Sinar matahari mengintip dari celah tidurnya. Awan hitam seakan enggan untuk berbagi langit dengan sang mentari. Pagi ini, aku berjalan menuju gedung coklat muda di seberang toko besar bertuliskan Batik Candra dengan ornamen-ornamen Jawanya. Dengan tas hitam yang kutenteng di tangan kiri, dan sebuah buku yang tebalnya kira-kira 5cm ku dekap erat di dadaku. Orang-orang hilir mudik disampingku, dalam batinku aku akan lebih cepat sampai di gedung coklat itu daripada mereka. Ya, semangatku begitu menggebu di pagi yang sedikit redup ini.
Ku percepat langkahku, aku berlomba dengan teman-temanku untuk mendapatkan posisi yang pertama. Aku masih ingat betul nasihat guruku SMA yang mengatakan bahwa, duduklah kalian di posisi terdepan karena itu akan berpengaruh terhadap prestasimu kelak. Sejak itu, aku praktekan jurus dari guruku dan ternyata sedikit manjur untuk memperbaiki prestasiku yang sempat menurun.
Kuliah pertamaku adalah dasar-dasar ilmu sejarah. Aku sedikit gugup untuk mengikuti mata kuliah ini. Lagi pula, aku bukan dari lulusan SMA yang bergenre IPS. Tetapi, sejarah adalah jiwaku meski aku tidak sepenuhnya paham apa itu sejarah, yang ku tahu sejarah itu ya hanya membahas masa lalu. Dulu aku berkomitmen untuk tidak kuliah yang bukan jalurku, namun itu tak berlangsung lama setelah aku terhipnotis oleh novel yang sampai saat itu menginspirasiku.
Semua mata audiens di ruangan ini tertuju pada satu sudut, yaitu seorang perempuan tinggi semampai dengan balutan baju gamis berwarna kebiru-biruan dan kepalanya dibungkus oleh jilbab yang berwarna biru tua. Sepatu hitam polos yang sedikit tinggi dan tas kulit yamg semampir di lengannya, menguatkan presepsi bahwa dialah dosen tercantik di Fakultas Ilmu Sosial atau bahkan tercantik se-Universitas Negeri ini.
“selamat pagi. Selamat datang di Universitas Negeri ini”, sapanya yang lembut menggetarkan hati siapa saja.
“selamat pagi buuuuuu”, dengan kompak kami menjawab suara lembut itu.
“baiklah, saya akan berkenalan terlebih dahulu dengan kalian sebelum masuk ke materi kuliah hari ini”.
Aku membenahi rambutku yang sedikit acak-acakan, ku berdehem untuk mengetes suaraku agar tidak terlihat gugup ketika dia memanggilku.
“Divan Aska Sabhiva”, dia memanggilku dengan tegas namun tidak mengurangi lembut suaranya.
Aku mantapkan suara ku dan dengan lantang aku menjawab, “iya buk, saya Divan berasal dari Jakarta”.
“mengapa anda jauh-jauh dari Jakarta untuk bersekolah di Universitas ini, dan mengapa anda memilih Sejarah sebagai program Studi anda??”,
Pertanyaan ini mebuyarkan percaya diriku. Dengan suaraku yang merendah ku jawab pertanyaan dari dosen cantik namun mempertegang suasana itu. “saya memilih untuk melanjutkan sekolah di Universitas ini karena memang keinginan saya sendiri untuk kuliah di kota Yogyakarta ini, dan mengapa saya memilih prodi Sejarah, itu karena memang hati dan jiwa saya ada pada sejarah”.
Wanita besepatu hitam polos itu mengangguk pelan, entah dia setuju akan jawabanku atau hanya mengiyakan jawabanku. Sudahlah memang itu yang terjadi.
***
Dalam malam, hujan merintik perlahanan. Menyusup ke lorong-lorong hati yang kelam. Surat coklat berstempel Pos Indonesia itu masih kugeletakan saja di bawah kasurku. Sempat ingin aku membukanya, namun masih ada keraguan yang menyuruhku untuk tetap membiarkannya. Mungkin suatu saat nanti akan kubuka dan kubaca sepucuk surat itu.
Ku menatap foto seorang laki-laki berpawakan gembul dengan baju putih polos yang menambah kesan sangat egoisnya dia. Disamping laki-laki itu, seorang perempuan dengan baju putih panjang sedengkul dan tersenyum ramah semakin membawa arus ingatanku untuk kembali berdiam dalam memori laki-laki dan perempuan itu.
Akhir Juni, setelah berhura-hura merayakan kelulusan SMA, ayah menyuruhku menemuinya di ruang kerjanya untuk membicarakan nasibku setelah lulus SMA dengan nilai yang memuaskan. Aku tentu saja berbinar bahagia untuk menemui ayah. Dengan menyungging senyum aku menyapa ayahku, aku tak menyadari bahwa mungkin inilah senyum terakhirku untuk ayah setelah aku bersiteguh dengan pilihanku.
“ayah, memangnya ada hal penting apa yah kok bicaranya berdua saja tidak ada Ibu ??”, sapaku dengan mengunci pintu ruang kerja ayah.
“ya biar tercipta suasana yang lebih akrab saja antara ayah dan anak laki-laki satu-satunya ini”, jawab ayah tenang.
“lalu, mau bicarakan tentang apa yah ??”.
“setelah kuliah, tentunya kamu ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggikan ??”, dia menatapku tajam.
“tentu saja, aku ingin mengejar cita-citaku agar aku dapat membahagiakan ibu dan ayah dengan semangat belajarku.”
“aku sudah mendaftarkan kamu di salah satu Universitas swasta di Singapura. Ayah tahu, kamu suka bermain dengan Sains, maka ayah memilihkan program studi yang tepat buat kamu dan juga masa depanmu. Ayah akan bahagia jika kamu diterima di Universitas itu.”
