Lelaki itu bersimpuh di dalam suatu rumah ibadah yang sepi. Ia menundukkan kepala, menahan tangis, dan mengucapkan doa-doa yang hanya bisa didengar oleh Tuhan dan angin. Begitulah yang selalu ia lakukan bertahun-tahun lamanya. Ia melakukannya tanpa pernah merasa bosan sedikit pun. Bagai dinding masjid yang keras dan kokoh, demikianlah keteguhan lelaki itu dalam bermunajat.
Sedari kecil, Ghulam dididik oleh orang tuanya tentang betapa pentingnya doa. Bahwa doa adalah senjata orang beriman dan dapat mengubah takdir buruk menjadi baik. Ia meyakini itu hingga masa tuanya. Ia tetap meyakini itu kendati selama puluhan tahun masa hidup, nasibnya boleh dibilang tak banyak beranjak.
Ghulam, lelaki yang selalu berdoa itu, kini menginjak kepala empat. Asam-garam kehidupan telah banyak ia cecap. Pahitnya kismat menjadi menu sehari-hari. Namun, ia tak serupa kebanyakan orang yang melulu mengeluhkan dan mengutuk kehidupan. Sejelek apa pun roda nasib berputar atas dirinya, ia selalu punya cara untuk bertahan dan bersyukur.
Beberapa kawannya sudah lama mati. Dengan cara-cara mati yang bukan hanya mengundang kedukaan, tapi juga rasa kasihan dan sesal. Ismat, salah satu kawan main Ghulam semasa kecil yang jago main sepakbola, adalah orang pertama yang meninggal dunia dengan cara yang tak pernah ia duga. Seminggu sebelum kematiannya, Ismat bertengkar sengit dengan istrinya yang sedang mengandung anak kedua mereka. Mulut istrinya merepet seperti pistol dengan peluru tak habis-habis tentang ketakbecusan Ismat, kemalangan hidup, dan kecemasan mengenai anak-anak mereka di masa depan. Ismat tak membalas repetan itu dengan kata-kata. Ia hanya menampar istrinya dengan mata bengis. Membuat istrinya menangis. Lalu, ia pergi dan baru pulang seminggu kemudian dalam wujud mayat—ia menusuk dirinya sendiri dengan golok seperti seorang samurai.
Ada pula Qori—teman Ghulam yang sangat baik bacaan Alqurannya dan rajin salat—yang mati gantung diri karena berturut-turut ditinggal mati oleh ibu, anak, dan istri yang amat ia cintai. Ghulam masih ingat peristiwa pada suatu Sabtu malam, ketika Qori dengan riang bercerita tentang Soleha—yang saat itu masih menjadi calon istri Qori—yang amat dipujanya. “Aku sangat mencintainya. Ia bukan hanya berwajah cantik, tapi akhlaknya juga manis dan ia orang yang taat beragama. Bagaimana bisa aku tidak mencintainya. Aku akan mencintainya sampai mati.”
Ghulam cuma menimpali dengan senyum tatkala mendengarkan ocehan Qori saat itu. Namun, ketika Qori mati mengenaskan, Ghulam menimpalinya dengan tangisan panjang dan perasaan tak keruan. Ia tak bisa mencari alasan tepat yang dapat membenarkan cara kematian Qori. Ia hanya bisa terus menangis sambil diam-diam menyimpulkan: Hidup memang dipenuhi dengan hal-hal yang sulit ditemukan alasan pastinya.
Masih banyak kematian-kematian janggal semacam itu—kematian orang-orang yang dikalahkan oleh kerasnya hidup. Sofyan, Rudi, Asep, Supri—dan ada beberapa nama lagi yang apabila Ghulam ingat-ingat, ia merenungi satu hal: Apakah orang-orang itu yang lemah ataukah kehidupan yang memang sudah kelewat keparat? Ghulam tidak memikirkan lebih jauh pertanyaan itu. Yang ia tahu, ia masih bertahan, walau bertubi-tubi dilanda musibah dan kesusahan.
