Lewat tengah malam, pengeras suara di mushala mengumandangkan kabar kematian. “Innnalilillahi wa innailaihi roji'un... Berita duka, telah berpulang saudara Markum bin Abdul Manan,” terangnya, sebanyak dua kali, dengan jeda yang begitu teratur.
Aku mendengus. Tubuhku lurus menghadap tabung televisi, merentangkan tangan dan meraih tombol di bawah layar guna mengecilkan volume agar pendengaran kian menguat. Tak ada aroma Izrail di sekeliling rumah ini, tak ada bunyi kaok burung gagak di atap, dan nyawa masih utuh menempel dalam tubuh. Tetapi ia menyebut namaku, sekali lagi.
“Telah berpulang, saudara Markum bin Abdul Manan.”
Memang ada satu lagi orang dengan nama Markum di Wanatirta—selain aku. Ia kuli panggul yang dulu rutin memberiku uang jajan, tetapi ia telah meregang nyawa tertimpa karung goni berisi beras dua puluh tahun lalu—lagipula ia bukan putra Abdul Manan. Tak pelak lagi kabar kematian itu benar-benar merujuk padaku. Aku menampar pipi kanan dan kiri secara bergantian sebanyak tiga kali—cara paling klise untuk mengetahui kesadaran manusia.
Boleh jadi aku terjebak di alam mimpi, pikirku.
Di luar, langkah kaki terdengar datang mendekat beriringan. Suaranya seperti derap langkah kuda di tengah pacuan; gegas dan terlatih. Sebentar kemudian pintu depan diketuk. Lalu merangsak masuk dua orang pria dengan air muka kebingungan, rambut mereka kusut bak sarang burung yang telah ditinggal penghuninya. Keduanya, bisa kuduga, baru saja terjaga di tengah malam buta.
“Aku sedang tidak melihat hantu, kan?”
Sobri angkat suara, dengan mulut yang sedikit gemetar dan deru nafas tak teratur. Ia mengguncangkan tubuhku beberapa kali, memastikan ruh belum lesap dari badan. Wajahnya kian memucat.
“Kau.baik-baik saja, Markum?”
Kali ini giliran Eris. Ia mengeliliku disertai tatapan mata tajam penuh waspada, seperti burung elang tengah mengawasi buruannya. Tak ia biarkan seinci pun bagian dari diriku lesap dari pandangan.
Belum sempat menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh kedua kakakku, tetangga kini silih berdatangan. Sebagian adalah kawan yang kukenal dengan baik, sebagian lain tampak asing. Jumlahnya banyak sekali. Agaknya mereka teleh mempersiapkan ucapan belasungkawa terbaik di rumah masing-masing, dan lekas terperangah ketika mendapati tubuhku masih berdiri gagah.
Aku segera menjelaskan kepada mereka duduk perkaranya. Bahwa aku masih sehat bugar, belum ada setitik pun penyakit yang mampu mengundang kematian, juga warta yang menguar dari corong mushala adalah dusta belaka.
“Bukankah mushala itu telah lama kosong, sepi, Markum?”
“Dan hanya kau yang memegang kuncinya.”
“Kau mengerjai kami, Markum?”
Pertanyaan dan tuduhan membaur menjadi satu di sorot mata tetangga, mereka saling bertukar tatap dengan perasaan penuh misteri. Aku segera meminta maaf kepada mereka, dan mempersilakan untuk kembali pulang. Begitu juga pada dua kakakku, yang raut mukanya masih mengisyaratkan keganjilan.
***
Mushala itu kecil saja, hanya mampu menampung tak lebih dari tiga puluh jamaah, hanya enam shaf. Sementara penduduk kampung Wanatirta hampir enam kali lipat jumlahnya. Dengan keadaan demikian, berdasarkan saran Kiai Jazuli, shalat, pengajian, dan perayaan hari besar dialihkan saja ke Mesjid Agung di Desa yang jauh lebih luas lagi indah.
