Daris pulang dengan keadaan lunglai. Belum ada kabar baik dari penerbitnya. Sudah dua bulan bukunya terbit namun masih jauh dari kata laris, bahkan mendekati kata laku saja belum. Ia mulai frustasi dengan keadaannya, sudah setahun sejak ia mengundurkan diri dari pekerjaannya dan mulai berwiraswasta dengan menjadi seorang penulis. Keputusan Daris untuk berhenti dari pekerjaannya disebabkan oleh sifat bosnya yang terlalu egois. Sebenarnya Daris telah memiliki posisi yang tinggi di kantornya namun dengan posisi itu mengharuskan ia berada pada sisi bosnya yang berarti ia harus selalu menekan bawahannya. Ia menjadi pegawai kesayangan bos namun ia menjadi atasan yang dibenci bawahan.
Setiap selesai berdebat dengan bawahannya, ia selalu merasa tersiksa. Bosnya selalu mengajarkan untuk menyematkan kata “titik” setiap ia berdebat dengan bawahannya. “Titik” akan jadi kata pamungkas untuk menghakhiri beberapa perdebatan-perdebatan secara cepat, kata bos Daris. Salah satu penggunaan “Titik” yang digunakan Daris untuk memangkas durasi perdebatan seperti pada kalimat “Bisa tidak bisa, intinya saya mau pekerjaan kamu sudah harus selesai besok. Titik!” atau “Kamu ingat-ingat kamu itu siapa dan saya siapa, pokoknya kamu harus nurut saya. Titik”. Perdebatan yang dapat diselesaikan dengan “titik” haruslah perdebatan antara dua orang atau dua kelompok yang tidak seimbang, baik secara kekuatan ataupun kekuasaan. Perdebatan yang dapat diselesaikan oleh “titik” adalah perdebatan antara bos dan karyawan, orang tua dan anak, guru dan murid, dan dua orang lainnya yang tidak setara.
Apa yang kini Daris anut merupakan lawan dari ajaran kakeknya. Kakek Daris pernah berpesan “Jika dalam situasi sedang berdebat, setinggi apapun kekuasaanmu, jangan hentikan perdebatan dengan kata titik. Perdebatan memang akan berhenti dengan cepat dan kamu akan menang, tapi akan jelas terlihat bahwa kamu adalah pemimpin yang tidak mau mendengar.” Pesan kakek selalu terngiang dalam ingatan Daris. Ia sangat dekat dan menghargai kakeknya, kakeknya lah yang membiayai kehidupan Daris dari kecil hingga ia selesai S2. Kakek Daris bukan seorang kaya raya, ia selalu mengatakan dirinya berkecukupan, cukup untuk makan hari ini, cukup untuk menyekolahkan Daris, dan cukup untuk menabung.
Dari pesan kakeknya tersebut, Daris kemudian yakin untuk berhenti bekerja dari kantornya. Pada hari terakhir bekerja, Daris berpamitan dan meminta maaf kepada bawahan-bawahannya atas perlakuannya selama ini. Daris juga berpamitan pada bosnya, saat mereka saling berhadapan, sang bos berpesan “Jangan terlalu bergantung pada perasaan, segala sesuatu butuh uang, dan uang tidak datang kepada orang yang lemah.”
Pesan dari bosnya itulah yang sekarang menghantui pikiran Daris, sudah dua bulan ia tidak memiliki pemasukan dan tabungannya semakin menipis. Di saat susah inilah Daris mulai mengingat-ingat lagi pesan-pesan kakek. Di atas kasurnya, Daris melihat langit-langit kamarnya dan mulai melamun, “Ah, apa aku salah ya terlalu mengikuti pesan-pesan kakek? Kakek memang orang yang sangat baik dan jujur, tapi hidup dia begitu-gitu saja. Pesan-pesan hidupnya mungkin sudah tidak relevan untuk dijalani di masa sekarang. Apa aku kembali bekerja di kantor lamaku saja?” Daris mulai mengalami kegamangan namun ia masih bertekat untuk tetap sabar menunggu buku-bukunya laku.
