Seringnya Minggu pagi kami kumpul. Duduk keliling meja makan di tengah rumah. Bersama mama dan Ci Sian, kakak tertua. Lalu koh Liong. Aku dan Hoa, si bungsu. Dimulai dengan sruput bubur bikinan mama atau Ci Sian. Bubur hangat tambah cakwee, tongcai, daun wansui, bawang goreng. Pokoknya lengkap. Sambil Ci Sian cerita urusan keluarga. Mulai kegiatan toko peralatan dapur milik mama yang diurus bersama Ci Sian. Diikuti berita apa-siapa keluarga besar. Lalu giliran koh Liong. Salesman pedagang besar pharmasi papan atas. Pekerjaan yang bikin ia biasa ke luar kota. Sesudah itu aku yang umumnya singkat. Maklum kerja sebagai staf umum di kedutaan asing biasa-biasa saja. Lebih seru cerita Hoa. Memang sejak remaja dia punya segudang kegiatan. Belajar bersama. Drum band. Grup debat. Dan sekarang sering diajak Ci Sian keliling pabrik pilih barang untuk toko. Tak heran kami sebut dia Nona Maha Sibuk. Saat ini sudah hampir setahun dia kuliah di Singapura. Beasiswa dari maskapai minyak.
Pagi itu koh Liong baru masuk kamar mandi ketika bel bunyi. Aku duga tamu mama. Tapi mama geleng. Juga Ci Sian. Belum lagi aku bangkit dari kursi, kembali ting tong. Ci Sian beri tanda menyuruh aku cepat ke depan.
Rumah kami tidak lebar tapi memanjang ke dalam. Bagian depan lebar enam meter dengan panjang 20an meter. Penuh perabot dapur. Sesudah itu melebar jadi sembilan meter dengan panjang 30an lebih sedikit. Sebagian terbuka dengan kebun kecil. Lalu seperangkat kursi tamu, meja makan, dapur. Berikutnya kamar mandi yang sambung dengan kamar tidur. Dua di bawah dan tiga di atas. Paling belakang kebun sekalian jemuran. Dengan panjang puluhan meter ini bisa dimengerti kalau bersamaan aku putar anak kunci pintu depan, kembali ting tong. Dengan sedikit kesal aku buka daun pintu. Pandangan terarah kepada seorang pria berkaca mata. Ia buka topinya. Tampak rambut yang lebih banyak putih. Darah aku serrr beku. Tubuh tak bisa bergerak. Mulut terkatup. Tak ada kata-kata sambutan. Sama diamnya sang tamu. Berlama-lama begitu bikin Ci Sian tak sabar. Terdengar suaranya, “Siapa Piang?”
Begitu tamu masuk, pintu buru-buru aku tutup. Lalu bergegas jalan di depannya. Beriringan kami masuk. Topi di tangan kiri. Tangan kanan meraba beberapa barang toko. Kursi tamu aku lewati. Baru berhenti dekat meja makan. Ci Sian putar kursi. Memandang tamu. Tangannya langsung menutup mulut. Seolah menahan jerit. Mama yang memeriksa bon menaruh kacamata dan menoleh ke arah tamu. Tubuhnya kaku. Dari kamar mandi abang aku, “Piang, siapa?”
Mungkin ia heran, ada tamu kenapa tak ada suara. Mama dan Ci Siang tetap duduk. Tak mampu bicara. Tamu dan aku berdiri. Juga tidak mengeluarkan suara. Mungkin akan terus begitu bila Ci Sian tidak bangkit. Menghampiri lemari kecil tempat kaleng teh. Dia milih salah satu. Lalu taruh cerek di kompor.
Sementara itu tamu duduk di kursi hadapan mama. Saling lihat. Dalam diam. Saat itu koh Liong keluar. Begitu mengenali tamu, handuk langsung dilempar. Keduanya pelukan. Wajah koh Liong dipegang tamu. “Kamu tambah hitam.”
Ci Sian mendekat. “Tehnya, pa.” Jari-jari papa ketuk meja dekat cangkir. Sesudah itu papa putar tubuhnya. Sejenak ia menatap aku. Tangannya dipakai mengukur tinggi kami. Pelan ia berkata, “Piang sudah lebih tinggi.” Lalu kembali duduk. Di depannya mama masih preksa bon. Semua diam. Tak tahu mau bicara apa. Sampai suara teh dihirup. “Ah, teh dari kampung,” kata papa. Lebih kepada dirinya sendiri. Ci Sian manggut.
Memang mama masih dapat kiriman dari kampung. Menurutnya, daun teh bikinan kampung tetap terbaik. Teh Oolong saja bukan tandingan. Kata-kata ini seingat aku acap diucap papa. Koh Liong pakai kesempatan. Menanyakan kesehatan papa karena ada kabar beliau masuk rumahsakit. “Jantung. Sudah beres,” jawab papa seraya menepuk dadanya. Coba tertawa. Lalu ia keluarkan rokok. Buru-buru koh Liong ambil korek. Aku sodorkan asbak. Kepulan asap. Kembali diam. Ci Sian mau ambil cangkir. “Tambah ya, pa,” katanya. Tangan papa mencegah. Kira-kira rokok tinggal separuh, papa berdiri. Ia manggut kepada mama. Bertiga kami antar papa. Salaman. Koh Liong buka pintu taksi. Papa melambai dari balik kaca. Mobil lenyap di tikungan. Kami tiga anaknya saling pandang.
“Ada enam tahun?” kata aku setengah bisik.
“Lebih.”
