“Hei, Nurman! Nurman mana Nurman? Waktunya beli makan siang buat Cik Lin!” Teriak Bambang, pegawai paling senior yang telah bekerja di salah satu toko percetakan di daerah Pramuka, Jakarta Timur sejak 20 tahun lalu. Cuaca Jakarta yang sedang panas membuat suasana didalam toko percetakan menjadi gerah. Kegerahan semakin menjadi karena banyaknya pesanan yang membuat seluruh pegawai harus bekerja dengan cekatan. Nurman lari tergopoh-gopoh menghampiri Bambang, ditinggalkannya pekerjaan mengelem punggung buku yang hampir selesai.
“Bang, maaf tadi di depan.”
“Jangan lelet kalau bekerja! Nih uangnya, seperti biasa ya. Nasi, lauk, dan sayur. Masing-masing tiga porsi.” Bambang menyerahkan uang. Nurman menerimanya dan segera menuju warung nasi yang terletak di gang sebelah toko. Baru satu bulan Nurman bekerja di toko percetakan itu, ia mendapat bagian pekerjaan mengelem punggung buku dan membeli makan siang untuk keluarga pemilik toko.
Bekerja di toko percetakan buku merupakan pekerjaan pertama Nurman di Jakarta. Ia baru kembali ke Jakarta setelah tujuh tahun meninggalkan kota besar tersebut. Usianya saat ini 17 tahun, ia diasuh oleh neneknya di kampung sejak ayah ibunya meninggal karena kecelakaan sepulang bekerja saat Nurman berusia 10 tahun. Kembalinya Nurman ke Jakarta disebabkan telah meninggalnya nenek satu bulan lalu yang bertepatan dengan baru lulusnya Nurman dari bangku SMA.
Setelah kepergian Nenek dan telah lulusnya ia dari bangku sekolah, Nurman menjadi sebatang kara. Nurman tidak memiliki pilihan pekerjaan di kampungnya karena tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan seperti bertani dan berternak. Nurman tidak memiliki keterampilan tersebut karena neneknya tidak mengizinkan Nurman bekerja dan memintanya untuk fokus belajar. Alhasil Nurman tumbuh menjadi pemuda pintar namun tidak memiliki keahilan pekerjaan yang ada di kampungnya.
Saat kebingungan akan nasibnya, Nurman pergi ke sawah dan berdiam diri di pinggir pematang sawah di sore hari. Kemudian datang seorang kakek yang sedang dalam perjalan, Nurman melihatnya dan mendatanginya untuk menawarkan makanan yang ia punya. Kakek tersebut kemudian menanyakan apa yang sedang Nurman lakukan di pinggir sawah. Lalu Nurman menceritakan kegundahannya. Kakek itu kemudian menyarankan Nurman untuk pergi ke Jakarta, tepatnya ke daerah dimana banyak toko-toko percetakan di Jakarta Timur. Nurman terlihat ragu dan mengatakan bahwa ia tidak pernah keluar dari kampungnya, ia takut akan berita kejahatan-kejahatan di Jakarta. Kakek tersebut berpesan “Anak baik akan mendapat kebaikan, jangan takut”.
Nurman kemudian pergi ke Jakarta, menuruti saran kakek asing itu. Hanya bermodal sedikit uang sisa peninggalan neneknya, Nurman menaiki bus dari kampungnya pada sore hari dan sampai Jakarta keesokan paginya. Setelah bertanya kepada supir bus mengenai daerah mana di Jakarta Timur yang banyak toko percetakan, Nurman mendapat jawaban daerah Pramuka dan Nurman segera mendatangi daerah tersebut.
Setelah mengisi perut dengan membeli sepiring ketoprak, Nurman mulai berjalan mengitari daerah tersebut. Hari masih terlalu pagi sehingga belum ada toko yang buka namun langkah Nurman terhenti ketika melihat kertas yang mengumumkan adanya lowongan di salah satu toko percetakan. Saat melihat kertas itu, hati Nurman langsung tertarik dan tidak berminat melanjutkan langkahnya untuk mencari lowongan di toko yang lain. Nurman kemudian duduk di depan toko yang masih tutup tersebut. Sekitar setengah jam kemudian, datang seorang laki-laki paruh baya yang bertubuh tambun. Laki-laki itu berjalan menuju toko dengan banyak kunci ditangannya.