Dua puluhan tahun silam, setelah tiga tahun pernikahan, Ghulam dan istrinya menjadi bahan gunjingan keluarga. Pasalnya tiada lain ialah karena mereka tidak pula dikaruniai keturunan. Padahal, Ghulam adalah anak semata wayang ayah-ibunya.
“Lebih baik kau ceraikan saja istrimu. Kalau kau sayang sama Ibu,” ketus Ibu.
“Tapi, Bu. Aku sayang sama istriku. Mana mungkin aku menceraikannya hanya karena ia tak bisa mengandung seorang anak.”
“Sudahlah, sekarang kau pilih saja. Ibu atau istrimu?”
Pertanyaan itu membungkam Ghulam. Ia tidak bisa memberikan jawaban apa-apa. Setiba di rumah dan menyaksikan istrinya berdiri dengan mata basah di ambang jendela, ia memeluk erat sang istri. Pada malam harinya ia tak tidur dan menghabiskan waktu berdoa meminta karunia anak kepada Tuhan. Sepuluh bulan kemudian, anak yang diharapkan itu pun akhirnya lahir. Bahkan bukan hanya satu, tapi dua anak sekaligus. Sepasang anak kembar yang lucu dan menggemaskan. Akan tetapi, kelahiran itu terasa terlambat. Sebab, tiga bulan sebelum kelahiran sepasang bayi tersebut, ibu Ghulam telah terlebih dulu menyusul mendiang ayah Ghulam ke dalam alam kubur.
Dan nasib buruk seperti gagak sialan yang memanggil nasib buruk lainnya. Salah seorang anak kembarnya, yang lahir belakangan, menderita sebuah penyakit aneh yang membuat kepalanya membengkak dan mulutnya tak bisa mengeluarkan suara selain rintihan dan tangisan. Penyakit itu berlangsung selama dua tahun kehidupan sang anak. Selama itu pula Ghulam selalu berdoa agar penyakit anaknya diangkat. Agar ia bisa menjadi seorang anak normal seperti kakaknya dan anak-anak lainnya. Ia tak pernah berhenti berdoa, walaupun penyakit sang anak kian parah dan utangnya semakin menggunung. Ia tak pernah melupakan petuah ayahnya: “Teruslah berdoa. Sebab tidak ada doa yang sia-sia.”
Dan doanya memang betul-betul terkabul, namun dalam bentuk yang paling buruk. Sang anak meninggal ketika Ghulam sedang berdoa selepas salat di ruang depan dengan lampu dimatikan, “Ya Allah, angkatlah penyakit anakku.” Tuhan tidak hanya mengangkat penyakit anaknya, tetapi juga nyawa dan masa depannya.
Ibu dan anaknya mati, tapi doa-doa Ghulam masih terus hidup, hingga bermasa-masa kemudian.
Selain dengan bekerja sebagai buruh pabrik sepatu dengan gaji tak seberapa, Ghulam selalu menyibukkan diri dengan berdoa. Sebuah kegiatan yang menjadi menu wajib dalam kesehariannya. Lambat laun, Ghofar, satu-satunya putra yang ia dan istrinya miliki, telah menjadi seorang lelaki dewasa. Ghofar memang tak mempunyai suatu keistimewaan khusus, semisal kerap meraih juara kelas atau pandai dalam keterampilan tertentu. Ia tergolong anak yang biasa-biasa saja. Namun, Ghulam dan istrinya sangat bangga dan mencintai anak tunggal mereka tersebut sebab ia adalah anak yang baik. Sepanjang belasan tahun, ia tak pernah melawan orang tua dan berbuat yang bukan-bukan. Ia tumbuh sebagai anak yang patuh dan lurus belaka. Selain itu, Ghofar juga anak yang tampan. “Mirip bapaknya,” canda Ghulam kepada istrinya.
Ghofar menjadi tonggak harapan kedua orang tuanya. Ghulam dan istri telah membayangkan potret masa depan yang indah. Terlebih, selepas Ghofar lulus sekolah menengah. Nilai akhirnya memang tidak bagus-bagus amat, tapi tidak bisa dibilang buruk. Sedikit di atas rata-rata, lah.
