Sioe Tien dan aku pacaran sejak kuliah. Sudah hampir empat tahun. Setelah lulus dia langsung kerja. PNS pula. Bagian IT kantor pajak. Lain dengan aku yang masih serabutan. Kadang narik online mobil tetangga. Atau bantu mama antar kue bila ada pesanan. Dan seterusnya.
Dekat tempat tinggal Sioe Tien ada warung masakan Tionghoa. Cirinya bangunan lama, pekarangan tanah dengan pohon asam sebelah pintu masuk. Makanannya biasa. Tapi rasanya benar-benar khas Benteng, Tangerang. Bikin ingatan kembali kepada masakan Ema saat kecil di Balaraja. Entah itu sayur asin cah tahu kuning, sio-may, mie ayam kangkung atau pindang. Kalau nasi goreng bisa pakai sosis merah, pete atau gabus asin. Hanya minuman yang sudah kota. Seperti es jeruk untuk Sioe Tien dan aku kopi hitam. Sebetulnya sejak dulu kami makan di situ. Tapi belakangan ini lebih sering. Sejak Sioe Tien PNS.
Membuat kami sadar akan sesuatu. Tentang pengunjung lain yang bikin penasaran. Mau tahu lebih. Mengenai seorang ibu dan anaknya. Kadang si ibu datang sendiri. Lain kali dengan gadis remaja. Bisa juga dengan anak lelaki yang kami duga adik si gadis. Atau mereka bertiga bareng. Tidak ada yang aneh. Pesan nasi cap cay atau lainnya. Si bungsu biasanya minum cola. Cici nya air jeruk. Sambil makan mereka bicara, tertawa, seperti biasanya orang di warung makan.
Sama sekali takkan menarik perhatian bila anda datang sesekali. Beda dengan kami. Sebentar saja terasa ada sesuatu yang mengusik. Sebetulnya Sioe Tien yang pertama sadar. Hadirnya sepiring nasi goreng depan kursi kosong. Seolah pesanan untuk orang yang akan datang menyusul. Tinggal duduk di kursi kosong … nyam-nyam. Namun yang ditunggu tak pernah tampak. Malah pelayan tua, Cek Asiong, yang menghampiri begitu mereka selesai makan. Tanpa bicara angkat piring yang belum tersentuh. Bawa masuk. Sebentar balik serahkan kotak styrofoam. Mungkin isi nasi goreng untuk dibawa.
Adegan demi adegan itu terus berulang. Bikin aku tidak sabar. Malam itu begitu lihat si ibu dan anak lelakinya keluar halaman warung, aku lambaikan tangan. Cek Asiong menghampiri. Setelah dekat ia sedikit membungkuk. Bisik-bisik aku tanya. Dibantu Sioe Tien. Pria tua itu dengan wajah murung menatap kami. Bergantian. Sambil menghela napas ia menoleh kiri kanan.
“Si Hoa langganan lama. Sejak perawan. Rumahnya di balik sekolah itu,” katanya sambil menunjuk bangunan di seberang agak ke kiri. “Lalu mulai datang bersama seorang pemuda. Sama-sama bisa Kuo-ie. Selisih umur mungkin empat tahunan. Tapi pemuda itu tampak dewasa. Kabarnya kantor pajak. Engko dan enso di sini kalau mau bayar pepe--, apa itu?”
“Pe-pe-Ha”, jawab Sioe Tien. “Pajak penghasilan.”
“Ya, itu. Titip dia … Ah, pasangan yang sungguh serasi.” Sampai di sini ia tak tahan. Sian Kim sodorkan kotak tisu.
“Mereka pacaran. Tak sampai setahun. Nikah. Kami semua di sini dapat undangan. Termasuk Encek. Malah tiga hari setelah nikah mereka undang teman-teman dekat kumpul di sini. Warung penuh dengan mereka. Sangat meriah, nona,” katanya kepada Sioe Tien. “Untuk pengantin laki kami bikin nasi goreng spesial. Pakai yangciang merah, pete dan potongan kecil gabus asin.”
“Tak terasa lahir si cici. Disusul adiknya. Dari mereka masih digendong hingga lari-lari keliling halaman warung sudah dibawa kemari. Sampai si cici tamat sekolah menengah. Mereka rayakan di sini. Pesan tiga meja. Untuk teman-teman yang ulang tahun. Pada meja utama ada sepiring nasi goreng. Kesukaan sang suami yang akan menyusul langsung dari kantor. Tapi … tapi …” Aku beri tanda kepada Sioe Tien. Tisu.
“Hingga bubar nasi goreng utuh. Kabarnya ia mendadak ikut rapat. Tak bisa datang …” Suara isak tertahan.
“Esoknya terbang. Tugas kantor gantikan rekannya. Numpak pesawat yang hilang dekat teluk Cemara itu …” Setelah diam agak lama, cek Asiong sambung:
“Lama mereka tidak muncul. Ada lima bulan. Lalu Si Hoa datang. Sendiri. Berdua dengan salah satu anak. Atau lengkap bertiga. Selalu pesan nasi goreng. Ditaruh depan kursi kosong. Setelah tahu artinya, engko dan enso menolak dibayar. Tapi Si Hoa nolak … Encek tidak tahan. Tak tahu sampai kapan Si Hoa begini.” Pria tua itu balik badan. Tinggalkan kami begitu saja. Hanya terdengar suara ia bersihkan hidung. Diikuti Sioe Tien. Dan aku.
Kami pulang dalam diam. Hanya tangan saling bertaut. Pajak, bisik aku dalam hati. Depan pagar, sebelum pintu dia dorong, aku pegang bahu Sioe Tien. Menatapnya lembut. Sambil berkata:
“Sebentar, Tien.” Tangan yang mau dorong pintu pagar aku tahan. Kedua pipinya aku pegang. Lembut. Sambil berkata, “Sioe Tien sayang. Kau mau jadi istriku?”
“Apa?”
“Lamar. Kamu. Jin Koei lamar Sioe Tien. ”
“Hah! Benaran?”
Aku angguk. Dia loncat memeluk. Berangkulan kami masuk rumah. Begitu dengar suara papa dan mama di ruang makan, langsung menuju mereka. Berdua tegak di belakang kedua orang tua Sioe Tien. Bikin mereka memutar kursi. Aku pegang tangan mama. Lalu, papa. Juga tangan puteri mereka. Tangan-tangan kami jadi satu. Lalu dengan suara parau, padahal tidak pilek, meluncur kata-kata:
“Pa, ma … Jin Koei minta ijin … lamar Sioe Tien …”
“Lho, lho. Kenapa mendadak? Apa kalian waras?” kata papa. Dua kepala mengangguk. Disusul Sioe Tien jelaskan bahwa saatnya sudah sampai. Disambung cerita tadi. Dan aku tambahkan bahwa bisa saja Sioe Tien dapat tugas ke daerah sehingga perlu naik pesawat. Belum kalimat aku putus, papa bangkit. Ajak istrinya. Kami pelukan. Adik Sioe Tien yang keluar dari kamar melihat kami berempat, tanpa mengerti. Malah ia tanya, “Ci, mana pesanan nasi gor …” Lebih cepat tangan Sioe Tien menutup mulut adiknya. TITIK.