“Heh, ngapain duduk-duduk disini?” Laki-laki itu berbicara kepada Nurman dengan nada yang sedikit tidak ramah.
“Mmm, maaf bang, saya tertarik dengan lowongan ini. Apakah saya masih bisa melamar?” Nurman menunjuk kertas yang tertempel di pintu toko. Laki-laki itu mendekati Nurman, melihatnya dari atas hingga bawah.
“Bisa baca? Berhitung?”
“Bisa bang”
“Lulusan SD atau SMP?”
“SMA, bang”
Laki-laki itu mengernyitkan dahi. Kemudian berkata “Gaji gak gede. Cari di tempat lain saja.”
“Tidak apa-apa, bang” jawaban Nurman semakin membuat laki-laki itu mengernyitkan dahi dan bertanya “Terus cari apa?”
Nurman menjawab “Cari keluarga, bang”
Laki-laki itu tertawa “Kamu pikir ini panti asuhan?”
Nurman diam dan tidak tertarik untuk menjawab.
“Ya sudah, ayo masuk” Nurman mengikuti laki-laki itu memasuki toko yang masih gelap.
“Maaf, nama abang siapa?”
“Bambang”
“Abang pemilik toko ini?”
“Bukan, yang punya toko ini tuh mereka” Bambang menunjuk sebuah foto keluarga yang terpasang di dinding dekat mesin cetak spanduk. Foto keluarga itu berukuran kertas A2 yang didalamnya terdapat seorang perempuan Cina sedang duduk dan disampingnya berdiri seorang anak kecil berusia sepuluh tahun dan laki-laki dewasa.
Pada hari pertama bekerja, Nurman diperkenalkan kepada seluruh pegawai toko dan dijelaskan mengenai tugas-tugasnya. Dan pada siang hari, Nurman mendapat tugas tambahan, yaitu membeli makan siang untuk si pemilik toko. Tugas itu kemudian menjadi tugas hariannya. Setiap hari satu jam sebelum jam makan siang, Bambang memberinya uang untuk dibelikan makan siang sebanyak tiga porsi. Makan siang itu kemudian Nurman letakan di meja makan si pemilik toko yang berada di lantai 2. Nurman selalu menyiapkan enam buah piring kosong, tiga buah ia pakai untuk menempatkan sayur, lauk, dan nasi sedangkan tiga piring sisanya ia letakan di sisi-sisi meja agar siap digunakan. Saat jam makan siang telah selesai, Nurman kembali ke atas untuk merapikan sisa makanan dan mencuci piring-piring tersebut. Pada hari pertama, Nurman melihat piring yang digunakan hanya satu dan terdapat sisa makanan yang cukup untuk dua porsi. Nurman kemudian bertanya kepada Bambang untuk diapakan sisa makanan tersebut, Bambang kemudian meminta Nurman memberikan kepada salah dua pegawai toko yang belum makan siang.
Hal tersebut terjadi selama satu bulan dan selama itu Nurman belum pernah bertemu dengan salah satu anggota keluarga pemiliki toko. Sejauh yang Nurman lihat, semua kegiatan toko dikontrol oleh Bambang, mulai dari pesanan, proses pengerjaan, pembukuan keuangan, hingga buka tutup toko. Hingga pada suatu hari, saat toko telah tutup dan para pegawai bersiap pulang, Nurman memberanikan diri untuk bertanya hal ganjil tersebut kepada pegawai yang sebelumnya bertugas membeli makan siang.
“Mbak Sus, saya mau tanya, boleh?”
“Apa, Nurman?” Perempuan bernama Susi itu sedang bersiap-siap pulang.
“Mbak Sus yang sebelumnya bertugas beli makanan untuk keluarga pemiliki toko ini ya?”
