tersebut dengan dua jarinya yang lihai untuk kemudian beranjak ke arah seberang, ke tempat teman-temannya berkerumun menghitung penghasilan mereka hari itu seraya berjingkrak-jingkrak dan menyenandungkan Kisah-Kasih di Sekolah.
Mursyid mengamati gerak-gerik bocah itu. Terbuai dengan kebahagiaan yang terpancar dari cara berjalan dan bersenandung bocah itu untuk beberapa saat. Hingga kemudian, di tengah lamunannya sayup-sayup ia mendengar suara seseorang memanggilnya.
Suara itu terdengar amat jauh. Mursyid mengedarkan pandang ke sekeliling mencari sumber suara, tapi tak dilihatnya seorang pun yang ia kenali di dekat situ. Di seberang tempatnya berdiam, tepatnya di belakang kerumunan bocah-bocah pengamen itu, ia terpaku sejenak melihat segelintir orang berpasang-pasangan menyantap sebuah hidangan mewah di sebuah rumah makan yang mewah. Pada salah satu meja ia melihat seorang lelaki terpingkal-pingkal seraya meletakkan cangkir yang berisi entah kopi, teh, atau susu itu di permukaan meja makan. Di hadapan lelaki itu tampak seorang perempuan sedang melap bibirnya menggunakan secarik tisu untuk kemudian tisu itu dimasukkan ke dalam mangkuk plastik yang Mursyid duga beberapa menit lalu mangkuk cekung itu dipadati segempal es-krim.
Adakah suara itu berasal dari sana? batinnya. Tapi yang jelas, ia ragu dan berusaha tak acuh.
Dengan gamam akhirnya ia berupaya memfokuskan diri kepada bacaannya lagi. Ia tak ingin melewatkan satu detail pun dalam narasi-narasi yang J.D. Salinger tuliskan dalam novel itu yang, dirinya yakin dapat menjadi rujukannya untuk menjawab pertanyaan Holden Caulfield—sebab pertanyaan itu telah menghantuinya tiga hari belakangan ini: “Ke mana perginya angsa-angsa di danau Taman Kota saat danau itu membeku di musim salju?”
Namun tak berselang lama, ketika Mursyid belum lagi rampung membaca satu paragraf, panggilan itu kembali terdengar. Untuk beberapa detik lamanya ia hanya bergeming sambil sesekali memejamkan mata, tampak berupaya menyadarkan dirinya bahwa ia tidak berhalusinasi. Namun ketika matanya terpejam untuk tiga atau empat menit lamanya dan ia merasa malas untuk membukanya, panggilan itu justru terdengar kian jelas, “Hey, pemuda sombong. Aku di bawahmu!” mendengar bentakan itu, seketika Mursyid membelalakkan mata untuk kemudian memicingkannya ke bawah. Namun, hanya ada segerombol semut yang berbaris rapi tak jauh dari letak kakinya.
Detik-detik berlalu. Perasaannya yang semula gamam, berubah menjadi gamang. Jantungnya mulai berdegup cepat. Ia tak lagi bisa untuk tak acuh. Gegas ia memasukkan buku di pangkuannya ke dalam tas, bersiap pulang ke indekosnya.
Di tengah ketergesa-gesaannya itu, sebuah bentakan terdengar lagi. Alih-alih merasa gamang, kali ini Nurman justru menjadi takjub dibuatnya. Ia tersadar bahwa Bangku Panjang yang sedang ia dudukilah yang sedari tadi memanggil-manggil dirinya, “Hey, dungu! Aku ini bangku panjang yang kau duduki! Tak perlu mencari-cari lagi siapa yang berbicara padamu. Cukup dengarkan aku!”
Sependek bacaannya, ia belum menemukan apa istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini. Sebab ia yakin, dirinya dalam keadaan sepenuhnya sadar. Apakah ini yang dinamakan skizofrenia? tanyanya ragu.
Mursyid urung pulang ke indekosnya ketika bangku panjang yang berbicara kepadanya mencerocos seolah tak ingin berhenti bicara. Selain itu, baru teringat olehnya sore tadi, sepulang dari kampus, induk semang kosnya tak mengizinkan ia masuk ke dalam indekosnya sebelum ia melunasi bayaran sewa indekos yang menunggak dua bulan. Akhirnya, enggan kehilangan momen absurd seperti itu, ia menurut dan memfokuskan pendengarannya, seolah khawatir satu kalimat luput ia dengarkan dari Bangku Panjang itu.
“Tadi siang, di tengah kemacetan saat lampu merah, aku melihat bocah yang barusan kau berikan receh itu duduk di sini memandang ke arah seberang, tepatnya ke arah rumah makan itu. Bocah itu menjulur-masukkan lidahnya, memeragakan gerakan orang yang sedang makan es-krim. Sialnya, bocah itu memeragakannya tanpa bantuan alat peraga apa pun. Sekarang pergilah belikan bocah itu es-krim! Bantulah aku! Sepanjang malam ini aku terus-menerus memikirkan kemalangan bocah itu. Aku tak pernah merasa sesedih ini sebelumnya.”
Mursyid mendengarkan ocehan Si Bangku Panjang begitu khusyuknya, sekhusyuk ia membaca lembar-lembar The Catcher in The Rye belakangan ini. Saat ini hanya kalimat-kalimat yang disampaikan Bangku Panjang itu yang melela di kepalanya. Sejurus kemudian, ia melihat bocah yang dibicarakan Si Bangku Panjang itu di seberang sedang asyik berkelakar bersama kawanannya. Lamat terdengar tawa renyah keluar dari tenggorokan-tenggorokan bocah itu tanpa hambatan di sela-sela obrolan mereka ketika jalanan kian sepi dan tampak lengang.
Untuk beberapa lamanya Mursyid masih hanyut memikirkan ocehan Si Bangku Panjang. Namun di sela kecamuk pikirannya, teringat olehnya seorang bocah yang juga berperawakan gemuk dan berwajah gempal di rumahnya ratusan kilo meter dari tempatnya berdiam yang melulu merengek minta dibelikan es-krim setiap bepergian dengannya. Teringat pula olehnya perutnya belum lagi menyantap suatu apa pun dari pagi, ketika tiga hari lalu hampir seluruh uang kiriman orang tuanya habis ia belanjakan The Catcher in The Rye yang hanya menyisakan beberapa keping receh. Dan, keping receh terakhir yang ada di saku celananya—yang sedari tengah hari sengaja ia sisakan untuk membayar jasa kliping tugas esok pagi—telah ia berikan beberapa menit lalu kepada bocah pengamen yang mulai melalang pergi entah ke mana bersama kawanannya. (*)
By, Furqon