Ia menyeret diri dalam lumpur, di malam gelap di tengah rawa-rawa, sementara pasukan Raja Bana yang tak terbilang jumlahnya menyusul menunggang kuda, dengan setumpuk badik dan celurit yang siap menggores lehernya, dengan pedang dan segudang dendam. “Terus saja merangkak hingga tiba kelok pertama,” Ia terus mengingat titah ayahnya. “Lalu beranjak menuju timur ke Alas Raya, kita bertemu di sana.”
***
Dari sesama selir ia mendengar kabar kematian Raja Bana, dan itu membuat kepalanya terasa memberat sehingga begitu sulit untuk tertidur di malam hari, baru menjelang pagi Ia biasanya bisa mengatupkan mata dan mendengungkan dengkur. Tak ayal, hanya dalam waktu dua malam, kantung mata yang semula putih mengkilap bak pualam berubah menjadi hitam legam, persis seperti permukaan punggung budak belian yang ia lihat saban hari.
Ada banyak desas-desus—dan memang selalu ada desas-desus di tempat ini—tentang kematian Raja.
“Raja mati karena tergelincir, dan kepalanya membentur batu kutukan, persis beberapa saat setelah membakar satu barak besar pasukan pemberontak di sungai Cibinuang,” desis Selir bermata biru. “Raja meregang nyawa karena pasukan pemberontak mendapat bala bantuan berupa burung-burung yang melesakkan bebatuan panas dari angkasa,” sahut Selir dengan dada busung, tak mau kalah. Di luar, masih banyak cerita-cerita lain, yang tentu saja tak kalau menakjubkan, tetapi hanya dua itu yang sampai padanya.
Rencana untuk membumi hanguskan kelompok pemberontak terlebih dahulu ia dengar dari mulut Raja, di tengah percintaan yang tergesa-gesa, di suatu malam yang sesak oleh lolong ajag. Tetapi ia tak pernah tahu Pemberontak mana yang dimaksud. Terlalu banyak puak yang membelot sehingga, mau tidak mau, saat seseorang mengatakan “Pemberontak”, tanpa embel-embel jelas di belakangnya, Ia hanya mampu menebak-nebak.
Ada tiga masalah yang saling telikung dalam urusan ini. Pertama, Pemberontak selalu bertambah dalam waktu singkat—tak sepadan dengan kegesitan berpikir sang Raja yang menyedihkan. Masalah kedua, separuh dari mereka belum beroleh nama resmi sebagai simpul identitas, sehingga tak jarang Ia merasa penasaran sekaligus cemas. Masalah ketiga, hanya Sang Raja yang berhak memberi nama. Masalah lain, selalu ada masalah saat satu masalah tak segera dibenahi.
Ia tak berani bertanya. Interaksi Raja dan Selir, utamanya saat bercinta, telah diatur dalam Undang-undang Kerajaan No. 166/984 H, yang sering ia baca berulang-ulang saat melintasi Aula. Selir hanya boleh mengerang, menjerit, atau melenguh. Sementara Raja dibebaskan melancarkan kalimat apa pun—termasuk makian—kecuali menyebutkan nama Tuhan semesta alam. Aturan ini diresmikan oleh Raja Sarip, Kakek dari Raja Bana, konon tepat 40 hari setelah tamasya mengunjungi Batu Hitam di Arab.
Malam itu, saat percintaan hanya berlangsung selama satu kali balikan jam pasir, ia hanya melenguh—sebagai tanda penghormatan. Sementara Sang Raja, sembilan kali mengatakan akan menggasak Pemberontak, dan beberapa kali mengucapkan sumpah serapah yang bahkan tak pernah terlintas di kepala para Bromocorah.
Begitulah gohong besar tercipta di pikirannya, menjauhkan dengkur panjang dari kasurnya, mengganggu malam-malam kelam yang gelap dan sunyi. Kelompok mana gerangan yang kena hantam Sang Raja?
Sementara pertanyaan itu terus mendesing, Para Petugas yang ditunjuk langsung oleh Permaisuri untuk mengurusi upacara pemakaman, sudah hampir merampungkan seluruh tugasnya.
Mereka telah mengumpulkan sembilan pemuka agama untuk melantunkan doa, mendatangkan pelbagai kayu yang menguarkan aroma tertentu; dari Cendana hingga Gaharu, dari Kamper hingga Suren. Pun, juru masak terbaik telah didatangkan dari Pulau Seberang—urusan perut para tamu tentu telah dipikirkan. Segala sesaji, yang akan memperlancar pemberangkatan roh Raja menuju Nirwana, telah dipesan sejak kabar kematian terdengar. Perguruan peniup seruling, yang telah dipercaya untuk memeriahkan Pati Obong** sejak Raja pertama mati, telah tiba malam tadi. Segalanya hampir sempurna, kecuali ketersediaan para Selir untuk ikut mati dilalap kobar api.