Sejak itu Minggu pagi tidak sama lagi. Koh Liong pagi-pagi mandi. Baju mama lebih cerah. Telinga menunggu suara ting tong. Dan papa memang datang. Datang lagi. Meski tidak teratur. Antara tiga sampai empat minggu. Suasana juga cair. Malah papa sempat makan bubur. Sambil bicara dengan mama. Dalam Mandarin tentunya. Sama seperti dulu.
Sejauh itu dari cerita orang kami dengar papa hidup bersama wanita pengganti mama. Mereka dan dua anaknya kontrak ruko di selatan ibukota. Bawah kantor. Lantai dua dan tiga untuk keluarga. Kemudian dari cerita papa sendiri kami simpulkan, kenapa Minggu pagi. Saat itu Zus Betsy dan anaknya ke gereja. Kesempatan papa ke rumah. Sekaligus jadi jelas, kenapa tak bisa lama.
Tak terasa Minggu pagi jadi saat-saat yang kami tunggu. Meski hanya sekitar setengah jam. Tapi tiga puluh menit yang berharga. Keluarga bisa kembali kumpul. Lengkap. Minggu itu seperti biasanya sebelum pulang papa beri tanda koh Liong tilpun taksi. Namun aku cegah. Aku bilang, aku antar papa. Ci Sian tersenyum. Sedikit menggoda. “Apiang mau pamer mobilnya, pa.” Papa melihat aku. Lalu ia menepuk bahu. Menoleh kepada mama. Sama-sama saling bungkuk. Tampak mama mengusap pinggir mata dengan tisu. Lalu papa bergegas keluar. Suaranya terdengar agak parau ketika bicara dengan koh Liong. Begitu juga ketika ia bicara dalam perjalanan.
“Baru?”, kata papa sambil mengusap dashboard.
“Tidak, pa. Bekas orang kedutaan.”
“Tidak apa. Sudah sedan. Mobil pertama papa jip. Rasanya Willis.”
Menjelang tikungan terakhir sebelum ruko, papa beri tanda berhenti. Ia mau turun di situ. Katanya ingin beli rokok dulu di toko sudut jalan. Kami salaman. Lagi-lagi ia tepuk bahu aku. “Jaga mama.” Jelas suaranya bindeng.
Begitu papa hilang di tikungan, mesin mobil aku matikan. Ada godaan mengikuti dari belakang. Melihat papa masuk ruko. Mungkin bisa lihat istrinya yang bekas akuntan itu. Juga anak-anaknya yang masih kecil. Entah kenapa aku tetap duduk di belakang kemudi. Hanya kaca jendela aku buka. Ambil permen. Biarkan ingatan bebas menerawang.
Tak disangka hampir delapan tahun papa seolah hilang dari hidup kami. Sejak papa keluar dari rumah sore itu. Di tengah hujan rintik-rintik. Tanpa payung masuk taksi. Ketika itu kami belum setahun tinggal di rumah merangkap toko tadi. Menyusul keputusan pindah ke ibukota. Meski yang benar-benar pindah baru mama dan kami berempat. Papa masih mundar mandir P, kota propinsi, dan ibukota. Selesaikan urusan dagang, katanya. Waktu itu papa punya dua usaha. Toko di ibukota yang diurus mama dan trading rempah-rempah di P. Terutama cengkeh dan pala dari bagian Timur. Juga tripang. Lokal dan ekspor. Seingat aku usaha di P jauh lebih besar dari toko. Pegawainya saja puluhan. Termasuk haji Sukiyat. Akuntan kepercayaan papa sejak awal perusahaan. Dan inilah yang terjadi. Beberapa bulan setelah kami di ibukota, pak haji meninggal. Jantung. Tentu saja papa klimpungan. Pakai akuntan tidak sembarangan. Secara teknis, akuntan banyak. Namun di balik itu ada faktor kepercayaan. Terutama menyangkut pajak. Dalam keadaan itu papa ketemu Om Kiam Beng. Sama-sama pedagang hasil bumi. Meski Om Beng, begitu kami memanggilnya, sebatas kopra. Ternyata teman sejak kecil papa ini punya keponakan. Seorang akuntan yang butuh kerja lagi. Sang suami gugur dalam tugas. Kemudian kami tahu panggilannya Zus Betsy. Tak perlu lama papa percaya padanya. Berbarengan mundar mandir P dan ibukota makin jarang. Berbarengan waktu di P lebih panjang. Urus inilah, itulah, katanya kepada mama.
Sampai siang itu. Seminggu sebelum Imlek. Sejak selesai sarapan papa dan mama bicara di kamar. Dekat tengah hari papa keluar. Ambil kopor. Kami hanya menduga yang terjadi. Tanpa berani bicara. Sekali lagi papa keluar. Ketika pintu kamar terbuka terdengar suara mama. Tak jelas. Hujan belum reda ketika taksi bersama papa meninggalkan rumah. Bandara. Mengejar flight terakhir menuju ibukota propinsi M yang masih satu setengah jam dari P. Sejak itu kabar tentang papa terbatas dari ‘kata orang’. Bahwa mereka pindah ke ibukota. Kesehatan papa yang menurun. Tanpa ada kontak apapun.
Hingga Minggu pagi itu saat papa berdiri di depan pintu rumah. Dan sekarang aku duduk di mobil. Mama di rumah. Sementara papa bersama istri muda dan anak-anak mereka. Begitu saja ingatan balik kepada pak haji Iyat. Andaikan beliau masih ada. Andaikan Om Beng tidak punya keponakan. Tak perlu ada tamu Minggu pagi.
Dan tak ada yang pamer mobil, bisik sendiri sambil tangan putar kunci kontak. TITIK.