Empat bulan sudah terlewati sejak buku-bukunya terbit, Daris belum menemukan jalan yang baik untuk menjalani hidup dengan menjadi seorang penulis. Uang di tabungannya sudah sangat tipis, hanya cukup untuk menjalani kehidupan selama sebulan. Pada suatu malam sebelum tidur, ia ingat pesan kakeknya. Sebelum meninggal, kakeknya berpesan “pulanglah jika tidak sanggup untuk berjalan sendirian diluar sana, rumah ini akan selalu ada, meskipun setelah kematian kakek nanti rumah ini akan kosong, tapi rumah ini akan selalu menunggu kamu pulang”.
Keesokan harinya, Daris memutuskan untuk pulang ke rumah kakeknya. Rumah itu berada di desa yang lumayan jauh dari kota yang ditinggali Daris. Sesampainya di rumah kakek, Daris melihat sekeliling rumah, memorinya langsung menyeretnya masuk ke masa lalu, ke masa dimana ia dan kakeknya hidup hanya berdua dan sederhana, masa dimana kakeknya selalu membeli tahu setiap pagi sebagai menu wajib setiap hari, dan masa dimana kakeknya selalu mengajak Daris untuk berkebun. Rumah itu telah dua tahun kosong namun bagi Daris rumah itu masih ramai akan kenangan.
Saat Daris tenggelam dalam lamunannya, seorang laki-laki tua menghampiri.
“Sudah lama nak Daris disini?” Tanya laki-laki itu.
“Oh hai om Eko. Apa kabar om? Saya baru saja sampai.” Daris langsung mencium tangan laki-laki yang ia panggil om Eko itu. Laki-laki tua itu adalah sahabat karib kakeknya, mereka berteman sejak remaja, dan om Eko lah yang merawat kakeknya saat sakit dengan keadaan Daris jauh di kota.
“Om sehat nak, kamu apa kabar? Tumben pulang? Kangen rumah ya?” Om Eko mengusap rambut Daris. Daris sudah seperti cucunya sendiri.
“Saya sehat om. Iya sedang kangen rumah.”
“Bagaimana pekerjaan di kota?”
Daris tidak menjawab. Dia hanya tersenyum.
“Kamu capek tidak nak? Om ingin bawa kamu jalan-jalan ke suatu tempat.”
“Saya tidak capek om. Om mau membawa saya kemana?”
“Ikut saja, mungkin ini bisa membantu kamu.”
Diajaklah Daris pergi ke suatu tempat yang tidak jauh dari rumahnya sehingga mereka pergi dengan berjalan kaki. Saat di perjalanan, Daris mulai menceritakan kehidupannya di kota, ia juga menceritakan keraguannya terhadap pesan-pesan kakeknya.
“Saya mulai merasa bahwa pesan-pesan yang kakek wariskan tidak membuat saya bisa bertahan hidup om. Terlalu idealis.” Perkataan Daris hanya dibalas senyum oleh om Eko.
Tidak lama mereka sampai di depan sebuah bangunan tua yang besar, om Eko memberikan sebuah kunci kepada Daris.
“Ini jawaban atas idealisme yang kakekmu pertahankan dan ajarkan kepada kamu.” Daris menerima kunci itu kemudian dibukalah pintu besar pada bangunan tua itu.
“Om? Kenapa bawa saya kesini?” Daris bingung, dilihatnya mesin-mesin di dalam bangunan tua yang ternyata merupakan pabrik.
“Bingung ya nak? Ini pabrik tahu punya kakekmu, sekarang menjadi punyamu.” Om Eko tersenyum sambil mempersilahkan Daris untuk mengikutinya berkeliling pabrik.
“Om, saya masih belum mengerti.”
“Kakekmu yang terlihat hanya mewarisi kalimat-kalimat motivasi yang idealis adalah pemilik pabrik tahu ini.”
“Pemilik? Sejak kapan? Saya sudah hidup sama kakek dari saya kecil, om dan saya tidak tahu apa-apa tentang ini.”
