Mereka bilang, aku seperti kotak kecil berdebu yang penuh dengan kekosongan. Tanpa suara, tanpa cerita, dan tanpa muara. Aku menyatu dalam keheningan yang tak ada satupun yang mampu bergeming. Hingga satu waktu, kotak kecil itu terbuka lebar. Aku mendengar suara yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Seseorang dengan tiba-tiba datang membukanya, memecahkan keheningan yang selama ini hidup di dalamnya dan satu lagi, ia membawakanku banyak cerita.
Dia memang bukan laki-laki yang terbiasa dengan perilaku manis yang menyuguhkan seikat bunga atau bahkan dengan sekotak coklat. Dia, hadir dengan segala yang pernah aku harapkan setiap hari. Sengaja tidak aku perkenalkan siapa namanya, biar saja namanya menjadi satu-satunya yang aku sebut dalam segala harapan manis di bumi. Buatku, hadirnya sungguh mengubah semuanya. Aku yang semula takut dengan dunia, kini berani untuk keluar dalam gelapnya harapan. Dan, padanya juga, aku tau—bahwa cinta itu ada.
Menjalani hari-hari penuh cinta ternyata begitu menakjubkan. Bumi yang semula terasa gelap, angin yang terasa dingin, kini berubah menjadi terang dan hangat. Benar, dia memang menghangatkan segalanya yang pernah beku ditikam waktu. Aku bersimpuh di balik kotak kecil itu, dengan hati yang lebam, dan dengan pikiran yang tercabik-cabik habis. Sebelum dia datang, aku seperti berjalan tanpa peta. Tak ada petunjuk perihal jalan, ke kanan atau ke kiri? Hingga akhirnya, semua terlewati tanpa arah tujuan. Aku hancur tak berdaya, lemah, dan terasa mati setiap hari. Tak ada suara yang mampu kudengar sedikitpun. Tapi dia, memberikan semua yang tidak pernah aku terima sebelumnya. Tangannya menarikku untuk keluar dari kotak kecil yang penuh debu dan kusam. Dan, akhirnya… aku melihat bumi yang terang tanpa jeda, dia memberikanku cinta tanpa aba-aba. Dia datang di persimpangan waktu yang membuatku keliru. Aku semakin yakin, bahwa sejak saat itu, tak ada lagi tanda tanya dalam benakku. Aku hanya menemui satu titik, dan titik itu berhenti padanya.
Pernah satu waktu aku bertanya padanya begini,
“Kenapa cinta itu ada untukku?” aku menatapnya dalam.
Ia menghela napas, lalu balas menatapku, “Aku nggak tahu, tapi sejak waktu ketemu kamu, nggak ada penolakan di sini,” ia meletakkan tangan di dadanya. Suara lembutnya, seolah membuatku ingin terus menatapnya.
Ia tak begitu banyak bicara, tapi bukan juga laki-laki pendiam. Hanya saja,.setiap hari telinganya terpasang hanya untuk mendengar seluruh ceritaku. Semenjak ada dia, bumi terasa mudah dijalani. Semua yang aku yakini tidak bisa, bahkan menjadi mudah karena ia begitu menemaniku dengan baik.
“Dasar anak bayi,” ia tersenyum lembut, tangannya sedikit mengacak-acak jilbabku yang sedikit licin. Saat itu, posisinya tepat di hadapanku. Aku menangkap wajahnya dengan jelas, senyum tipisnya membuatku ingin berhenti di waktu itu. “Kamu tau nggak? Anak bayi itu nggak boleh sendirian, nanti hilang,” katanya lagi. Menatapnya begitu, sungguh aku gemas sekali!
Sungguh, hari itu mungkin aku perlu meditasi untuk sedikit meyakini bahwa memang hari itu adalah hari-hari paling menyenangkan yang pernah aku lalui.
Laki-laki ini, milikku. Kataku dalam hati.
“Kamu bosan nggak dengar aku cerita setiap hari?” tanyaku sekali lagi.
“Hmm,…” ia melanjutkan, “Bosan,”
Aku diam sejenak, sedikit menepis bahunya. Keras, tapi ia tidak terlihat kesakitan.
“Hahaha,… aku seneng dengar cerita kamu. Lihat bawelnya kamu, cerianya kamu, senyumnya kamu,” jawabnya.
Hari itu, aku benar-benar ingin menangis. Tangisan ini seperti datang lagi, tapi dengan pesan yang berbeda. Aku terharu bagaimana dia selalu memperlakukanku dengan baik, menemani, dan menjadikanku hidup untuk berjalan dengan peta. Sering kali ia memberiku hal-hal penting soal hidup yang tentu sering terlewat olehku. Ia memberikanku jalan, menopang seluruh keluh kesahku hingga menyapu semua air mataku yang turun. Sekarang, bagaimana bisa aku tidak mencintainya?
“Hiduplah dengan prinsip yang tegas,” katanya serius.
Aku sering kali bercerita padanya soal bagaimana menanggapi persoalan hidup yang begitu pelik. Lagi-lagi, dia menjadi orang yang paling aku tunggu-tunggu dalam mendengarkanku. Ketika aku bercerita, dia memang tidak begitu responsif, tapi dari matanya, aku paham betul bahwa ia tidak ingin aku berjalan tanpa peta lagi.
“Jangan pergi,” aku menatapnya haru, penuh harapan bahwa ia akan menjawab iya.
Ia menarik tanganku, seolah semuanya sudah terjawab. Kepalaku bersandar tepat di bahunya. Rasanya lebih dari yang kuduga, bahunya memiliki kekuatan besar hingga aku enggan untuk bangkit.
Tepat di suatu hari yang nahas, hal-hal yang aku anggap menyenangkan perlahan pergi. Telinga yang biasa siap sedia mendengarkan semua kisahku, kini tak ada. Hilang, lenyap di makan waktu dan sunyi. Semua kembali mati, hari-hari menyenangkan yang selalu aku tunggu-tunggu, kini terhenti. Aku kembali terlempar dalam kotak kecil yang kusam dan berdebu itu. Sebelum semua ini terjadi, ada satu hal yang membuat semuanya berhenti. Satu kesalahanku hari itu, mengantarkanku pada titik terburuk yang pernah aku rasakan sebelumnya. Aku tahu betul bahwa pada saat itu, ia marah padaku. Ia membiarkanku larut dalam hening yang membekap bibirku hingga kelu.
Semua terasa lagi, hari-hari penuh duka, kini datang lagi.
Rasanya, seperti hidup dalam bayang-bayang hitam yang pekat. Aku seperti kehilangan satu keping bagian hati yang membuat semuanya semakin terasa perih. Benar, semua yang ada padanya, membuatku tak bisa melakukan apa-apa jika tanpanya. Dadaku perih, suaraku membisu, tubuhku kering dirajam waktu. Aku memejamkan mataku sejenak, berharap saat mataku terbuka lagi, ia hadir di sini, memberikan tangannya untuk mengajakku bangkit dari jurang sepi yang menyiksa. Kuhitung satu sampai tiga, tubuhnya tetap tak ada. Barang kali yang keempat ia datang. Tak ada juga. Atau, mungkin yang kelima.
Benar, ia tetap tidak ada.
Aku membuka mataku perlahan. Tak ada cahaya yang bisa ditangkap oleh mataku dari segala sudut. Semua kosong, sepi tak ada arah. Aku lupa soal persimpangan waktu yang pernah menjadi titik temu kami saat itu. Sepertinya, lagi-lagi aku keliru soal tanda baca,
Apa yang membuatku yakin soal titik? Jika sampai hari ini, tanda tanya masih menjadi garis terbesar dari sebuah waktu?