“Untuk apa buku itu?” tanyaku padanya. Ia memaksaku untuk menemaninya membeli sebuah buku catatan di toko buku di sebuah mal yang terbilang cukup jauh dari rumahku.
“Hmm ....”
Hanya helaan napas dengan senyuman lebar, kakinya sudah melangkah maju, meninggalkanku beberapa meter di belakang. Melihatnya seperti itu, tentu saja kedua kakiku langsung menyeimbangkan langkah kakinya.
“Kukira kamu akan membeli novel atau komik. Ngapain jauh-jauh kita ke sini kalau kamu hanya membeli sebuah buku kosong. Beli saja di warung dekat rumahmu kalau aku tau.”
Celotehanku ternyata tak membuat senyumannya mengecil. Ia menatapku, tetap dengan menyombongkan kedua lesung pipi manisnya.
“Nanti buku ini akan menjadi buku cerita kok,” jawabnya masih dengan senyuman manis itu.
“Siapa yang menjadi penulisnya? Kamu?” tanyaku dengan kedua pupil membulat, meremehkan ucapannya.
“Yep.” Ia mengangguk tegas. “Dan kamu,” ucapnya lagi seraya mengarahkan telunjuknya pada batang hidungku, menurun, hingga ke ulu hatiku.
“Aku?” tanyaku memastikan. Karena seketika, jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.
***
Aku tidak menyangka jika pada akhirnya, diriku setuju untuk berkolaborasi dengannya untuk menjadi penulis di buku yang sudah beberapa lembar kita tulis tersebut. Dirinya memberi peraturan, kalau tanda baca yang bisa kita gunakan hanyalah koma.
Awalnya, aku memberi protes keras karena menurutku, hal itu tidak masuk akal. Aku bahkan lebih nyaman menggunakan tanda baca titik dibandingkan koma, jika diharuskan memilih salah satu. Tapi, tentu saja kekuatan protesku tidak sebanding dengan tatap matanya sehingga aku, kembali mengikuti peraturannya.
“Kenapa kita harus menggunakan koma? Bukankah—“
“Baiklah akan kujelaskan, Von,” balasnya dengan memanggil namaku dengan panggilan kegemarannya. "Singkatnya, aku tidak ingin cerita kita ini akan berakhir. Di saat aku memberikan tanda baca koma, maka itu berarti bahwa kamu harus melanjutkannya. Begitu juga sebaliknya.”
“Ada yang salah dengan titik? Bukankah kita juga tetap bisa membuat kalimat baru setelah itu?”
“Tentu saja.”
“Lalu?” Aku menaikkan sebelah alisku, menganggap bahwa jawabanku adalah yang terbaik.
“Tapi kamu tidak punya kewajiban untuk membuat kalimat baru jika sudah ada titik pada akhirnya.”
“Tapi—“
“Von, ceritakan apapun.”
“Tentang apapun. Tentang kamu, atau tentang aku. Atau tentang kita.”
***
Sejak kami menggunakan seragam putih-abu, baris demi baris, lembar demi lembar buku kosong itu sudah diisi dengan baik. Tentu saja, tidak ada titik pada buku tersebut, kecuali pada huruf ‘i’ atau huruf ‘j’. Aku pun sudah mulai terbiasa dengan hal tersebut. Menurutku, hal itu cukup menarik.
Sesekali aku membaca ulang rangkaian kata yang sudah kami berdua tuliskan tersebut. Tawa kecil terbesit di garisan wajahku. Membaca bagaimana rangkaian kata yang kutuliskan, juga rangkaian kata yang dia tuliskan. Tentangku, tentangnya dan tentang kita.
Ia tidak pernah membiarkanku membawa buku itu. Kuturuti lagi, karena memang aku termasuk ke dalam golongan manusia yang dapat dengan mudah menghilangkan barang-barang yang ada di tanganku.
Hingga akhirnya, pada malam itu, seseorang meletakkan buku tersebut di depan kamarku. Aku mengingat jelas sampul buku tersebut. Kenapa kini ia malah memberikannya kepadaku? Untuk apa?
