Kau menyaksikan bulir-bulir air mengalir di panel jendela kamarmu. Kaca mulai mengembun dan endapan airnya hampir mengaburkan pandanganmu terhadap seorang perempuan yang sedari tadi berdiri di teras rumah sambil mengetuk-ngetuk pintu. Kau yakin ini bukan sebuah kebetulan. Perempuan itu benar-benar datang sesuai janjinya, tetapi kau masih ragu untuk membukakan pintu untuknya.
Kau tahu hanya butuh delapan belas langkah untuk mendatangi pintu itu. Cukup menuruni sepuluh anak tangga, lalu berjalan delapan langkah lagi untuk membukakannya. Atau bahkan, bisa saja kurang dari delapan belas langkah. Ini hanya soal pilihan; kau bisa menyingkatnya dengan menuruni dua anak tangga sekaligus dalam satu langkah. Tetapi, alih-alih segera melangkah, kau memilih diam sambil menerka-nerka apa yang sebenarnya diinginkan perempuan itu.
Kau menoleh ke sekeliling. Matamu liar menerawang ke segenap penjuru kamar. Di sisi kananmu, selang beberapa inci, adalah sebuah meja. Dan di permukaan meja itu, diterangi secercah cahaya, tepat di atas tumpukan buku, secarik kertas tergeletak dan kau beringsut menghampiri meja tersebut. Jemarimu sigap namun penuh kehati-hatian mengambil secarik kertas itu, seolah ia adalah barang paling berharga yang pernah kaupunya selama hidupmu. Perlahan-lahan kau membaca huruf-huruf yang termaktub dalam kertas itu. Memastikan untuk ke sekian kalinya bahwa huruf-huruf tersebut benar-benar tertulis dan perempuan itulah yang menuliskannya. Beberapa jenak kemudian, kau melipat kertas itu lantas memasukkannya ke saku kemeja.
“Ternyata ia benar-benar menepati janjinya,” batinmu.
***
Adalah waktu mengajarkan banyak hal pada setiap insan, tapi nahas ia tidak pernah mengajarkan kita bagaimana cara melupakan masa lalu yang sarat derita. Aku mendatangi pekuburan ini lagi dan menyapa gundukan tanah yang menjadi tempat janinku bersemayam itu, seperti yang sering kulakukan dua tahun lalu seraya membohongi diri: meyakini bahwa seonggok daging di dalamnya telah tumbuh menjadi seorang balita sedang merengek karena ditinggal pergi ibunya.
Tak banyak yang berubah dari pekuburan ini. Sebuah pohon beringin tua menjulang tepat di tengah pekuburan. Ranting-rantingnya menggelayut hampir menapak ke tanah. Selang satu pelemparan batu dari beringin itu, berdiri sebuah dangau yang sama tuanya.
Banyak orang mungkin menganggap apa yang kulakukan ini adalah suatu keganjilan. Ketika tak banyak orang ingin berduka di dunia ini, bahkan melulu mengelak jika dihadapkan dengan duka, dan hampir selalu berharap hari-harinya dipenuhi kebahagiaan, aku justru berlaku sebaliknya. Aku memang pernah pergi dari makam ini tiga tahun lalu, tapi makam ini seolah memanggilku tiap saat. Dan pada akhirnya, aku kembali lagi.
Sama seperti tiga tahun lalu saat aku berpamitan dengan anakku, air mataku berderai begitu saja meski beberapa kali aku telah menyeka dan berusaha menahannya; bersama renyai hujan air mata ini bergelimpangan di atas makam bayiku. Tentu saja aku sadar di dangau tua itu, sepasang mata diam-diam mengamati gerak-gerikku. Namun demikian, aku tak membutuhkan pertolongan orang itu. Paling tidak untuk sementara ini.
Detik-detik bergulir dan sudah saatnya untuk menunaikan janjiku. Sambil menyeka air mata, aku mengambil dua lembar foto di saku jaket. Lalu, mengarahkannya ke atas gundukan tanah itu.
“Ini foto nenek di tepi sungai Mahakam, Sayang... dan, yang ini foto Mamahmu waktu masih muda. Cantik, kan? Hehe,” aku bercerita di atas makam ala kadarnya seraya mengeruk tanahnya. Sesekali aku menoleh ke lelaki separuh baya yang sedari tadi duduk di dipan dangaunya sambil mengamatiku.
