Sudah dua jam Kinanti duduk bersila di hadapan sang Budha, ia mencoba melakukan meditasi seperti yang biasa ia lakukan. Masalah yang ia hadapi saat ini membuat pikirannya sulit untuk terfokus. Padahal dalam kondisi sekacau apapun, biasanya Kinanti selalu berhasil memurnikan pikirannya. Aroma lilin di sekitar Kinanti juga tidak cukup membantunya. Dibacanya berulang-ulang mantra:
“Aku bersujud kepada permata dalam Teratai untuk mengatasi segala halangan dan rintangan agar dapat meningkatkan kebijaksanaan dan berpikir kritis”.
Mantra yang biasanya memberikan sedikit ketenangan ternyata tidak membuat pikirannnya terlepas sejenak dari masalah hubungannya dengan Wikan, kekasihnya. Kinanti membuka mata, dihembuskan nafasnya secara perlahan, ia memutuskan untuk mengakhiri meditasinya. Sebelum meninggalkan vihara, ia berdoa kepada sang Budha.
“Terpujilah Tuhan Yang Maha Esa, para Buddha, para Bodhisatta, para leluhur, para Dewa dan Dewi. Ya Tuhan, saya diberi pehaman bahwa cinta adalah memberikan kebahagiaan namun kiranya selaras dengan pengertian pokok Ajaran Sang Buddha tentang Hukum Kamma. Ya Tuhan, apakah jika saya meninggalkanMu dan memilih untuk mempertahankan cinta yang memberikan kebahagiaan adalah sebuah kejahatan yang membuat saya menerima kejahatan pula? Ya Tuhan berikan saya petunjuk dan setelah petunjuk itu datang, berikan sedikit keberanian untuk saya menjalankannya. Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pulalah buah yang dituai. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebajikan dan pembuat kejahatan akan menerima kejahatan pula. Semoga dengan kebajikan yang telah saya lakukan akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk apapun yang terkehendaki. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta. Sadhu…Sadhu…Sadhu…”.
***
Jam menunjukan pukul 03.00 dini hari. Wikan baru saja selesai sholat Tahajud, ia masih duduk bersila di atas sajadahnya. Matanya menatap gambar Ka’bah di sajadah namun pikirannya berada di tujuh tahun lalu dimana ia pertama kali bertemu Kinanti, kekasihnya. Wikan telah beberapa kali menjalin hubungan dan berakhir gagal. Kegagalan itu pernah membuat Wikan berpikir bahwa ia tidak akan pernah cocok dengan siapapun karena sulitnya memahami dirinya. Jangankan orang lain, ia saja merasa kesulitan untuk memahami dirinya sendiri. Namun setelah bertemu Kinanti, Wikan yakin bahwa Kinantilah satu-satunya orang yang dapat memahami dirinya sebaik mungkin. Namun ternyata hidup memang tidak menawarkan kemudahan, orang yang diyakini Wikan menjadi tujuan akhirnya, memiliki keyakinan yang berbeda dengannya. Wikan kemudian memejamkan mata dan mencoba untuk berdialog dengan Tuhannya.
“Ya Allah, Rasul pernah bersabda bahwa kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan. Namun apakah mungkin dua orang saling mencintai namun berbeda Tuhan mendapatkan solusi atas perasaannya dengan pernikahan? Ya Tuhan, jika memang bukan untukku, kenapa Engkau mempersilahkan aku dengan dia sejauh ini?”
***
Kinanti merapikan meja kerjanya. Jam sudah menunjukan pukul 08.00 malam. Sebelum meninggalkan mejanya, Kinanti melirik bingkai foto kayu berwarna putih polos di sudut mejanya. Ia mengambil bingkai itu dan memasukan kedalam kardus bersama dengan barang-barangnya yang lain. Bingkai itu berisi foto dirinya dan Wikan, kekasihnya sejak 7 tahun lalu. Kinanti menarik nafas panjang, lelahnya pekerjaanya hari ini membuatnya enggan untuk memikirkan masalah besar yang menerpa hubungannya akhir-akhir ini. Untuk menghindari ingatan tentang masalah asmaranya, Kinanti mencoba untuk mengingat-ingat momen manis bersama Wikan.
