“Selamat pagi Tuan Rey! Masih sibuk mendekorasi ruangan? Seperti anak TK saja” Lelaki paruh baya dengan perut buncit itu kembali menyempatkan diri mengejekku.
Aku memalingkan muka tak acuh, sudahlah ini sudah menjadi rutinitas pagiku semenjak ia tahu bahwa Aku adalah anak orang kaya.
“Apa Papa tercinta tak pernah datang tuan? Untuk sekedar menyapa atau memberi uang saku misalnya.” Lelaki berperut buncit itu tertawa puas.
Aku memilih tersenyum getir melanjutkan pekerjaanku. Ya, mendekorasi ruanganku. Hari ini ruanganku akan kupasangi lampu dan buku-buku di sudut dindingnya. Jika kalian berbalik maka kalian akan melihat hamparan rumput luas dengan pepohonan dan beberapa binatang disekitarnya, aku sendiri baru menambahkan kolam renang minggu lalu.
Disebelah kanan menghadap kedepan rumah karena ruangnya tak cukup besar jadi aku hanya menaruh beberapa bunga, cukup indah setidaknya bagiku yang tinggal sendiri disini. Sementara halaman belakang, Aku membiarkannya tampak alami dengan langit cerah bertemu pantai dengan laut biru. Aku mulai suka hasil dekorasiku, hampir setiap hari aku menambahkan detail disetiap tempat. Tapi bulan depan Aku akan meninggalkan tempat ini. Tempat yang sudah kutinggali selama 8 tahun.
Umurku masih 20 saat itu, saat Bunda menaruh harapan besar kepada anak laki-laki semata wayangnya. Walaupun agak malas tapi Bunda tau aku anak yang cukup cerdas, karena dengan malas sekalipun aku masih dapat masuk perguruan negeri yang cukup bergengsi. Bunda yakin dalam 7 atau 8 tahun kedepan pikiranku akan berkembang dan aku akan menjadi arsitek sukses. Namun disinilah aku terbuang jauh dari keluarga, tak punya apa-apa dan siapa-siapa setidaknya sampai beberapa bulan. Karena aku sudah punya rencana matang saat pulang kerumah nanti.
Satu Bulan Kemudian...
“Rey? Kamu.. Sudah pulang?” Papa nampak bingung saat membukakan pintu besar rumah kami dan yang dilihatnya ternyata Aku. Kikuk, tidak percaya, gelagap serta ada raut kesal disana tentu saja.
“Iya Pa, Rey lulus lebih cepat ternyata.” Aku tersenyum manis, dalam hati menantang.
“Kenapa bisa?” Papa masih menahan pintu belum mempersilahkan Aku masuk.
“Karena Rey pintar dan berkelakuan baik, seperti pesan Bunda.” Aku masih memberi senyum manis.
Papa sedikit tertegun. “Ah iya, Bundamu.”
“Rey nggak ditawarin masuk Pa?” Aku melempar senyum yang lebih lebar.
“Oh iya masuk-masuk, taruh saja dikamar atas barang-barang kamu. Kamar kamu tidak ada yang menempati.” Papa terbatah sembari membukakan pintu.
Aku langsung naik menuju kamar, dari sudut tangga kulihat wanita itu keluar dari kamar berbincang dengan muka masam dengan papa. Mungkin tidak suka Aku pulang kerumah.
Dirumah ini hari-hari kulalui seperti biasa. Aku mulai kembali menggunakan kamarku, fasilitas rumah, mulai sering keluar menggunakan mobil klasik koleksi Bunda. Aku tidak membuat masalah apalagi marah penghun rumah. Aku sopan dan patuh kepada Papa juga kepada wanita itu yang nampaknya semakin hari semakin bisa menerimaku. Akupun tidak ada masalah hanya saja semua terasa berubah karena tak lagi bersama Bunda.
Aku rutin mengunjungi bunda 2 kali dalam seminggu, menceritakan banyak hal, menceritakan tentang papa, tentang aku yang jauh dari rumah, tentang wanita itu dan terutama tentang rencana masa depanku. Aku berkali-kali mendatangi Bunda agar aku memperoleh izinnya, agar tak goyah menjalankan semua yang semenjak jauh hari sudah aku rencanakan. Walau Aku tak pernah yakin apa Bunda benar-benar setuju dengan ideku ini, tapi setelah semua itu kujalankan maka harapan bunda kepadaku akan terpenuhi. Aku juga akan membalas setiap sakit hati Bunda.
Tiga bulan semenjak aku kembali kerumah ini. Pukul 7 pagi saat Bi Romlah meneleponku.
“Ini Mas..” Suaranya terbata. “Anu, dirumah ramai Mas banyak polisi. Bapak ditangkap.. Terus Nyonya.. Eh.. Nyonya, anu.. Nyonya meninggal. Katanya keracunan, ppolisi nangkap bapak.” Suara Bi Romlah parau habis menangis bercampur takut dan syok namaknya.
