“Kamu pikir membesarkan anak semudah main anak-anakan!”
Jentaka terdiam, pelan-pelan dia kunyah roti tawar dengan isian selai kacang kesukaan ibunya. Jentaka tidak begitu menyukai selai kacang, teksturnya lengket dan akan meninggalkan rasa licin di lidah. Tapi terpaksa harus dia makan, hanya itu yang diberikan ibunya pagi ini. Bukan hanya karena selai kacang yang tidak Jentaka suka, omelan ibunya itu kerap kali dia dengar setiap hari, bahkan kadang untuk hal-hal yang kurang dimegerti olehnya.
Ada yang bilang jika omelan dari seorang ibu adalah bentuk kasih sayang. Bohong, Jentaka tidak percaya. ‘Omelan’ dari arti kata yang dia cari dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia saja sudah berbeda, terlebih lagi yang dia lihat dari kenyataan. Ya, ibunya itu.
“Seharusnya kamu itu lebih pandai cari muka ke ayah kamu. Biaya sekolah sama makan kamu itu gak murah, Jen. Kamu itu bukan anak kucing yang kalau mati tertabrak mobil gak akan jadi masalah.”
City car yang dikemudikan oleh Ibunya terhenti, kerumunan anak-anak menghambat laju mobil yang sedikit lagi akan memasuki gerbang sekolah, ibu Jentaka mendengus kesal.
Dari balik kaca mobil Terlihat seorang penjaga sekolah sedang berusaha mengevakuasi bangkai hewan berkaki empat yang tergeletak di bahu jalan. Anak-anak itu menjerit jijik dan mulai berlari masuk kedalam area sekolah.
Jentaka berhenti mengunyah. Dari sela-sela kerumunan Jentaka bisa melihat, selain darah tubuh hewan itu berlumur cairan kental menyerupai karamel dengan isi perut berburai dan dipenuhi bernga.
Rasa selai kacang dan penampakan isi perut hewan itu memberikan sebuah sugesti pada otak Jentaka. Isi perutnya tiba-tiba saja terasa menekan. Jentaka menutup rapat mulut, berusaha menahan agar hasil pencernaan dalam perutnya tidak ikut terdorong ke luar.
***
“Hewan itu semakin banyak saja di sekolah ini. Menjijikan,” ucap seorang anak laki-laki berambut ikal.
“Gak boleh gitu. Kamu pikir mereka terlahir karena kemauan mereka sendiri,” cetus seorang anak perempuan berpita merah.
“Salah sendiri terlahir jadi hewan. Menyusahkan manusia saja,” gumam anak laki-laki itu.
“Ih, menyebalkan. Kamu tuh ya yang suka jahatin mereka pasti dibalas. Biar saja nanti dia gentayangan menghantui kamu!”
Dari balik jendela kaca mereka terus memperhatikan proses penguburan hewan kecil berkaki empat yang sudah dibungkus kain oleh penjaga sekolah. Jentaka memilih tetap duduk di bangkunya, rasa mual masih dia rasakan. Sebenarnya rasa selai kacang dan omelan ibunya yang lebih membuatnya mual.
Meskipun belum cukup besar, keadaanlah yang membuat Jentaka berpikir melebihi dari ukuran tubuhnya. Jentaka bisa mengerti tentang makna tidak lagi hidup bersama walaupun tidak mengerti tentang arti sebuah perpisahan. Yang pasti ibu dan ayahnya sudah tidak tinggal serumah lagi. Jentaka tidak bisa memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibunya, dia hanya bisa berserah diri pada salah satu dari mereka yang mau menerima dan mengurusnya saja.
Entah kenapa ayahnya tidak bisa mengurus dia sehingga Jentaka terpaksa harus tinggal dengan ibunya. Andai saja ayahnya yang mengurus, pasti ibunya itu tidak harus mengomel setiap hari dan Jentaka tidak harus berbohong setiap bulan untuk lebih banyak mendapatkan kiriman uang dari ayahnya. Di sekolah diajarkan jika berbohong itu tidak baik, di rumah justru diajarkan jika dia harus berbohong demi kebaikan.
Jika melihat ibunya yang sering berkeluh kesah, Jentaka selalu merasa bersalah. Sesulit itukah membesarkan dirinya? Hal itu membuat Jentaka mengerti jika dia tidak seharusnya mejadi anak yang menyusahkan kehidupan ibunya.
“Taka ... hei!”
Anak perempuan berpita merah itu membuyarkan lamunan. Jentaka memang anak yang lebih banyak diam, itu karena isi kepalanya terlalu berisik. Diam seorang Jentaka adalah cara agar semua isi kepalanya tidak terdengar. Jentaka merasa jika banyak orang-orang hanya ingin didengarkan dan sedikit yang mau mendengarkan dia, seperti ibunya itu. Mulut manusia satu, telinganya dua, sayang penggunaan fungsi melebihi jumlahnya.
“Taka, tadi kamu lihat bangkainya?” tanya anak perempuan itu.
“Lihat,” jawab Jentaka.
“Kasihan ya.”
“Kenapa harus kasihan pada yang sudah mati?”
“Ih, Taka, gimana sih. Coba Taka, bayangkan kalau Taka, meninggal dengan perut yang sudah dimakan belatung.”
“Memangnya kenapa dengan belatung?” tanya Jentaka.
