"Kamu bisa jadi apa saja di dunia ini asalkan bukan tanda titik," dengan nada berapi-api aku sesekali menusuk makanan di depanku dengan asal. Nasi goreng di depanku kini terasa sangat hambar. Atmosfer di sekitar mendadak terasa panas. Ku coba menyesap jus mangga di depanku dengan tidak sabaran, berharap panas di sekitar bisa berkurang.
Aku masih tidak percaya dengan ucapan Danu beberapa detik yang lalu. Setelah banyak hal yang kita lalui dan dia mau mengakhirinya begitu saja? Semudah itu? How dare you.
Aku bahkan tidak tahu dimana letak kesalahanku. Hingga kini Danu masih diam seribu bahasa. Bahkan ia tidak berani menatap mataku. Wajahnya terlihat serba salah. Beberapa mulutnya terkatup, sesekali terbuka namun ia urungkan.
"Dari segala titik yang aku sukai, aku hanya menyukai titik temu yang kita miliki. Sisanya, jangan akhiri hubungan ini dengan tanda titik," aku menghela napas panjang sambil meringis. Apa karena aku terlalu sibuk ya? Atau karena aku tetap kurang di matanya?
Danu berusaha meraih jemariku, “Ge, udah gak bisa.” Setelah 5 menit terdiam akhirnya Danu berbicara juga, alasannya hanya sebatas ‘tidak bisa lagi sama-sama’.
Aku berusaha menahan butiran air yang mulai menggenang di kedua mataku. Ku lihat lampu lampu café yang menyala terang, berharap air mata ini tidak jatuh ke pipi. Suara akustik gitar masih mendominasi ruangan, grup akustik di depan café masih asyik melantunkan lagu bahagia.
Menyebalkan.
“Kasih kita jeda, koma. Jangan titik Danu,” aku berusaha menepis tangan Danu dan ia tidak menahannya sama sekali, “Kamu gak sayang lagi sama aku?” Tepat saat aku menanyakan pertanyaan itu, air mata sudah tidak bisa terbendung. Tangisku pecah melihat Danu di hadapanku yang kini jaraknya terasa semakin menjauh. Tangisanku membuat mataku kabur. Semua memori kenangan tentang aku dan Danu terputar jelas dalam memori otak.
Apa yang akan orang lain pikirkan jika kita berpisah?
Danu berusaha keras menelan salivanya. Wajahnya menyiratkan jelas ia tidak nyaman duduk di café ini. Berkali-kali ia melihat sekitar, khawatir dengan pandangan orang lain yang mulai memperhatikan aku yang menangis.
“Ge, denger. Kamu tahu alasannya. Bukan karena aku gak sayang, karena udah gak bisa. Bukan koma, bukan titik. Aku hanya ingin membuka lembar baru—“
“Lembar baru dengan siapa? Kenapa bukan aku? Aku kurang apa sih Danu buat kamu? Udah banyak hal yang aku lakuin buat kamu dan kamu bisa semudah ini ninggalin aku?” Rasanya aku ingin sekali menggebrak meja dan menyiram Danu menggunakan minuman di depanku. Walau rasanya sesak luar biasa, tetapi aku tidak bisa. Perasaan sayangku lebih besar dari rasa marah, kecewa, bingung, dan segala hal yang berkecamuk di dadaku saat ini. Aku pikir hari ini tidak akan pernah datang.
Jemari Danu yang lembut, berusaha menghapus air mataku yang masih terus mengalir enggan berhenti. Entah berhenti sampai kapan, mungkin masih berharap Danu menarik kata-katanya kembali.
“Maaf ya Ge, Maafin aku udah bikin kamu kecewa dan banyak berharap. Tapi bukan aku orang yang kamu cari untuk melengkapi kebahagiaan kamu,” Danu tersenyum kecut.
Dengan napas berat Danu kembali melanjutkan ucapannya, “Hubungan kita memang jeda, jeda yang indah dan menyenangkan. Tetapi kamu tahu, kita gak tercipta di kalimat yang sama. Gak bisa dilanjutin. Bukan aku titik kamu, begitu pun sebaliknya.”
Aku menggeleng dan menarik lengan Danu kuat-kuat. Aku tidak mau dia pergi.
“Danu.. jangan kayak gini…” Aku merengek menahan ia pergi. Aku tahu setelah hari ini, semua tidak akan sama lagi. Danu tidak akan menjadi milikku lagi.