Raja memiliki 1839 Selir, dan jumlah itu akan terus bertambah jika malaikat maut tak datang menghadang lebih dulu. Mereka yang telah mati atau pensiun tak masuk hitungan. Raja Bana hanya memelihara selir hingga batas usia 30 tahun, selebihnya akan diberhentikan dan mendapat sejumlah upah tiap bulan. Kenikmatan sejenis itulah yang menyebabkan sebagian Gadis mendaftar untuk menjadi Selir, meski sebagian lain didatangkan paksa.
Ia telah mendengar langsung bahwa Selir bermata biru bersedia untuk Pati Obong. “Jika bukan hari ini, kita akan tetap mati di tangan mereka,” katanya, dengan suara yang memberat dan sedikit gemetar.
“Dalam hidup, selalu ada celah dan kemungkinan,” Ia menimpali, berusaha menahan haru.
“Tidak jika kau berurusan dengan maut.”
Begitulah. Ia terus terjaga, sedangkan waktu sudah lewat tengah malam. Di luar, segalanya tampak riuh namun teratur. Suara hewan malam yang saling sahut, desing benda-benda diangkat tukang, percakapan samar-samar, tangis haru orang-orang yang kehilangan Rajanya, semuanya saling susul-menyusul, saling tilap-menilap. Sementara Ia tengah menopang dagu dengan kedua tangan, terduduk di atas kursi kayu menghadap jendela, dengan mata yang tak terkatup tapi tak juga menatap apa-apa. Malam semakin menggila, segala jenis hantu tertiup oleh udara, dan ia tetap saja begitu. Tak ada isyarat Ia akan beranjak.
Aroma cempaka dari lilin yang Ia bakar mulai luntur dilahap waktu. Di kamar masing-masing, satu demi satu Selir mulai memadamkan lampu. Mereka hendak menikmati tidur yang panjang, lelap dan intim. Tidur terakhir dalam hidup mereka yang singkat dan penuh pengabdian. Sebab esok pagi, kobar api akan mengubah tubuh-tubuh molek itu menjadi abu, menjadi debu, menguarkan aroma kematian di seluruh penjuru istana, menyebar ke kota-kota, ke desa-desa, dan ke tempat terjauh.
“Terus saja merangkak hingga tiba kelok pertama. Lalu beranjak menuju timur ke Alas Raya, kita bertemu di sana.” Ia mengingat kalimat terakhir yang diucapkan Ayahnya, bertahun-tahun lalu, ketika Raja Halimun, Ayah Raja Bana, menggasak pemimpin pemberontak paling licin itu, dan memorak-porandakan garis hidupnya, memberaikan susur galurnya.
Itu adalah saat di mana Ia diboyong menuju Istana, kulitnya dipupuri, diberi wewangian, dan diperam hingga dua benjolan di dadanya mulai tumbuh menyembul, mengundang ular besar memasuki tubuhnya, berkali-kali. Sementara Ibunya, Kakaknya, Pamannya, Sepupunya, dan seluruh anggota kelompok yang berhasil lolos dari telikung dan sergapan pasukan Raja Halimun, menghilang tanpa warta. Mungkin berkelana ke negeri jauh, atau menghimpun kedigdayaan dan membuat kelompok pemberontak itu lebih siap untuk melancarkan ancaman-ancaman. Apa pun itu, Ia selalu berharap nasib mujur menghampiri mereka.
Sejak kali pertama menginjakkan kaki di tempat ini, Ia terus mengatur siasat untuk enyah. Tetapi keamanan yang mengepung Istana serupa kepingan-kepingan kaca yang berserak di lantai; terhampar dan meminta ketelitian lebih. Ia pikir, ini adalah saat yang tepat untuk melangsungkan segala rencana yang pada hari-hari lalu muskil belaka. Di tengah rasa kabung, Istana tak akan menyadari jika satu Selir telah beranjak pergi dari ranjangnya—atau mungkin mereka tak sepenuhnya peduli. Waktu yang tepat tidak pernah datang berulang-ulang.
Masih pada posisi semula, dengan kedua tangan menopang dagu dan mata yang entah memandang apa, Ia menajamkan pendengaran. Di luar kamar, segala bising sedikit mereda. Hanya isak Selir lain yang datang sesekali, dan percakapan singkat yang berlangsung entah dari mulut siapa.
“Jenazah Raja akan tiba tak lama lagi, segera sediakan sekendi air dan tujuh macam wewangian,” perintah seseorang dengan nada bicara yang kalem. Mereka bercakap-cakap seolah tengah bergumam.
“Sebelum matahari terbit sempurna, sebarkan pengumuman ke seluruh penduduk, paksa mereka yang menolak hadir. Bila perlu ancam dengan naikkan upetinya berkali lipat.”