“Untuk menghindari antrean, dan tak ada lagi yang terlambat berjamaah,” katanya, lima tahun lalu. Tentu terdengar masuk akal. Belum lagi Masjid Agung dibangun begitu megah, di tengah ruangan luas ditaruh kipas-kipas. Anak-anak senang bermain di sana, lantainya mengkilat bersih seperti hati mereka.
Semenjak itu, praktis mushala menjadi sepi tak terawat. Di luar tampak debu-debu menyelimuti permukaan dinding yang kian keropos, bercak kotoran aneka hewan menghiasi lantai. Seandainya saja tak ada beduk atau ukiran bulan-bintang yang menggelantung di atapnya, mungkin bangunan reot ini akan dikira rumah kosong yang dihuni pelbagai hantu dan mambang. Letaknya di pojok kampung, jarang ada orang berlalu lalang selain anak-anak kecil yang tak sengaja menjadikan pekarangannya persembunyian kala bermain petak umpet.
Pernah tercetus satu rencana untuk melakukan pembangunan ulang, tetapi banyak warga menolak. “Untuk apa, kan sudah ada Masjid Agung,” ucap salah satu di antara mereka, seperti meniru Kiai Jazuli.
“Iya, untuk apa. Lagipula pasti tak akan terpakai”
“Bukankah tak ada salahnya memperindah rumah Tuhan?”
“Benar, dan kita sudah rutin memperindah Masjid Agung dengan iuran yang tak lagi murah setiap bulannya. Itu sudah cukup.”
Lantas, rencana tersebut lekas lenyap menghambur ke udara. Bangunan aus itu dengan cepatnya dilupakan oleh penduduk, ditaruh dalam bayang-bayang masa silam dengan aroma penuh sejarah.
Mushalla ini dibangun oleh Abdul Manan ketika jumlah rumah di Wanatirta masih dapat terhitung jari, ketika pohon randu masih banyak berdiri gagah dan lutung-lutung bergelantungan di tiap tingkap dahannya. Yai Abdul, begitu biasa ia disapa, membangunnya dari hasil membabat perkebunan bambu kuning yang ia rawat dan jaga sejaak ketibaannya di Wanatirta. Atap, tiang pancang, dinding, lantai, bahkan pancuran air untuk membersihkan najis seluruhnya terbuat dari bilah bambu yang dimyam-digubah sedemikian rupa. Sebab wujud demikian, oleh para tetangga, mushala ini sering disebut haur koneng*.
Berkali-kali Mushalla haur koneng dirombak. Atapnya diganti selanjau rumbia, biliknya diubah menjadi tumpukan bata secara bertahap, saluran air tukar wujud menjadi pipa, kendati luasnya tak bertambah barang seinci. Dan segala tindakan yang bergerak berdasar kepentingan Jama’ah itu, tentu saja di luar pengetahuan Yai Abdul.
Saat Yu Minah mengandung jabang bayi, Yai Abdul pamit menuju Banten. “Untuk silaturahmi kepad Mursyidku yang telah lama tak dijumpai,” katanya sembari berpamitan. Tak ada harta yang dititipkan selain Mushalla mungil yang selalu sesak tiap tiba waktu shala itu, dan Yu Minah berjanji menjaganya hingga Yai Abdul kembali.
Tetapi hingga pagi di mana Yu Minah melahirkan dan meregang nyawa, Yai Abdul tak kunjung pulang—memberi setitik warta pun enggan. Ia seperti menghilang dilahap waktu.
Di luar pengetahuan Yu Minah, banyak desas-desus tentang keberadaan Yai Abdul. Konon, ia menggelandang dari rumah ke rumah dan menjajakan aneka barang pusaka untuk bertahan hidup, dari keris hingga jimat mustika sero. Yang lain mengaku sempat berjumpa dengannya di tempat penziarahan kapal bosok. Sebagian lagi menduga ia menggila karena tak kuat menahan pelbagai ilmu. Tak ada kabar pasti, seluruhnya gunjing belaka.