Susi mengernyitkan dahi. “Keluarga pemilik toko? Pemilik toko ini sekarang hanya Cik Lin. Auw Tjoei Lin. Dia sendirian. Suami dan anaknya sudah lama meninggal”
“Lalu kenapa harus membeli makan siang untuk tiga porsi dan harus menata tiga piring?”
Susi melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang selain mereka berdua.
“Saya baru dua bulan menjalankan tugas beli makan siang. Sebenarnya semua pegawai disini pernah mendapat tugas itu, di gilir setiap bulan. Kenapa harus tiga? Itu permintaan Cik Lin. Menurut saya dan teman-teman yang lain, agar Cik Lin merasa makan siang bersama anak dan suaminya yang sudah meninggal.”
“Ohh begitu. Oh ya mbak Sus, kenapa saya tidak pernah bertemu atau melihat Cik Lin?”
“Cik Lin mulai sakit-sakitan beberapa tahun ini. Saya dengar kondisinya semakin melemah, ia hanya keluar kamar atau toko setiap satu bulan sekali untuk mengecek kesehatannya ke Rumah Sakit. Nah saat Cik Lin keluar kamar dan melewati toko, biasanya pegawai senior langsung pada rajin kerja tuh. Cari muka.”
“Cari muka buat apa mbak?”
“Hihh polos banget sih Nurman ini. Ya buat berebut jadi bos selanjutnya lah. Kan Cik Lin tidak punya penerus. Ya otomatis toko ini akan diwariskan ke orang asing, besar kemungkinan ke pegawai toko yang sudah lama kerja disini. Sudah yaa wawancaranya, suami saya sudah menunggu diluar”
“Oh, iya mbak sus, terima kasih. Hati-hati di jalan”
Keesokan harinya, satu jam sebelum makan siang, saat Nurman akan meminta uang untuk membeli makan siang Cik Lin. Ia melihat seorang perempuan Cina sedang menuruni tangga. Perempuan itu tidak terlalu tua namun tubuhnya sangat kurus dan uban telah hampir memenuhi seluruh rambutnya. Nurman memerhatikan perempuan itu, ia pasti Cik Lin, ucap Nurman dalam hati. Perempuan itu kemudian membalas pandangan Nurman dan melemparkan senyum, ia kemudian keluar dari toko dan memasuki Mobil yang dikemudikan Bambang.
Pada sore hari menjelang malam, toko telah tutup dan semua pegawai telah pulang. Nurman masih berada di toko karena seluruh pegawai lain memintanya untuk menjaga toko hingga Cik Lin dan Bambang kembali. Jam menunjukan pukul 20.00, sambil terkantuk Nurman mendengar bunyi pintu toko dibuka. Bambang datang.
“Nurman, kok masih disini? Sulaiman mana?” Sulaiman adalah pegawai senior yang sering menggantikan tugas Bambang menjaga toko jika Bambang sedang pergi.
“Saya diminta menjaga toko sampai abang dan Cik Lin kembali”
“Terus kamu mau?”
“Mau. Saya tidak memiliki keluarga jadi saya tidak buru-buru pulang. Cik Lin mana ya, bang?”
“Nurman, duduk sini. Ada yang perlu saya bicarakan dengan kamu.” Bambang mempersilahkan Nurman di kursi didekatnya, wajah Bambang terlihat lelah dan serius.
“Ada apa ya, bang? Apa saya melakukan kesalahan?” Perasaan Nurman sedikit takut karena Bambang tidak pernah mengajaknya mengobrol seserius itu.
“Bukan. Kerjamu bagus. Saya dan Cik Lin suka”
“Bagaimana Cik Lin bisa suka? Kan beliau tidak pernah melihat saya bekerja.”
“Dia selalu memerhatikan pegawainya, terutama pegawai yang mendapat tugas membelikannya makan siang. Saya akan membahas itu nanti, tapi sekarang tolong ceritakan asal-usul hidup kamu. Jangan tanya untuk apa, nanti saya akan memberikan alasannya”
Nurman kemudian menceritakan tentang dirinya, sejak ia masih kecil dan tinggal bersama ayah ibunya hingga kemudian ia harus meninggalkan Jakarta untuk hidup bersama neneknya setelah ayah ibunya meninggal.