Wikan merupakan kekasih pertama Kinanti. Wikan datang ketika Kinanti sedang mengalami masa-masa sulit dan kemudian Wikan lah yang menemani Kinanti selama tujuh tahun terakhir. Bersama Wikan, Kinanti melewati jatuh bangun kehidupan hingga akhirnya Kinanti berhasil menjadi apa yang ia inginkan. Saat ini Kinanti menjadi programmer disuatu perusahaan internasional dan telah mapan dalam kehidupannya diumur yang ke-29 tahun.
Kinanti sangat menyayangi Wikan, bahkan ia yakin untuk menjalani seumur hidupnya bersama Wikan. Meskipun Wikan kadang menyebalkan dan kerap tidak mengerti apa yang Kinanti bicarakan, mengingat Wikan sama sekali tidak tertarik dengan dunia teknologi Kinanti dan selalu tenggelam dalam dunia sastra dan sejarah. Namun bagi Kinanti, Wikan adalah satu-satunya orang yang sanggup mencintai dirinya tanpa syarat dan alasan.
***
Jam di kamar Wikan menunjukan pukul 08.30 malam, ia baru saja selesai mengecek persiapan peluncuran bukunya besok. Wikan telah melewati sepanjang tahun yang berat untuk berhasil menyelesaikan bukunya. Ketertarikan pada dunia sejarah membuatnya tertarik untuk menulis tentang salah satu tokoh Indonesia yang tidak banyak orang tahu, yaitu Inggit Garnasih, mantan istri kedua Soekarno. Ini buku ke-5 yang berhasil Wikan tulis dan terbitkan. Nama Wikan dalam dunia sastra dan sejarah mulai membesar sejak dua tahun lalu. Keberhasilan Wikan meraih impiannya tidak lepas dari sosok Kinanti, kekasihnya selama 7 tahun yang akhir-akhir ini mempertanyakan arah hubungan mereka. Wikan menatap foto dirinya dan Kinanti yang terbingkai di samping tempat tidurnya. Wikan menyadari bahwa hubungannya dengan Kinanti akan sia-sia, mengingat tidak ada kemungkinan untuk menyatukan dua keluarga yang berbeda Tuhan dan hingga saat ini tidak ada diantara mereka yang bersedia mengkhianati Tuhannya.
Wikan dan Kinanti belum menemukan jawaban atas permasalahan utama hubungan mereka. Selama ini Wikan dan Kinanti hanya menerapkan prinsip “jalani saja dulu” dan saat ini prinsip tersebut sudah tidak bisa digunakan setelah Wikan dan Kinanti mulai memasuki usia kepala tiga. Tuntutan keluarga telah datang dan Wikan maupun Kinanti sadar bahwa mereka berdua tidak mau mengecewakan keluarga masing-masing namun juga tidak mengetahui cara untuk mengakhiri hubungan. Wikan tidak pernah mau kehilangan Kinanti dan begitupun sebaliknya. Mereka berdua merasa saling terikat.
***
Kinanti sampai di rumah Wikan tepat pukul 09.00 malam. Wikan membukakan pintu dan mepersilahkan kekasihnya masuk.
“Hi Wikan, gimana persiapan peluncuran buku besok?” Kinanti memeluk Wikan.
“Aman, Kin. Aku masih belum benar-benar percaya kalau aku bisa meluncurkan buku yang acaranya bakal didatengin sama sejarawan-sejarawan.” raut wajah Wikan sangat senang.
“Selamat ya, impian kamu tercapai. Kamu tuh emang hebat dari dulu.” Kinanti melayangkan senyum kepada Wikan yang sedang membuatkan susu panas untuk Kinanti.
“Wik, ngomong-ngomong aku belum tahu lho kenapa kamu seantusias itu sama bu Inggit Garnasih sampe mau nulis buku biografinya.”
“Hehee, tumben pengen tahu, biasanya kamu ngga pernah tertarik sama sejarah.” Wikan menyerahkan susu panas kepada Kinanti.
“Ya masa besok buku pacarku diluncurin tapi aku ga tahu dia nulis tentang apa”
Wikan kemudian duduk di depan Kinanti, matanya selalu berbinar jika menceritakan hal-hal tentang sejarah. Pemandangan itu yang selalu Kinanti tunggu karena Wikan jarang sekali antusias untuk bercerita.