Yu Minah mangkat meninggalkan dua anak lelaki yang kini beranjak gede, dan seorang bayi yang kulitnya masih rekah kemerahan. Penduduk Kampung—yang merasa punya hutang budi pada keluarga Yai Abdul—bergantian mengasuh anak-anak malang itu. Mereka merogoh dompet masing-masing untuk mengisi kotak amal di yang terletak di sudut mushala Haur Koneng, lalu saban bulan rutin membagi hasilnya untuk keperluan perombakan mushala dan penghidupan tiga orang bocah.
Waktu deras mengalir, hari demi hari bergulir, secara berkala matahari lesap berganti bulan dan gemintang. Dan kini, semenjak perangkat Desa membangun Masjid dengan kapasitas megah, Haur Koneng tak lagi menerima jamaah. Kunci dititpkan pada putra terakhirnya. Tak ada makhluk yang sudi menginjakkan kaki di sana, kecuali sekawanan burung gereja dan walet yang bersarang.
***
Segera setelah merogoh kunci yang tergelantung di dinding kamar—bersebelahan dengan pigura foto bapak yang tak kukenali raut wajahnya—kutancap langkah menuju mushala. Pagi masih menyemburkan hawa dingin, ayam entah milik siapa tengah asyik meningkahi dahan pepohonan—dan belum siap memberi kokok pertama mereka. Tetangga yang baru saja meruyak ke rumahku, barangkali telah menarik selimut dan lelap dalam tidur panjang masing-masing.
“Siapa di dalam?” Aku melempar pertanyaan bodoh begitu tiba di beranda. Tentu tak ada orang yang menimpali.
Dengan hati-hati kutancapkan anak kunci di lubang pintu, memutarnya secara perlahan guna menghindari bunyi yang tak sedap didengar. Burung-burung gereja dan walet yang berbagi sarang segera bertebaran begitu cahaya rembulan menyelinap di celah pintu. Namun tak ada isyarat keberadaan manusia.
Aku melangkah menuju mimbar dari kayu jati, tempat di mana Kiai Jazuli dulu rutin memberi wejangan, sebab saklar lampu tergeletak di sana. Begitu cahaya di tengah ruangan menguar, sesosok manusia dengan tubuh kurus-kerontang duduk membungkuk di tengah ruangan. Ia mengenakan jubah putih yang kusut dan tak lagi bersih, janggut dan bulu-bulu yang menghiasi wajahnya tumbuh tak teratur.
Agaknya ia tak menyadari kehadiran manusia.
Aku menghampiri tubuh ringkihnya yang tak juga bergeming, seperti batu tua di tengah gua. Guratan rasa lelah tercetak di wajah saling selimpat dengan kerut pertanda usia senja, benjolan besar bersarang di punggung yang menyebabkan kebungkukkan. Aku seperti mengenali, secara samar, raut wajah itu. Mungkin di antara ratusan manusia yang pernah berpapasan di tengah jalan, atau sosok yang terkerangkeng di dalam pigura.
Tanpa membuka perbicangan, ia rengkuh tubuhku begitu erat, menggerakkan sisa-sisa tenaga yang masih setia meringkuk di dalam tubuh tuanya. Ada sesuatu yang mengalir deras di antara bola mata dan dua tusuk luka yang menganga di perutku. Aku menggelepar, jatuh, dan sedikit limbung. Dunia bak berputar begitu cepat. Segalanya menjadi kian samar, hanya suara kepak sayap burung terdengar salih sahut.
Lamat-lamat kudengar sekali lagi warta kematian, “Innnalilillahi wa innailaihi roji'un... Berita duka, telah berpulang saudara Sobri bin Abdul Manan.” Kali ini ia menyebut nama Kakak pertamaku, kemudian kembali duduk di tempat semula seolah tak peduli pada apa pun. Ia tengah khusuk menjerat kematian, sekali lagi.