“Tak akan pernah ada ancaman, karena mereka akan berkumpul seluruhnya sebelum gong pertama dientak”
“Kau yakin?”
“Demi selanjau kulit yang membungkus tubuh, darah yang mengalir di dalamnya, juga kesetiaan kepada garis keturunan para Raja”
Percakapan lain melintas, lekas, tak terhitung, beberapa tak pernah tuntas, hanya tercekat di tenggorokan. Malam yang benar-benar menyita perhatian banyak mata. Yang bersedih dan berbahagia benar-benar terjaga.
Bagi para munsyi di meja judi, siapa yang kelak diangkat menjadi pewaris mahkota ialah taruhan yang menarik minat. Raja beroleh dua puluh satu Putra dan dua belas Putri dari Permaisurinya, sementara yang lahir dari rahim para selir tak terhitung jumlahnya. Jelas sekali akan terjadi pertengkaran, perpecahan, dan percikan tetes darah, sebagaimana yang terjadi pada peristiwa sebelumnya.
“Aku bertaruh dua ekor kuda untuk Pangeran Samin,” tutur seseorang berbadan tegap, dengan mulut beraroma arak.
“Bagaimana jika ditambah putri sulungmu, dan Aku siap kehilangan sembilan ekor kuda untuk Pangeran Ambar,” tukas seorang berbadan gempal, dengan lipatan-lipatan di lehernya, mencoba merayu si tubuh tegap.
“Aku hanya mabuk, bukan gila.”
“Kau sudah gila saat menjagokan Pangeran Samin. Ia telah wafat sebelum genap berusia sepuluh, saat Pemberontak dari Suku Bermata Biru membakar langgar tempatnya pertama kali berlatih kencing.”
Kecuali si badan tegap, seluruh yang terlibat dalam percakapan itu terbahak-bahak.
Para papa dan jelata yang telungkup di sudut-sudut Kota saban malam dan berkeliling menjulurkan tangan di kala siang hari, juga tak kalah gembira. Air muka mereka tampak jernih, sudut-sudut mata mereka mengisyaratkan rasa lega, seolah-olah segala pedih yang merisak garis keturunannya akan segera lenyap.
“Segalanya telah berakhir.” Sambil menggosokkan kedua telapak tangannya, seorang Rudin memulai percakapan.
“Tidak. Segalanya baru dimulai.”
“Ya. Segalanya baru dimulai!”
“Telah datang hari yang dijanjikan itu.”
Gerbang istana yang tinggi menjulang telah dibuka, Raja yang terkulai lemas di dalam peti mati sudah memasuki pembaringannya. Satu demi satu orang dituntut kembali terjaga, tak ada rehat yang memadai. Permaisuri segera menghampiri rombongan yang baru saja tiba, dan menumpahkan air mata. Orang-orang yang melihat adegan itu, utamanya para pemilik hati yang dijauhkan dari khianat, tak bisa membendung haru lebih lekas lagi.
Tetapi adegan haru itu tak berlangsung lama, sebentar kemudian seorang panglima datang memberi warta. “Salah seorang Selir telah melarikan diri,” katanya. “Ia berasal dari garis keturunan Sungai Cibinuang. Pemberontak yang membunuh Raja.”
Suasana haru berubah menjadi marah dalam satu tarikan nafas. Selir itu tidak saja berkhianat karena lepas dari tanggung jawabnya untuk Pati Obong, tetapi juga mengalir dari tubuhnya darah pembunuh Raja, yang tak akan dilupakan hingga hari kiamat tiba.
Ribuan pasukan berkuda disiapkan. Permaisuri yang molek menjadi begitu ganas, seolah siap memamah seluruh yang membelot.
***
Malam membentang semakin panjang, pagi tak memberi isyarat akan segera datang. Gelap masih menyelimuti kaki langit, segugus bintang tak bergeser sedikit pun sejak mula, sedang Ia terus menyeret diri dalam lumpur, mencari kelok pertama, sebagaimana titah Ayahnya.
Di tengah usaha keras, Ia tak sekalipun mengambil jeda, tak juga menolehkan pandangannya. Segala demit dan mambang tak ia hiraukan. Seluruh rasa cemas ia peram diam-diam. Sementara kita tahu, tak pernah ada kelok pertama, tak pernah ada Alas Raya, tak pernah ada pertemuan yang telah dijanjikan. Sebagaimana tak pernah ada orang yang menaruh minat pada cerita ini, sampai kemudian seorang Pemuda menuliskannya, dan Ia sampai kepadamu, dalam cerita yang tak begitu utuh (*)
Keterangan:
- Dari baris pertama puisi berjudul Kristus di Medan Perang, karangan Sitor Situmorang.
- Pati Obong; Ritual di mana wanita yang ditinggal mati suaminya dibakar hidup-hidup. Marak di Jawa pada abad ke-17, di India disebut Sati.
Cerpen Oleh: Muhammad Nanda Fauzan