“Jadi, Inggit Garnasih itu mantan istri kedua Soekarno. Kamu tahu kan kalau Soekarno itu sudah dua kali menikah sebelum menikah dengan Fatmawati?” Kinanti mengangguk, padahal ia hanya tahu Fatmawati adalah ibu negara Indonesia pertama. “Jadi, Inggit itu ibu kost Soekarno waktu Soekarno kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng, yang sekarang jadi ITB itu lho. Terus Seokarno suka tuh sama Inggit yang usianya 13 tahun lebih tua. Padahal waktu itu Soekarno sama Inggit masing-masing sudah nikah. Waktu itu Soekarno masih jadi suami Siti Oetari, anaknya HOS Tjokroaminoto. Tahu kan HOS Tjokroaminoto?” Lagi-lagi Kinanti hanya menunduk meskipun ia hanya sebatas tahu bahwa HOS Tjokroaminoto adalah salah satu pahlawan yang cukup terkenal sehingga namanya dijadikan nama jalan. “Inggit juga waktu itu masih jadi istri Haji Sanusi, anggota Sarekat Islam. Nah perasaan itu mulai tumbuh karena mereka tinggal serumah. Selain itu, Soekarno cuma menganggap perasaannya ke Siti Oetari itu cuma perasaan persaudaraan. Inggit juga merasa kesepian karena suaminya sering pergi. Jadilah mereka saling jatuh cinta. Ini aku cerita ke kamu singkatnya aja ya. Kamu tetep harus baca buku ku!” Mata Wikan menatap tajam Kinanti yang memang malas membaca buku-buku sejarah.
“Jadi mereka selingkuh dong?”
“Hmmm.. ya bisa dibilang begitu.”
“Terus-terus?” Kinanti membetulkan posisi duduknya dan terlihat sangat antusias untuk mendengarkan lanjutan cerita Wikan.
“Nah setelah mereka cerai dari pasangan masing-masing, mereka kemudian menikah. Setelah pernikahan itu, Indonesia masuk ke masa akhir penjajahan Belanda kan jadi Soekarno mulai aktif di perpolitikan, Soekarno bolak-balik ditangkap, dibuang, diasingkan. Nah selama masa sulit itu Inggit selalu ada di samping Soekarno.”
“Wow oke, terus kenapa yang dikenal selama ini Fatmawati?”
“Nah ini part yang paling pilu. Jadi di tahun 1933, setelah sepuluh tahun pernikahan sama Inggit, Sukarno diasingkan ke Bengkulu. Disitulah Soekarno ketemu Fatmawati yang umurnya baru 15 tahun.”
“Hah?” Kinanti menampakan muka kaget.
“Terus munculah percikan perasaan Soekarno ke Fatmawati.”
“Kok bisa sih? Kan ada Inggit. Kali ini alasannya apa lagi?”
“Soekarno cinta banget sebenernya sama Inggit tapi setelah dua puluh tahun mereka menikah ternyata Inggit ngga bisa ngasih keturunan dan sayangnya usia Inggit yang sudah masuk 50-an sedangkan Soekarno masih di umur 37. Karena Soekarno pengen banget punya keturunan jadinya Soekarno minta izin ke Inggit buat nikahin Fatmawati tanpa menceraikan Inggit. Di buku tentang biografi Soekarno, Soekarno bilang: aku tidak bermaksud menyingkirkanmu, merupakan keinginanku untuk menetapkanmu dalam kedudukan paling atas dan engkau tetap sebagai istri pertama”
“Terus Inggit mau dipoligami?”
“Inggit nggak mau dimadu, jadilah Inggit minta cerai. Soekarno kemudian menceraikan dengan terpaksa karena bukan itu yang diinginkan. Mereka kemudian bercerai setelah dua puluh tahun menikah dan Soekarno menikahi Fatmawati di tahun 1943. Di tahun itu Indonesia mulai masuk di masa penjajahan Jepang yang berarti nggak lama lagi Indonesia merdeka. Nah saat Indonesia sudah merdeka, jadilah Fatmawati yang jadi ibu negara Indonesia pertama.”
“Terus Inggit kemana?”
“Inggit dipulangkan ke Bandung, nggak menikah lagi dan tetap mencintai Soekarno sampai beliau meninggal.”
Kinanti terdiam, ia yang awalnya tidak tertarik kemudian menjadi sangat ingin tahu lebih lanjut.