Aku tertunduk, aliran darahku semakin memanas, bergejolak seperti air yang direbus dalam suhu 1000 Celcius, bahkan melebihi itu. Jari-jariku mengepal, konflik batin mencuat dalam hatiku. Apa yang harus aku lakukan ? Apa dengan berontak ? Semakin sesak!!
Tanpa pikir panjang, satu kata yang kuucap dari mulutku dengan jelas dan keras, “TIDAK!!!”.
Sebelum ayah menghujatku semakin parah, segera kulontarkan alasan yang menguatkan pilihanku. Entah setan apa yang merasuki hatiku, sepertinya malaikat juga mendukungku untuk satu hal ini. Bukankah, sebuah pilihan itu tak perlu ada pemaksaan, toh pilihan itu juga datang hatiku. Selalu saja dia tak mengerti apa mauku.
“ayah bisa menyekolahkan aku ke Singapura, karena ayah NYURI uang RAKYAT!!!”, dengan mata memancarkan keemosian aku menuding ayahku.
Dia lunglai, dia mengusap mata yang sedikit basah dengan kedua telapak tangannya. Aku sedikit menyesal dengan perkataanku. Dengan cemas aku pergi meninggalkan ayah tertunduk di kursi empuknya, aku pergi tanpa kulihat senyum dari ibu, aku pergi tanpa atap yang menaungiku ketika panas dan hujan, hanya berbekal satu lembar foto dan uang sisa tabunganku.
Aku menangis dalam hujan. Belum pernah ku merasakan sakit yang mendalam diulu hatiku. Dia ayahku, dia ibuku, suatu saat ku datang padamu dengan almamater Sejarah, dan kutunjukan padamu ayah, aku bisa kuliah tanpa uangmu ayah.
Ayahku memang berwatak keras. Mungkin kerasnya pendirianku untuk tetap meninggalkannya juga warisan dari wataknya. Dia menjabat sebagai wakil rakyat di DPRD Jakarta. Sudah lama aku mengendus bahwa ayahku terlibat dengan kasus Bank yang sampai saat ini tetap saja bulat.
Dengan tekad yang kuat, aku memesan tiket kereta dengan tujuan Yogyakarta. Apa yang akan aku disana aku tidak tahu, mungkin sebelum mencari pekerjaan, aku mencari tempat kos yang sesuai dengan isi kantongku saat ini.
Tanpa lama, kereta melaju dan berhenti di Stasiun Lempuyangan. Aku bergegas keluar dari gerbong. Ku cari papan-papan yang bertuliskan “Menerima Kos Putra”. Satu jam aku berjalan kaki memutari daerah-daerah sekitar stasiun. Dan di pojok perempatan, dekat lampu merah dan kampus swasta aku menemukan tulisan itu.
Satu hari berikutnya aku kembali berjalan kaki mencari celah-celah pekerjaan di kota yang berbudaya ini untuk modal biaya kuliahku. Akhirnya, setelah sedikit memelas dengan pemilik percetakan, aku diterima walaupun hanya sebagai tukang photocopy.
Hanya lima bulan aku bertahan menjadi tukang photocopy, selebihnya aku menjadi pegawai di toko buku kecil-kecilan. Ketika pembeli sepi, aku mencuri-curi waktu untuk belajar tes masuk PTN, aku juga membaca buku atau novel yang sangat erat kaitannya dengan sejarah. Seperti Jerusalem, Sejarah Asia Tenggara, dan masih banyak lagi.
Sejarah menjadi hidupku juga karena aku terinspirasi oleh novel karya kang Abik yang menceritakan tentang sejarah Rusia. Bahkan, aku ingin seperti tokoh yang ada dalam novel kang Abik yang mengenyam studi di Moskow,Rusia.
Berselang dua tahun kemudian, aku membulatkan niatku untuk mengikuti tes masuk PTN. Tentu saja, pilihan pertamaku adalah sejarah. Setelah berminggu-minggu menunggu kepastian, ku dapati namaku tertera disalah satu surat kabar. Dan aku diterima sebagai mahasiswa Pendidikan Sejarah. Inilah, wujud dari kerasnya pilihanku ayah. Aku tahu, Sejarah adalah jalan yang ditunjukan Tuhan untuk kesuksesanku esok.
***
Remang-remang kudengar lagu yang membuatku semakin terisak. Aku menangis. Suara laki-laki parau menyanyikannya dengan penuh makna, “ayah dengarkanlah aku ingin bernyanyi walau air mata dipipiku”, begitu kiranya dia berdendang. Kembali ingatanku akan surat coklat dibawah kasur. Tanpa basa-basi aku membukanya perasaan tak karuan.
Beberapa lembar foto ibuku yang terbaring lemah di atas tempat tidur Rumah Sakit dengan segala alat-alat bantu kedokteran disampingnya. Dan tulisan ayahku dengan tinta hitam pekat.
Belajarlah sejarah dengan baik anakku. Jadilah pendidik yang bermanfaat. Ayah menyadari bahwa tanpa sejarah kita tak akan bijak dalam suatu masalah. Tapi, ingatlah kami ayah dan ibumu. Ku mohon kau pulang esok hari, kau masih anakku dan aku masih ayahmu. Ibumu merindukanmu.
Air mata ku tak tertahan, foto-foto ibuku basah. Aku yang bodoh dalam hal ini. Aku kembali untukmu ayah dan ibu, tapi sejarah tetap masih dalam aliran darahku. Kalian penting untukku, namun pendidikan juga penting untuk masa depanku. Dan kali ini, aku pulang untuk ibu dan ayahku. Sejarah tetap jadi acuan dalam hidupku.
By, Devi Nur Anggraini