Mendengar kabar tersebut Aku langsung bergegas pulang kerumah. Aku memang memutuskan untuk menginap dirumah temanku semalam, sudah semenjak beberapa minggu ini aku rajin menginap disana. Sesampainya dirumah, keadaan rumah kacau. Orang-orang berkerumun, wartawan, polisi dan para tetangga datang. Aku menerobos masuk, menjelaskan bahwa aku anak si pemilik rumah. Seorang polisi menjelaskan kejadiannya. Aku tertegun kemudian menangis di depan orang ramai, sekali dua tertangkap oleh kamera wartawan.
Aku kemudian dibawah ke kantor polisi, dimintai keterangan. Aku menjelaskan bahwa keadaan dirumah baik-baik saja, Aku tidak ada masalah dengan wanita itu, tidak juga punya masalah dengan Papa. Polisi menjelaskan kemungkinan wanita itu mati diracun, dan dikamar Papa ditemukan sampah bekas racun. Tapi kudengar Papa berteriak menjelaskan bahwa bukan dia yang meracuni wanita itu. Entahlah bagaimana sebenarnya, tapi saat dimintai keterangan Aku menjelaskan bahwa Papa memang sering beraselisih paham dengan wanita itu. Bahkan saat Aku menginap semalam mereka juga berselisih paham.
Beberapa hari kemudian setelah melakukan otopsi dan mencari bukti dirumah, ternyata Papa didakwa atas tuduhan pembunuhan. Semua bukti dan keterangan jelas mengarah padanya, bahkan pengacara kondang yang disewanyapun tak mampu banyak membela. Jadilah Papa diputuskan bersalah.
Dan aku? Aku akhirnya kembali ke rumah ini sendiri. Tanpa Bunda juga tanpa Papa. Tapi tak lagi rasa sedih dan benci saat kembali seperti 3 bulan lalu. Ya, tentu saja. Tentu saja Aku pulang dengan membawa semua benci, sedih dan dendamku kepada Papa dan wanita itu. 8 tahun lalu, Aku tahu benar kejadiannya.
Bunda adalah sosok yang giat, punya banyak relasi disana sini, menggunakan kempuaan bersosialisasinya untuk membangun bisnis dan menghasilkan banyak uang. Tapi papa, papa adalah pemalas yang pandai memelas. Namun didepan orang banyak bertingkah seolah dia berkelas. Aku tau seberapa busuknya Papa, dibelakang Bunda dia bermain mata dengan wanita itu, sering sekali diam-diam mencari waktu untuk bertemu dan membelikannya sesuatu.
Bunda bukanlah wanita bodoh, sampai saat Bunda tau semua itu Bunda meminta Papa menceraikannya, Bunda juga sudah merencanakan untuk mengalihkan semua kekayaannya atas namaku. Namun berapa hari kemudian bukan surat cerai yang di dapat Bunda, namun kematian. Dan atas kematian Bunda, akulah yang dipenjara. Aku yang disalahkan dan Aku yang harus menanggung semua beban.
Sementara Papa? Tentu saja dia hidup mewah berleha-leha dengan harta kekayaan Bunda saat Aku tidak ada. Dan wanita itu? Tentu saja dinikahinya, diajaknnya tinggal bersama, bergaya seolah-olah menjadi nyonya rumah.
Aku ingat sekali saat pertama Aku tidak mengerti. Papa menangis terseduh melihat tubuh Bunda yang terbujur kaku, padahal Aku tahu bahwa Papa dan Bunda kerap berseteru. Aku sudah menjelaskan ke polisi bahwa bukan Aku, bahwa Papalah yang bersalah. Namun apa semuanya berbalik kepadaku, tahu apa aku saat itu. Aku masih berumur 19 tahun, benar-benar sasaran empuk kurasa.
Dan sekarang disinilah Aku membalas semua senduh dan pilu, tak ada lagi kehidupan yang hina dipenjara, tak ada lagi sedih yang harus kutangisi. Papa harus menanggung semuanya, tipu muslihatnya dulu saat menjadi bedebah sekarang telah menjadi bumerang. Aku telah datang, menunjukkan kepadanya kapan karma bisa menyerang.
Ya, tentu saja. Tentu saja aku yang meracuni wanita itu, aku pula yang memalsukan semua bukti. Aku membuat keterangan palsu, juga membayar pengacara Papa agar tidak membelanya. Dan disinilah Aku, tidak lagi melukis dinding tembok kamar penjara bergelut dengan kebebasan imajinasi. Tidak pula bergelut dengan dendam dan benci. 3 bulan yang lalu bagiku aku masih dalam belenggu masa lalu. Tapi sekarang, aku sudah menemukan hakekat bebas sejatiku.
By, Deska Liana