“Itulah kenapa pernah ditulis buku berjudul, Inggit Garnasih ‘Ku Antar Kau ke Gerbang’. Yang isinya tentang perjuangan dia menemani Soekarno menuju ke Gerbang Kemerdekaan tapi langkah Inggit berhenti sebelum memasuki gerbang karena setelah itu Fatmawatilah yang menemani Soekarno.”
***
Satu minggu setelah peluncuran buku Wikan, Kinanti mengajak kekasihnya bertemu di cafe yang menjadi tempat pertemuan pertama mereka. Setelah peluncuran bukunya, nama Wikan semakin tenar dan ia mendapatkan beberapa proyek penulisan yang sangat diidam-idamkan sehingga Wikan menjadi sedikit sibuk.
“Hai Kin. Tumben ngajak ketemu disini. Oh sekarang tanggal jadian kita ya? Tapi kan kita baru anniversary delapan tahun di bulan depan” Wikan datang dengan banyak pertanyaan kemudian duduk di kursi depan Kinanti. Mereka memiliki kebiasaan untuk bertemu di café tersebut pada tanggal jadian.
“Wikan, selamat ya atas suksesnya peluncuran buku kamu. Aku sebangga itu sama kamu. Akhirnya yaa kamu jadi apa yang kamu mau” Kinanti menatap wajah Wikan.
“Kinanti, ini semua juga karena kamu. Kamu yang nemenin dari 0, ngasih semangat, ngasih pertimbangan, ngasih keberanian. Terima kasih ya. Aku nggak ngerti bakal kayak gimana aku sekarang kalau tujuh tahun lalu nggak ketemu kamu.” Wikan menatap dalam-dalam mata Kinanti dan menggenggam tangan kekasihnya diatas meja.
“Wikan..”
“Ya?” Wikan membaca garis kegelisahan di wajah Kinanti. “Kenapa Kin? Ada masalah?”
“Kamu masih inget ngga seleksi karyawan di companyku yang bakal ditempatin di US?”
“Inget. Kenapa? Astagaaaa, kamu kepilih? Ahhh selamat sayaang!” Mata Wikan berbinar-binar, ia kemudian berpindah tempat duduk di samping Kinanti.
“Kok kamu seneng sih?”
“Hah, ya seneng dong! Siapa yang nggak seneng pacarnya dapetin apa yang dia pengen?” Wikan memeluk Kinanti dengan erat.
“Kita bakal jauh, Wikan” Kinanti melepaskan diri dari pelukan Wikan.
“Terus kenapa? Buat sementara aja kan. Emang berapa lama, Kin?”
Kinanti diam. Selama tujuh tahun hubungannya, Kinanti tidak pernah jauh dari Wikan dalam waktu yang lama. Mereka rutin bertemu setiap minggu dan terpisah jauh hanya saat perjalanan dinas dari pekerjaan masing-masing. Sepertinya Wikan lupa bahwa Kinanti tidak bisa memiliki hubungan jarak jauh.
“Kin? Berapa lama?” Wikan menghentikan lamunan Kinanti.
“Paling cepat 3 tahun”
***
Kinanti sudah berada di depan laptopnya selama satu jam tanpa melakukan apapun. Matanya menatap kosong layar monitor, jarinya yang berada di atas tuts keyboard terasa kelu. Cokelat panas yang berada disamping laptopnya telah dingin karena cuaca malam New York yang menusuk tulang. Setelah berhari-hari menangis dan mengumpulkan keberanian, akhirnya malam ini Kinanti memaksa tubuhnya untuk berani menulis pesan elektronik untuk Wikan.
To:
wikanantaharapan@gmail.com
Subject:
Pesan Dari Inggit Garnasih Mu
Dear Wikan,
Aku sudah selesai baca bukumu dan aku semakin kagum kepada Bu Inggit Garnasih. Aku sama sekali belum bisa membayangkan jika menjadi Inggit. Menemani pujaan hati dikala susah namun berakhir kalah dari perempuan lain. Aku selalu suka gaya cerita dan permainan kata disetiap tulisan-tulisanmu. Betul kan, kekasihku ini akan menjadi penulisan yang hebat.
Wikan, maaf menghilang beberapa hari setelah aku sampai di New York. Disini sangat dingin tapi terasa sangat panas dari dalam diriku, rasanya aku ingin selalu marah setiap membayangkan hari-hariku sendirian. Jauh dari kamu benar-benar bikin aku jadi sedikit gila.
