Engkau menjelma dalam setiap jumat yang hangat, jumat yang menurutmu selalu menjadi hari yang paling hikmat. Engkau pula menjelma dalam desir angin sore yang membelai anak rambut, kau selalu kewalahan merapikan rambut hitam lurus panjangmu saat angin jahil menghembus menerpa wajah cantikmu. Engkau juah menjelma pada garis jingga yang tergurat saat matahari hendak tenggelam kearah barat, kau akan menghentikan langkah kaki berdiri di trotoar jalan dibawah rambu dilarang berhenti. Hati dan matamu akan tertamat tak berhenti mengamat. Ya, kau selalu menyukai langit senja yang membara.
Aku tak pernah lupa wajah cantikmu yang selalu tersenyum melihat semua itu, melempar senyum mempesona itu kepada aku yang selalu mengiring dibelakangmu. Kau punya gigi yang tak rapi, bertingkik. Namun itu yang membuat senyummu semakin menghangatkan mata. Kau punya tertawa yang ramah, suara lembut yang menghanyut jiwa, badanmu semampai, menurut orang-orang mungkin kau terlihat terlalu kurus tapi dimataku kau sempurna. Mungkin aku berlebihan menggambarkanmu saat aku menyebut kata sempurna, namun itu yang kuihat ada padamu.
Aku bukan penyair hebat bukan pula orang yang berbakat, namun setiap elegi yang coba kurajut semua lantaran aku memikirkanmu. Hari ini, tepat 1 tahun setelah kejadian itu. Setelah kutelurusi semua, kutemukan bukti, kususun semua rencana, maka hari ini kujajaki lagi jalan ini jalan yang biasa kita lalui. Ya, hari ini aku akan menemuimu kembali disini. Disebuah café tempat kita biasa menghabiskan jumat sore kita bersama. Aku yakin kau akan ada disana.
Aku juga tau bahwa laki-laki itu akan juga ada ditempat ini maka aku putuskan datang setengah jam lebih dulu, aku sudah menghabiskan 2 kopi. Dan benar saja setelah pesanan kopiku yang ketiga datang laki-laki itu ambruk dari tempat duduknya. Perempuan yang ada didepannya menjerit histeris memancing semua mata tertuju kepada mereka.
“Toloongg.. Tolonngg.. Siapa saja, tolong telepon ambulance!” Wanita itu berjongkok mendekati laki-laki itu, terlihat dari kejauhan mulutnya berbuih.
Orang-orang mulai berkerumun mendekati sumber keributan, Aku yang tadinya berdiri kembali duduk karena sudah tidak ada lagi yang bisa dilihat. Tampaknya hanya beberapa menit lagi laki-laki itu akan meregang nyawa, bahkan saat ambulance datangpun kurasa sudah sangat terlambat aku sudah memperkirakannya.
Aku kembali duduk, tersenyum kearah kursi kosong didepanku. Kursi yang biasa kau duduki. Bila kau disitu kau pasti dengan malu akan bertanya “Kenapa” saat aku menatapmu begitu lamat. Lalu aku akan mendekatkan wajahku, berbisik pelan “Kau cantik dan Aku mencintaimu”. Dan kau akan tersipu, mengangkat gelas kopimu, menyesap air yang mampu terseruput oleh bibir merahmu, memalingkan wajahmu kearah jalan, membiarkan angin meniup-niup rambut indahmu. Kau terlihat begitu cantik saat itu.
Diruangan ini hanya aku yang tidak peduli dengan kejadian yang menimpah laki-laki itu. Kenapa harus? Lagipula dia memang pantas mati. Laki-laki yang telah berani merebutmu dariku, laki-laki yang dengan kejam membunuhmu.
Siapa dikota ini yang tidak tahu dengannya, seorang anggota DPR termuda anak dari orang kaya pula, banyak gadis yang tergila-gilanya dengannya. Tapi kau tidak. Kau adalah gadis spesial yang tidak melihat laki-laki hanya dari tampilan dan kekayaannya, kau tau dia busuk. Saat ia merayumu dengan segala ucapan manisnya, barang-barang mahal yang dikirimkannya sebagai hadiah, cerita tentang kehidupan menterengnya, kau tidak tergoda. Kau tau bahwa semua yang diperolehnya adalah hasil dari kecurangan dan segala tipu. Dan kau selalu memilih aku.
Sungguh, aku sungguh telah mengusahakannya. Mengusahakan agar dia dihukum seberat-beratnya, tapi entah mengapa saat kematianmu diusut bahkan namanya tak pernah disebut. Akupun mencari semua bukti, mengumpulkan semua saksi, mencari segala sesuatu yang bisa membuat dia membayar perbuatannya. Aku melaporkannya dengan semua bukti yang sudah jelas. Dan entah kenapa saat kasus kematianmu dibuka kembali, dia hanya berstatus sebagai saksi. Bahkan seharipun dia tidak mencicipi tidur dibalik jeruji.
Aku muak dengan semua ini, muak dengan segala konspirasi orang-orang berdasi. Mereka yang diberikan wewenang yang hidupnya selalu bersenang-senang. Dia membuatmu pergi dari dunia ini, aku menghabiskan hari-hariku menangis, meratap, menyesali kepergianmu, sementara dia? Dia hidup dalam kemewahan, duduk di kursi bertahtakan emas berlian, siapa yang peduli dengan dosanya, siapa yang peduli dia telah memisahkan kita. Maka hari ini kuputuskan menghukumnya dengan caraku sendiri.
Meski aku tak dapat lagi melihatmu, aku tahu kau sedang disini. Sedang tersenyum hangat menatapku. Aku memberikan tangan kiriku, aku juga tahu bahwa kau sedang menjulurkan tangan kananmu menggenggam erat, menguatkan aku.
“Kita akan kembali bersatu.” Aku menatap lamat bangku kosong yang aku tahu kau ada disitu. Kemudian menuangkan cairan yang tadi setengahnya kutuangkan kedalam gelas laki-laki itu kedalam secangkir kopiku. Kopi yang sama yang selalu kau pesankan untukku, kopi yang selalu kau paksa aku habiskan lantaran tak tega melihat mataku yang sayu. Sebentar lagi kerumunan orang itu juga akan mengerumuniku, dan aku sebentar lagi akan datang kepadamu dengan menghabiskan secangkir kopi terakhirku.
*****
By, Deska Liana