“Om sudah jadi teman kakekmu sejak remaja. Hahahaha.”
“Iya, saya tahu om tentang itu. Tolong jelaskan ini semua.”
“Pabrik ini sudah ada sejak ayahmu masih kecil nak. Kakekmu membangun ini semua dengan tangannya sendiri. Dengan idealisme kakekmu yang besar, pabrik tua ini bertahan hingga sekarang. Hari ini kebetulan sedang libur produksi saja mangkanya tidak ada orang.”
“Kenapa saya tidak pernah tahu?”
“Salahkan ayahmu.”
“Ayah saya? Saya saja tidak pernah bertemu dengan beliau, om.”
“Ya karena itu. Ayahmu meninggalkanmu ketika kamu masih bayi karena perilakunya sendiri. Ayahmu terlalu dimanjakan oleh kakekmu sehingga ia tumbuh menjadi laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Setelah menikahi ibumu dan lahirlah kamu, ia tetap tidak berubah, ia masih suka mabuk-mabukan dan ikut balapan di kota. Setelah kematian ayahmu karena kecelakaan, kakekmu merasa sangat gagal mendidik anaknya sehingga ia merubah cara didiknya terhadap cucunya. Om sangat tahu hidupmu dulu sedikit tidak nyaman, kamu tidak pernah punya mainan terbaru, bajumu apa adanya, dan makanan sehari-hari kamu adalah tahu. Kakekmu melakukan itu agar kamu tahu arti sengsara dan diharapkan setelah dewasa kamu bisa menghargai uang.” Om Eko melanjutkan “Kamu pikir kakekmu mampu membiayai sekolahmu hingga S2 hanya dengan menjadi pegawai perkebunan biasa? Tentu tidak nak. Ia merahasiakan tentang betapa banyak uangnya darimu sejak kecil dengan meminta kepada seluruh karyawan dan tetangganya untuk tidak memberi tahumu tentang keberadaan pabrik ini. Ia meminta seluruh karyawannya memperlakukannya seperti biasa jika bertemu di jalan atau dimanapun.”
“Lalu kenapa sekarang pabrik ini diberikan kepada saya? Setelah kakek meninggal lantas siapa yang mengurus pabrik?”
“Yang mengurus adalah om dan dua teman kakekmu lainnya. Sebelum kakekmu meninggal, ia berpesan kepada kami untuk merawat pabrik ini dan pabrik ini boleh diberikan padamu saat kamu pulang ke rumah karena sedang mengalami susahnya hidup. Ia yakin bahwa jika kamu memegang teguh petuah darinya, yang mana kamu akan mengalami kesusahan hidup terlebih dahulu, maka kamu dinilai pantas untuk memegang pabrik ini.”
“Apa ada pesan lain dari kakek, om?”
“Tentu ada. Kamu pasti ingat salah satu petuahnya tentang titik? Dia berpesan agar saat kamu memegang pabrik ini dan memimpin seluruh karyawannya, kamu mau mendengarkan apapun keluhan karyawan, tidak mengakhiri hubungan dengan keegoisan sebagai seorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi .”
Daris diam dan mencerna pesan kakeknya lagi.
“Masih banyak nak yang harus om sampaikan. Nanti om dan dua kawan lain akan membimbing kamu mengurus pabrik ini. Selamat ya, sudah berhasil melawan kegoisanmu sendiri. Masih akan ada banyak masalah yang datang nantinya. Kamu harus siap dan kuat untuk menghadapinya. Om pulang dulu. Kita ketemu besok pagi disini ya, jam 5 pagi, jangan telat ya. Besok hari pertama kamu kerja”
Om Eko meninggalkan Daris sendirian. Daris kemudian termenung lama di dalam pabrik. Ia memutar kembali kehidupannya selama beberapa tahun ke belakang. Sambil menyentuh beberapa mesin didalam pabrik, Daris mengatakan dalam hatinya “Terima kasih ya kek. Bukan karena warisan pabrikmu tapi karena warisan petuahmu.”
By, Nadamega D.A.