“Ayah ibu meninggal kenapa?”
“Ini seingat saya ya bang. Hari itu sudah malam dan ayah ibu tidak kunjung sampai rumah, biasanya mereka sudah selesai berjualan bakso di sore hari dan sudah berada di rumah menjelang magrib. Di luar sedang hujan deras dan saya yang masih berusia sepuluh tahun sendirian di rumah. Hingga tengah malam mereka tidak kunjung datang. Kemudian pagi-pagi nenek datang, beliau menjemput saya untuk dibawa ke kampung. Nenek hanya bilang bahwa orang tua saya meninggal kecelakaan, mereka di tabrak mobil saat akan pulang ke rumah. Hanya itu yang saya tahu, nenek tidak pernah bercerita secara jelas.”
“Dulu rumah kamu dimana waktu di Jakarta?”
“Daerah Pulo Gadung, saya sudah lupa nama jalannya”
“Nama ayah ibu?”
“Ayah bernama Yanto, ibu bernama Siti”
Bambang menarik nafas panjang kemudian membuangnya, setelah itu ia mengambil secarik kertas dan menuliskan sebuah alamat. Kertas itu kemudian diberikan kepada Nurman.
“Besok sore setelah selesai bekerja, segera datang ke alamat ini”
Esok hari setelah selesai bekerja, Nurman bergegas menuju alamat yang di berikan Bambang. Setelah sampai, ternyata tempat yang ia tuju adalah rumah sakit. Bambang telah berdiri di depan rumah sakit, ia kemudian melambaikan tangan kepada Nurman dan mengisyaratkan untuk menghampirinya. Nurman berjalan ke arah Bambang. Mereka kemudian memasuki rumah sakit. Bambang tidak berbicara apa-apa dan Nurman juga diam menebak mengapa ia harus kesini. Mereka berhenti di depan salah satu kamar, sebelum masuk, Bambang tiba-tiba memeluk Nurman.
“Lapangkan hatimu” Ucap Bambang kemudian membuka pintu kamar. Bambang mempersilahkan Nurman masuk terlebih dahulu. Nurman memasuki kamar dan melihat Cik Lin yang sedang terbaring. Cik Lin menyadari kehadiran Nurman dan memberikan senyum serta mengisyaratkan untuk duduk disebelah ranjangnya.
“Hallo Cik Lin, saya Nurman” Nurman lantas mencium tangan Cik Lin.
“Hallo Nurman” Cik Lin memegang wajah Nurman sambil tetap tersenyum. “Saya tahu pasti kamu sedang kebingungan, satu bulan bekerja di toko saya namun baru bertemu dan ngobrol dengan saya malah di rumah sakit”
“Tidak apa-apa, Cik Lin. Bagaimana kondisi Cik Lin?”
“Saya sebentar lagi pergi. Sudah beberapa tahun ini saya menunggu kedatangan kamu biar saya bisa pergi dengan tenang.” Cik Lin menggenggam tangan Nurman. “Nurman, mungkin kamu sudah mendengar tentang saya dan piring kosong saya. Saya sangat kesakitan setelah suami dan anak saya pergi. Nurman, saya meminta maaf. Sangat-sangat meminta maaf atas apa yang akan saya ceritakan ini. Semalam Bambang telah menceritakan tentang diri kamu. Nurman, kepergian orang tua kamu disebabkan kecelakaan dengan suami saya. Suami saya tidak sengaja menabrak orang tua kamu.” Terlihat air mata mengambang di sudut mata Cik Lin.
“Suami dan anak saya meninggal di tempat sedangkan orang tua kamu sempat dirawat di rumah sakit. Saya kemudian menemui orang tua kamu di rumah sakit, diakhir nafasnya, mereka hanya berpesan agar saya menjaga anak laki-laki satu-satunya. Tidak lama mereka kemudian meninggal. Saya langsung mendatangi rumah kamu namun kamu sudah tidak ada di rumah itu, saya sudah bertanya kepada tetangga tapi tidak ada yang tahu. Bertahun-tahun saya mencari kamu, saya semakin kesakitan karena selain kehilangan dua orang yang saya cintai, saya juga kehilangan satu-satunya jalan untuk menebus kesalahan saya.” Terlihat sedikit air mata mengambang disudut air mata Cik Lin. “Nurman, saya tahu kamu akan membenci saya dan keluarga saya. Malu rasanya saya mengatakan ini. Tapi maukah kamu membantu saya?”