“Belatung itu parasit dia menempel pada bangkai dan akan memakan habis bangkai itu menjadi tulang-belulang. Untung saja bangkai itu belum terlalu lama jadi masih utuh.”
“Kamu juga kalau mati nanti dimakan belatung, tiga hari saja perut kamu bisa pecah.”
“Ih, Jentaka ....”
Sebuah ekpresi ngeri ditunjukkan oleh anak perempuan berpita merah itu. Jentaka hanya terdiam. Jentaka kembali sibuk dengan pikirannya. Belatung sekalipun memiliki peranan dalam rantai makanan, dia mengurai bangkai. ‘Apakah aku berguna untuk ibuku?’ tanya Jentaka dalam hati.
***
Dari sisi lain Jentaka diam-diam memperhatikan gudang yang ada di belakang sekolah. Sebuah jendela kaca di samping Jentaka memiliki pengaruh kuat untuk mengalihkan perhatiannya dari papan tulis. Jentaka seharunya mencatat materi konversi satuan volume sistem kubik dan liter yang ditulis oleh gurunya.
Suasana siang ini cukup redup dengan awan kelabu dan percikan petir yang mulai terlihat di permukaan langit. Angin kencang mulai menembus ventilasi jendela, mengembuskan dingin pada seisi ruangan.
Jentaka tampak menahan gelisah. Dari kejauhan Jentaka bisa melihat sosok kecil terikat pada sebuah pohon yang ada di depan bangunan gudang sekolah. Sosok itu tampak mulai lemah karena mencoba terlepas dari ikatan.
Tetes hujan mulai berjatuhan. Jentaka semakin gelisah ketika melihat cucuran air mulai jatuh pada sebuah kaleng cat besar yang diletakkan tepat di bawah kocoran air. Bel pulang sekolah akan berbunyi kurang lebih sepuluh menit lagi. Jentaka tidak tahan untuk segera keluar kelas. Dia meletakkan vulpen, berdiri dengan ragu-ragu lalu akhirnya duduk kembali.
“Pak!” seru Jentaka mengangkat ragu-ragu tangannya.
Pak Guru membalikkan badan dari hadapan papan tulis lalu mencari muridnya yang bersuara. Setelah menemukan Jentaka yang duduk di bangku belakang, Pak Guru hanya menatap Jentaka.
“Saya izin ke toilet,” ucap Jentaka lirih.
Pak guru mengalihkan tatapannya pada jam dinding yang ada di belakang Jentaka.
“Kalau nanti kelas sudah kosong jangan lupa dikunci pintunya,” jawab Pak Guru lalu membalikkan kembali tubuhnya pada papan tulis.
Jentaka segera beranjak dari bangku, dia melangkah melewati jajaran bangku teman-temannya. Sebelum keluar kelas Jentaka kembali memperhatikan wajah keempat teman yang duduk dalam barisan yang sama. Seorang anak laki-laki berrambut ikal dengan seragam putih merahnya yang kumal, wajahnya benar-benar tenang. Jentaka memalingkan pandangannya dari anak itu, dia menarik napas, mengembuskan perlahan, lalu menutup pintu kelas.
Hujan semakin deras, lantai di koridor gedung sekolah terasa semakin lembab terkena percikan air hujan. Jentaka berjalan dengan hati-hati karena lantai yang basah mulai licin. Gedung sekolah ini cukup besar, karena merupakan bangungan tua dan belum banyak mengalami pemugaran sejak zaman kolonial Belanda sehingga kesan vintage masih begitu terasa.
Toilet murid terpisah dari gedung kelas yang dibuat melingkari halaman utama tempat melakukan upacara bendera. Lorong kelas terasa begitu tenang, suara kegiatan belajar mengajar tersamarkan oleh derasnya hujan, petir, dan suara dedaunan dari pohon yang tertiup angin.
Jentaka melewati toilet murid begitu saja, tujuannya adalah gudang sekolah. Sesampainya di tempat, Jentaka melihat sosok kecil itu meronta-ronta berusaha terlepas dari ikatan. Badannya kurus, berbulu, kuku-kukunya runcing, sosok itu mencoba mencakar tali yang mengikat satu kakinya.
Suara-suara di sekitar begitu mengganggu pendengaran. Jentaka sedikit berlari menuju pohon untutuk melepaskan sosok kecil itu. Ada beberapa luka bersarang di tubuhnya, Jentaka tahu siapa saja pembuatnya.
Ikatan terlepas, sosok itu berlari menuju sebuah ember kosong bekas kaleng cat yang ada di sisi gudang sekolah. Kaleng cat itu berukuran cukup besar hingga sosok kecil itu meronta-ronta berusaha menumpahkan isi dari kaleng cat yang hampir terisi penuh oleh air hujan. Jentaka hanya diam memperhatikan hingga suara-suara dari dasar kaleng cat itu berhenti terdengar.
Kaleng cat sudah dipenuhi air. Dengan bulu-bulu tipis yang basah, ketiga sosok mungil mengambang ke permukaan. Jentaka mengambil sosok kecil yang masih berusaha menumpahkan kaleng cat, dia peluk erat sosok kecil itu di bawah derasnya hujan. Jentaka tersenyum, ‘Hidupmu akan lebih mudah,’ ucapnya dalam hati.
***
Kucing Kecil, Robeni, 2021
Sebuah cerita pendek oleh, Robeni