Wikan, beberapa hari ini, bahkan beberapa bulan ini aku jadi lebih sering bermeditasi. Aku jadi sering berada di hadapan sang Budha, menenggelamkan pikiran dan berharap mendapatkan jawaban dari hubungan kita yang kita sendiri tidak tahu jawabannya selama hampir delapan tahun bersama.
Wikan, sebenarnya aku sudah memikirkan ini dari lama. Aku tahu kalau aku dan kamu punya perasaan yang sama, kita saling terikat dan tidak pernah mau kehilangan. Aku yakin kita akan abadi dalam persatuan. Tapi rasanya bukan sekarang, bukan di kehidupan saat ini.
Kita tahu, kita sudah coba berbagai macam jalan untuk sampai di satu tujuan yang kita impikan. Mendatangi orang tuamu dan orang tuaku ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Kita sama-sama punya prinsip untuk jauh dari menyakiti keluarga dan jauh dari mengkhianati Allah-mu ataupun Budha-Ku.
Wikan, aku pikir satu-satunya jawaban untuk mencapai kebagiaan yang hakiki saat ini adalah dengan berpisah. Aku sengaja pergi menjauh, mencoba mencari penghidupan yang baru, yang tidak ada kamu. Aku tidak berencana pulang ke Indonesia agar kita dapat melanjutkan hidup masing-masing dengan tenang.
Aku rasa kehadiranku sudah cukup, aku sudah mengantar kamu ke gerbang impianmu. Sayangnya, aku cuma bisa mengantar sampai ke gerbang, seperti Inggit Garnasih. Selanjutnya pasti akan ada Fatmawatimu yang datang dan menemani kamu menggantikan aku.
Wikan, besar kemungkinan pada akhirnya aku akan menjadi Inggit Garnasih seutuhnya, menunggu masa tua dengan tetap mencintai kamu. Wikan, terima kasih. Jaga diri, selalu berbuat baik, dan semoga kita bertemu dengan keadaan yang lebih mudah di kehidupan selanjutnya.
***
Telah satu minggu Wikan merasakan sesak di dadanya setelah membaca pesan elektronik dari Kinanti. Ingin dibenturkan kepalanya ke dinding agar segera pecah dan melupakan delapan tahunnya bersama Kinanti. Hari ini Wikan memaksakan diri menggerakan jarinya untuk membalas pesan elektronik Kinanti.
To:
kinantisedjuk@gmail.com
Subject:
Ucapan Semoga dari Inggit Garnasih Mu
Kinanti, akhirnya datang waktu ini.
Perpisahan yang selalu kita doakan tidak pernah terjadi. Akhirnya datanglah jarak setelah delapan tahun kita merangkak, berlari, bersenandung, dan bersedih bersama. Akhirnya kamu dan aku menjadi Inggit Garnasih versi kita, yang saling mengantar ke dua gerbang yang berbeda. Sialnya, tidak ada salah satu gerbang yang bisa kita masuki bersama.
Kinanti, masih melekat di ingatanku tentang hari pertama kita bertemu, tentang pertengkaran dan kemesraan kita, tentang manisnya momen ketika kamu duduk dibawah pohon di depan Masjid menunggu aku selesai sholat jumat atau ketika aku melihat kamu keluar dari Vihara dengan wajah riang setiap hari minggu sore. Aku juga ingat masa dimana kita linglung akan masa depan, masa dimana kamu kebingungan masuk dunia teknologi dan masa dimana aku ketakutan masuk dunia sastra dan sejarah.
Kinanti, mungkin betul katamu, sepertinya bukan di kehidupan saat ini kita akan kekal. Aku mencintai kamu, aku hanya bisa berdoa dan memohon sungguh-sungguh kepada dua Tuhan. Kepada Tuhanmu, aku meminta agar kita tidak segera sampai Nirwana sehingga bisa terlahir kembali kemudian bisa bersatu. Dan kepada Tuhanku, aku meminta jika diberi-Nya kesempatan bertempat tinggal di surganya, aku memohon untuk dipasangkan denganmu.
Kinanti, terima kasih telah menjadi Inggit Garnasih ku dan aku dengan senang hati menjadi Inggit Garnasih mu. Kinanti, mari tetap mencintai dalam diamnya doa dan mari bertemu kembali, nanti.
By, Huda