Pada pagi yang agak mendung itu, Ghulam dan istrinya melepas kepergian Ghofar yang baru menjalani hari pertama kerja di perusahaan cukup bonafide dengan dada penuh harap. Dengan sepeda motor anyar, Ghofar berlalu dengan gerak meyakinkan.
Tetapi harapan dan kebahagiaan kadang-kadang berumur lebih pendek dari jagung dan laron. Beberapa jam setelah Ghofar berangkat kerja, pada siang dengan awan-awan tebal yang kemudian menjadi hujan, kabar buruk merangsek ke dalam rumah Ghulam. Ghofar meninggal dunia. Sepeda motornya ditabrak truk tronton dengan sopir yang sedang mabuk dan memacu kendaraan secepat setan.
Mendengar kabar itu, istri Ghulam pingsan. Setelah siuman dari pingsannya, istri Ghulam demam berkepanjangan. Ia demam selama lebih dari seminggu hingga akhrinya harus dibawa ke rumah sakit. Ia menjalani perawatan selama berminggu-minggu lamanya tanpa perkembangan yang signifikan. Suhu badannya terus meninggi, wajahnya pucat pasi, tubuhnya kian mengurus, dan tiap kali tidur selalu mengigau dengan menyebut-nyebut nama dua anaknya yang sudah mati: “Ghofur… Ghofar… Ghofur… Ghofar… Ibu rindu sama kalian.”
Berbulan-bulan kemudian, istrinya masih terbaring di rumah sakit. Dengan bobot tubuh yang kian menyusut dan suara yang kian lemah. Penyakit dan kesedihan betul-betul telah menggerogoti hidupnya. Sementara Ghulam masih terus mengatur waktu dengan bekerja, menjaga istrinya, dan berdoa. Dengan kesetiaan dan ketabahan yang mengagumkan, ia melakukan tiga hal tersebut tanpa sekali pun tebersit perasaan untuk berhenti, untuk melarikan diri dari garis takdir yang menimpanya.
Dan kini, Ghulam, lelaki itu, bersimpuh di dalam suatu rumah ibadah yang sepi. Ia menundukkan kepala, menahan tangis, dan mengucapkan doa-doa yang hanya bisa didengar oleh Tuhan dan angin. Begitulah yang selalu ia lakukan bertahun-tahun lamanya. Ia melakukannya tanpa pernah merasa bosan sedikit pun. Bagai dinding masjid yang keras dan kokoh, demikianlah keteguhan lelaki itu dalam bermunajat.
Rumah ibadah masih berada satu kompleks dengan rumah sakit. Ketika Ghulam menyelesaikan doanya, ia lekas menuju kamar tempat istrinya dirawat. Belum rampung kakinya menuju lorong ruangan, seorang perawat lebih dulu mengabarkan: “Nyawa istri Bapak tak bisa diselamatkan.”
Dalam gerak lamban, di lorong yang sepi dan lengang, ia menunduk dan menangis dan menggumamkan doa-doa. Sayup-sayup dari balik punggung Ghulam, muncul lima sosok berpakaian putih dengan paras cerah. Salah satu di antaranya bersayap. Mereka menyentuh bahu Ghulam dengan lembut sambil berbisik dalam bahasa sunyi yang kira-kira berarti: “Sabarlah, kelak kau pasti akan mendapat yang terbaik.”
Beberapa menit kemudian, Ghulam bangkit. Ia telah merasa cukup kuat dan tenang. Berkat sentuhan gaib yang tak disadarinya. Ia akan segera menengok jenazah istrinya, mengurus pemakamannya, mengenangnya kelak, dan tentu, menyebut namanya beserta nama ayah, ibu, dan kedua anaknya dalam doa-doa yang tak berkesudahan. (*)
Tambun Selatan, 2 Juni 2019
Cerpen karya, Erwin Setia