Sebentar kemudian, tepatnya setelah beberapa kerukan, sebuah lubang sebesar kepal tangan berhasil kubuat. Kuloloskan dua lembar foto itu ke dalamnya dan menutup kembali lubang tersebut. Adapun lelaki di dangau itu tak sedikit pun beranjak dari tempat duduknya.
***
Tangga berdecit mengiringi langkahmu saat kau menuruninya. Diam-diam sececah harap dalam hatimu kian membesar. Bagaimanapun, kau masih butuh dengan jawaban perempuan itu. Hingga tak terasa olehmu, kau telah sampai di depan pintu itu. Berapa langkah yang kau habiskan untuk sampai ke depan pintu itu? Dua puluh? Sembilan belas? Ataukah tepat delapan belas langkah seperti hari-hari biasa saat kau bosan di rumah dan menghitungi langkahmu ketika ada tamu berkunjung ke rumahmu?
“Persetan dengan angka, sebab kepastian selalu menyakitkan,” batinmu sebelum memutar gagang pintu.
Sesigap mengambil dan melipat secarik kertas yang kini telah berada di sakumu, sesigap itu pula jemarimu memutar gagang pintu. Dan kini kau berhadapan dengan perempuan itu. Sejaras pertanyaan yang terarsip rapi di kepalamu selama beberapa tahun, ingin segera kau tumpahkan semuanya.
“Kenapa kau kembali lagi?” tanyamu tenang, meski kau tahu ketenangan itu tak lebih dari sebuah kepura-puraan belaka. Perempuan itu tidak menjawab dan melongos begitu saja ke arah sofa.
Tempias hujan mulai membasahi teras rumah dan angin dari luar merambah bulu kudukmu. Kau menutup pintu dan mengekor perempuan itu seraya melontarkan banyak pertanyaan.
“Mengapa kau tak mau menjawab pertanyaanku? Mengapa kau pergi dan kembali lagi? Apa yang kau inginkan sebenarnya, Heh?!” meski kau bertanya dengan nada yang cukup tinggi, perempuan itu masih bergeming. Ia hanya menyunggingkan senyum tiap kau mengajukan pertanyaan padanya.
“Jawablah!”
Masih tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Sedari tadi ia hanya menggelengkan kepalanya. Tak berselang lama ia bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah pintu, keluar dari rumah, dan membiarkan pintu yang terbuka itu ditutup oleh desau angin. Kau hanya mematung melihat polahnya. Semerbak parfum yang ditinggalkan perempuan itu sekilas mengantarkanmu pada malam-malam bahagia yang pernah kau habiskan bersamanya di rumah ini.
Semula kau berniat mengekor di belakangnya, sekadar ingin tahu ke mana perempuan itu pergi. Tetapi, niat itu kau urungkan. Anggapanmu tak berubah kendati perempuan itu benar-benar kembali lagi. Untuk saat ini kau masih mengira perempuan itu telah kehilangan kewarasannya sejak jabang bayi kalian gugur di rahimnya. Namun dalam kesunyian yang tak lama itu, seketika pandanganmu dibuat takjub oleh selembar foto di atas meja.
“Apakah ia datang hanya untuk memberikan foto ini?” teriakmu, dilahap sunyi.
***
Seorang bijak bilang bahwa sebuah masalah tidak akan berlarut-larut, jika diselesaikan dengan “maaf”. Beberapa orang mungkin menganggap itu sebagai kebenaran mutlak, tapi aku tidak. Aku tidak bisa memaafkan seseorang yang telah menghancurkan hidupku. Tidak akan pernah bisa. Ini mungkin terdengar egois. Akan tetapi, aku tidak peduli.
Memikirkan hal itu sebelum meninggalkan makam bayiku dan memberikan selembar foto ke mantan suamiku, membuat aku teringat kembali bagaimana aku berpamitan dengan keduanya dua tahun lalu:
“Dua atau tiga hari lagi Mamah akan pergi meninggalkan rumah untuk sementara,” kataku waktu itu pada si bayi yang belum sempat kuberi nama di atas makamnya. Aku tahu ia tak mungkin mendengarkan, tetapi aku tidak peduli dan tetap merasa senang bisa menceritakan banyak hal kepadanya.
“Mamah akan pergi ke pulau seberang, ke tempat Mamah dilahirkan. Mamah akan memotret pemandangan yang indah di sana, dan memperlihatkannya padamu. Papah bisa jaga diri sendiri, Mamah sudah tulis surat buat Papah.”