“Cik Lin, jika ada yang bisa saya lakukan untuk Cik Lin, akan saya lakukan. Dan saya tidak akan membenci Cik Lin atau almarhum suami Cik Lin. Semua yang terjadi waktu itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Saya tumbuh dengan baik dibawah asuhan nenek dan terima kasih telah berusaha mencari saya” Ucap Nurman sambil menahan air mata.
“Kamu baik sekali nak. Permintaan saya mungkin sedikit berat. Tapi maukah kamu mengambil alih seluruh toko dan meneruskannya? Saya tidak lagi memiliki keturunan dan saya telah bersumpah untuk memberikan toko itu kepada anak laki-laki yang saya cari jika saya temukan. Syukur, akhirnya kamu datang saat hampir habis tenaga saya untuk hidup”
Nurman diam dan memandang Bambang, mata Nurman mengisyaratkan kesediaannya namun tergurat ketakutan akan beban yang akan di tanggungnya. Bambang mengisyaratkan anggukan. Nurman kembali menatap Cik Lin dan berkata “Saya bersedia tapi saya belum cukup ilmu untuk memegang toko yang sudah berdiri lama itu”
Cik Lin tersenyum “Nanti Bambang yang akan membimbing kamu. Terima kasih ya nak” Cik Lin memegang rambut Nurman dan mencium kepalanya. Bambang kemudian mengisyaratkan Nurman untuk keluar dari kamar agar Cik Lin dapat melanjutkan istirahatnya. Bambang dan Nurman kemudian menuju taman di tengah rumah sakit.
“Terima kasih, nak. Sudah berlapang dada untuk memaafkan dan bersedia meneruskan toko.”
“Abang, sebenarnya saya sudah lama mengikhlaskan kepergian orang tua saya dan saya tidak memiliki alasan untuk membenci keluarga Cik Lin. Serta mungkin sudah menjadi jalan saya untuk bekerja dan menjaga toko keluarga Cik Lin. Tapi bang, saya sangat merasa tidak enak hati kepada abang dan pegawai lain yang lebih senior.”
“Jangan khawatir. Saya akan membantu kamu, sampai kamu dirasa cukup usia dan pengalaman untuk memegang toko sendirian. Saya orang paling senior di toko, sudah bekerja pada Cik Lin sejak Cik Lin belum menikah. Sebenarnya saya sudah memiliki toko sendiri tapi tetap bekerja di toko Cik Lin karena Cik Lin membutuhkan saya. Nurman, Cik Lin mempercayakan toko kepada kamu selain karena kamu adalah orang yang Cik Lin cari, juga karena kamu sangat baik bekerja. Cik Lin sangat memerhatikan pegawai yang bertugas membelikannya makan siang karena ia bisa melihat aktivitas pegawai di ruang makannya dari jendela di kamarnya. Dari situ Cik Lin dapat melihat watak masing-masing pegawai, seperti watak serakah, pemalas, dan bodoh. Ada pegawai yang sejak tahu makanan akan sisa banyak, dia kemudian membungkus makanan itu untuk diri sendiri dan tidak dibagi ke orang lain. Ada pegawai yang selalu membeli daging-dagingan agar ia makan enak. Cik Lin menyukai pekerjaan kamu yang rapi dan bersih, ia melihat kamu sangat berhati-hati saat mengelap piring makan, ia memerhatikan lauk-pauk yang kamu beli, ia juga melihat ketulusan dan keuletan dalam setiap pekerjaan kamu.”
“Bang, tapi ada yang mau saya tanyakan lagi. Apakah..”
Tiba-tiba seorang suster datang berlari ke arah mereka dan mengatakan “Pasien bernama Auw Tjoei Lin, telah meninggal”.