Danu malah tersenyum manis. Senyuman yang membuat aku jatuh cinta saat pertama kali bertemu. Namun melihat senyuman itu, hatiku saat ini hanya bisa merasakan perih. Tidak ada perasaan seperti kupu-kupu terbang di perut.
“Jaga diri baik-baik. Hari Minggu datang ya? Aku berharap kamu datang.”
Setelah mengucapkan kalimat itu dengan mantap, lengkap dengan titik sebagai penekanan, Danu melangkah pergi meninggalkan diriku di café seorang diri. Dunia ku terasa runtuh.
***
Berhari-hari setelah Danu memberi titik pada hubungan kami, aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Undangan yang ia lemparkan padaku di tempo hari, membuatku nyeri tiada obat. Dilema bukan main, tetapi untuk upacara perpisahan titik kami, ku rasa ada baiknya aku datang.
Mengucapkan selamat di hari bahagianya, walau hari bahagianya adalah hari duniaku terasa runtuh. Hari di mana penampakanku akan menjadi pusat perhatian hampir sebagian tamu.
Hari ini ku coba mempersiapkan diri sepantas mungkin. Kubiarkan diriku terbalut dengan dress berwarna nude berukuran ¾. Belahan di bagian kaki membuat badanku terlihat jenjang. Rambut ku biarkan terurai apa adanya. Ku ambil undangan yang bertuliskan “Danu dan Danisa” di atas meja rias.
Hidup ini memang lucu.
“Lu udah siap Ge?” suara Tika memecah keheningan, ia berteriak dari ruang tamu.
Aku melangkah mendekatinya, “Siap gak siap, gue harus siap.”
Sepanjang perjalanan Tika hanya memperhatikanku, namun enggan mengajakku berbicara. Kebanyakan perbincangan hanya diisi basa basi kecil, undangan yang akan kami hadiri menjadi pembicaraan yang paling dihindari.
Aku tertawa jayus, “Lu kenapa sih Tik? Santai aja kali, tegang amat.”
Tika berdecak sambil menggeleng tidak percaya, “Lu emang orang gila Ge. Gue jadi lu sih kagak mau dateng ya.. Lu gak takut apa?”
Tertawa renyah adalah jawabanku kepada Tika. Kita lihat saja nanti.
Saat sampai di tempat acara, kami mengisi buku tamu terlebih dahulu. Belum lima menit, Tika langsung berhambur kepada teman-teman lamanya yang tidak aku kenal. Aku melihat berbagai karangan bunga berjejer di sepanjang jalan kami masuk. Menyesakkan. Seharusnya namaku yang bersanding dengan Danu.
Semakin dalam aku masuk ke dalam aula tempat pesta pernikahan tersebut digelar, semakin banyak pasang mata yang memperhatikanku. Desas desus mulai terdengar.
“Mau apa dia ke sini?”
“Gila, muka badak. Gak malu apa yah?”
“Wah drama nih, jangan sampai nikahannya gagal.”
Berbagai ucapan menyudutkanku itu terus terdengar hingga aku naik ke podium dimana Danu dan Danisa berdiri menyalami para tamu. Danu tersenyum sumringah melihat kedatanganku, raut wajahnya berbanding terbalik dengan Danisa. Danisa terkejut bukan main dan siap menerkamku kapan saja.
Danu membisikan sesuatu untuk memenangkan Danisa sebelum menyapaku.
“Kamu datang,” Senyumnya masih sama seperti terakhir kali mengucapkan selamat tinggal. Walau pun terdengar orchestra, rasanya sekeliling kami mendadak hening. Puluhan pasang mata memperhatikan setiap pergerakan yang kami lakukan.
Aku tersenyum, “Selamat ya Danu, Danisa. Semoga selalu berbahagia dan maaf sudah mencoba untuk mengacaukan hubungan kalian. Walau sudah berusaha, nyatanya aku gagal menjadi titik di kalimat yang berisi kalian berdua. Seharusnya kalimat itu tidak perlu diberi titik.”
Tidak perlu menunggu jawaban dan reaksi Danu dan Danisa, aku langsung melenggang pergi setelah mengucapkan kalimat itu. Rasanya lega, memberi titik di suatu hal yang memang harus diakhiri. Suatu hal yang memang tidak perlu ada, namun perlu diberi akhiran titik. Mungkin ini yang dinamakan titik balik.