Namun demikian, berapa kali pun mengingat hal itu, tak akan pernah ada yang berubah. Aku tahu semuanya sia-sia belaka. Kepergian dan kedatanganku saat ini tak sedikit pun mengobati gurat duka yang mendekam dalam relung hatiku untuk waktu yang cukup lama. Mantan suamiku akan tetap bahagia dengan istrinya. Dan anakku, sudah tenang berada di sisi-Nya.
***
Kau tahu: bahagia berjalan seiring dengan duka. Dan, kita berdua telah merasakan keduanya. Setelah membaca surat ini, kau mungkin bertanya-tanya ke mana aku pergi. Maafkan aku, Kasih. Sementara ini aku harus pergi. Setelah semua urusanku selesai, aku akan kembali lagi. Percayalah.
Mengais-ngais masa lalu? Ah, bukan. Memastikan huruf demi huruf tak ada yang keliru pada isi surat itu? Ah, bukan pula. Kau tahu saat ini kau sedang meratapi kebenaran, dan kau benci hal itu.
“Kebenaran? Kepastian dan kebenaran adalah salah dua neraka yang diciptakan manusia,” begitulah kau berujar, hampir di setiap malam sebelum kau lelap tertidur. Dan kalimat itu kembali terngiang, saat kau meratapi kebenaran di balik gugurnya bayimu di rahim perempuan itu, isi dan maksud surat yang saat ini kau genggam serta sebuah foto yang ia tinggalkan belum lama ini.
Perempuan itu? Ia yang pergi dan datang kembali sekadar untuk memberimu selembar foto: sebuah potret dirimu bersama istrimu di tepi pantai yang diambil dari jarak yang lumayan jauh tetapi tetap tak mengaburkan hasil potretnya. Pergi ke mana lagi ia sekarang? Kau tidak akan pernah tahu. Sebagaimana kau tidak pernah tahu bahwa selama ini, perempuan itu pernah menguntitmu. Sebuah fakta yang membuatmu ragu akan penilaianmu terhadapnya. Pikirmu, jika ia gila, ia tidak mungkin menguntitmu dan mengetahui perselingkuhanmu.
Hujan mulai reda. Desing kepak sayap laron sayup-sayup terdengar di telingamu. Sekompi laron bertandang ke rumah, beterbangan mengitari lampu-lampu. Tak lama kemudian terdengar deru mobil di pekarangan rumahmu. Kau beringsut dan mengintip lewat balik jendela, lalu menoleh ke arah jam dinding.
Istrimu berjalan ke arah pintu. Sebelum ia menempelkan tangannya di gagang pintu, kau sudah lebih dulu membukakan pintu itu. Dalam beberapa jenak kau bersitatap dengannya seraya menyunggingkan senyum. Setelahnya kau menoleh ke sekeliling pekarangan rumah, seolah sedang mencari sesuatu yang hilang, meski kau tahu apa yang hilang itu dan memilih abai belaka.
“Ada apa, Mas?” tanya istrimu heran.
“Tidak ada apa-apa. Sudah buruan masuk. Di luar dingin.”
***
Meski sedikit ragu, aku memberanikan diri menghampiri lelaki di dangau itu. Keputusanku sudah bulat. Aku sudah punya nama untuk anakku. Aku akan meminta lelaki di gubuk itu mengukir nama anakku di sebuah bilah kayu, untuk kemudian bilah itu ia jadikan sebagai nisan anakku. Aku sepenuh hati yakin akan menamai anakku Rosania.
Rosania. Ah, Rosania. Nama itulah yang selalu melela dalam pikiranku. Nama yang semula kutemukan sebagai akronim dalam secarik surat di laci meja kamar dua tahun lalu, surat yang ditulis seorang perempuan bernama Sania dan ditujukan kepada mantan suamiku, Rosyidin. Sania, ya tidak salah lagi. Itu adalah Sania yang pernah kuanggap seperti kakakku sendiri di masa-masa mudaku; seseorang yang kukenal baik; dia yang tak pernah menundukkan kepalanya saat berhadapan dengan siapa pun, dia yang mengajariku dunia tulis-menulis, dan dia pula yang mengenalkan mantan suamiku, Rosyidin. Dan pada akhirnya, akronim nama mereka, Rosania, menjadi nama yang mengubah jalan hidupku; nama yang mengubah segalanya; nama yang menjadi alasanku menjatuhkan putusan yang kusesali sampai saat ini, menggugurkan kandunganku.
Namun demikian, bagaimanapun kenyataan pahit yang disebabkan nama itu, aku akan tetap menamai anakku Rosania. Ya, Rosania. (*)