Haruskah aku menyebut namanya dan memberitahu kepada kalian? Tapi kenapa jemari dan lidahku kelu saat ingin mengungkapkan nama tersebut?
“Kenapa?” tanyaku padanya saat dengan mata berkaca-kaca ia berdiri di hadapanku.
“Konyol,” balasnya singkat yang membuatku belum mendapatkan jawaban atas tanda tanya ini. “This is crazy,” ucapnya lagi dengan kata bergetar.
“Hei, ada apa? You can tell me? Masuk dulu yuk,” tawarku padanya dengan memaksakan senyumannya.
“Astaga ....” Akhirnya air mata itu tumpah, ia menyeka dengan cepat tetesan air mata yang mulai mengalir deras, membasahi wajahnya.
“Kamu kenapa?” Dengan sigap tangannya langsung menghalangi tanganku yang hendak membantu untuk mengusap air matanya. “Kamu cerita dulu ada apa? I can do nothing if you don’t tell me everything.”
“Just ... just don’t tell me anything. Just do nothing.”
“Hei ... hei ...”
“Cukup Von!” Seketika emosinya memuncak, membuat tanda tanya di kepalaku mengayun-ngayun. “We need to stop everything.”
“Apa maksud kamu?”
“I know, we didn’t even start anything. Tapi sekarang, rasanya aku mau mengakhiri semuanya. Mengakhiri sesuatu yang bahkan belum dimulai.”
“Hei, please listen to me.” Kembali, tubunya menghindar saat kedua tanganku berusaha meraih pundaknya.
“Sudah ada titik di buku itu, Von. Kamu, kamu boleh tidak melanjutkan kalimat apapun.”
“Kamuu ....”
“Aku minta maaf. Aku tau kalau aku egois. Tapi akan lebih egois, kalau aku terus membiarkanmu berada di dalam hubungan ini.”
“Kenapa? Apakah kita harus meresmikan hubungan ini? Bukankah kamu sudah tau kalau—“
“Kupikir ....” Ia memotong kalimatku. “Kupikir yang membuat rumit dalam sebuah hubungan itu hanyalah karena perbedaan. Ternyata persamaan lebih merumitkan dari sebuah perbedaan.”
“Hei, hei. Just calm down. Nggak akan ada yang tau tentang kita berdua.”
“No, kamu salah. Hati aku ....” Ia menepuk-nepuk dadanya. “Hati aku yang sudah sangat sakit. Sampai mau mati rasanya. Karena aku sadar bagaimana pun, persamaan yang kita miliki ini tidak akan pernah bisa berubah.”
“No no no. We can do this together.”
“This is insane. Astaga ....” Ia mengusap wajahnya. “Just ... just don’t call me anymore.”
“Apa maksudmu?”
“We’re done. I know, it wasn’t even started yet. But ... Just don’t meet me. Good bye, Von.”
“No, pleasee ....”
“Let me go ....”
Ia lalu berlari kencang. Ingin sekali kedua kakiku menyusul langkahnya. Namun seketika, yang bisa kulakukan hanyalah mematung. Tanpa bisa melangkahkan kakiku, tanpa bisa menahan air mataku, tanpa bisa mengendalikan perasaanku.
Aku pikir perbedaan adalah hal terburuk yang membuat rumit sebuah hubungan. Namun benar kata wanita manis itu, persamaan yang ada pada kita berdua, yang tidak akan bisa digantikan tersebut adalah hal yang lebih buruk dari perbedaan.
Tapi, aku mencintaimu bukan karena kamu wanita yang ada di sampingku, bukan itu. Tapi karena kamu adalah seorang Tita. Andaikan semesta tidak membiarkan dunia memberi aturan kepada manusia untuk mencintai, aku yakin kita tidak akan berakhir seperti ini.
Tidak, aku tidak akan membiarkannya berakhir. Akan kubuat kalimat baru dari titik yang kau berikan, Tita. Sampai pada akhirnya, kau bersedia untuk melanjutkan kalimat itu, meskipun diakhiri dengan titik, bukan koma. Tita Rhamos, someday I’ll find you, even in another life.
By, Loris Hanadela