(Sebuah Cerpen)
Teman-teman memanggilnya Bian, Ayahnya memberi nama lengkap Bian Kusuma. Kusuma diambil dari nama tengah Ibunya, sebagai bentuk kenangan. Ibunya meninggal beberapa saat setelah Bian lahir. Akhirnya Bian hanya dibesarkan oleh Ayahnya sebatang kara. Tak terasa sudah 10 tahun lamanya Bian bersama Ayah.
"Yah, Bian keluar main sama temen-temen ya" Teriak Bian dari teras rumah. Padahal Ayahnya masih tertidur di kamar.
"Main apa nih kita?" Tanya Bian pada teman-temannya.
"Petak umpet aja yu!" Ajak Reihan.
"Yaudah lu yang jaga pertama ya Han" Ucap Bian pada Reihan.
Teman-teman yang lain langsung berhamburan mencari tempat persembunyian menandakan setuju bahwa Reihan lah yang jaga. Saat Reihan mulai menghitung mundur dari angka 20, Bian pun pulang.
*
Hari minggu, Reihan dan yang lain sudah berkumpul di markas, bukan lain adalah gardu desa yang berada dekat dengan tempat rental Playstation. Jika pagi sampai siang gardu ini milik mereka, tapi kalo sudah sore menjelang malam gardu ini milik bapak-bapak.
Terlihat Bian datang dari arah rumahnya, dengan gaya jalannya yang khas layaknya preman kampung Bian menghampiri teman-temannya.
"Lu kemana pas petak umpet kemarin sore?" Tanya Reihan dengan nada kesal.
"Gue pulang ke rumah, lupa TV belum dimatiin, kalo ketahuan Ayah, nanti Ayah gue marah, bisa-bisa ga dibolehin main lagi" Jelas Bian.
Reihan dan teman-teman yang lain tidak menanggapi lebih lanjut setelah mendegar alasan Bian. Karena mereka tahu kalau Ayahnya Bian memang suka memarahi Bian. Itupun mereka ketahui langsung dari apa yang sering Bian ceritakan.
Mereka pun pergi ke rental Playstation. Sebuah agenda rutin di minggu siang.
Sedang asyik-asyiknya mereka bermain Winning Eleven dengan sistem Cup, tiba-tiba listrik mati. Reihan mengusulkan untuk dilanjut minggu depan, tapi Bian memilih untuk menunggu sampai listriknya kembali hidup. Mau tidak mau, merekapun memilih untuk menunggu. Karena jika tidak, Bian akan bermain sendiri dan menghabiskan sisa waktu rentalnya.
Dua jam berlalu, listrik belum juga hidup. Akhirnya Reihan dan teman-teman yang lain pulang. Kecuali Bian. Bian masih tetap menunggu.
*
Bulan Desember, curah hujan begitu tinggi namun tidak terlalu sering, kadang hari ini hujan, besok tidak. Begitu seterusnya.
Bian, Reihan dan yang lainnya memanfaatkan musim hujan ini dengan bermain di sungai, saat musim hujan air sungai jadi tidak dangkal, sungai yang tidak begitu lebar masih bisa mereka arungi dengan berenang. Kedalaman sungai pun hanya dua meter, maka dari itu sesekali mereka loncat dari jembatan silih berganti dengan gaya nya masing-masing. Sorak sorai terlihat saat satu persatu dari mereka berhasil terjun bebas ke sungai.
Sore itu awan mulai mendung, sedikit terasa tetesan air hujan membasahi mereka, terlihat pula riak air di permukaan sungai.
"Wah gerimis nih, pulang yuk!" Ajak Reihan pada teman-temannya.
"Haduh..lagi seru-serunya ini" Ucap Bian.
"Ayolah kita pulang aja" Ajak Reihan lagi.
"Terakhir deh sebelum pulang, gue tantang lu loncat gaya salto, berani ga? Abis itu kita pulang" Tantang Bian.
Reihan bengong.
"Lu bengong gue anggap iya ya. Oke gue dulu deh yang loncat" Ucap Bian dengan percaya diri.
Byurrrrr.....
Bian pun loncat dengan gaya salto yang ia bicarakan.
"Sekarang giliran lu!" Titah Bian.
Dengan sedikit aga ragu, Reihan menaiki pagar pembatas jembatan bersiap untuk loncat. Sesekali Reihan melihat ke bawah dan ke atas.
Byurrrrr....
Reihan pun loncat.
Teman-teman memberikan beberapa tepuk tangan karena loncat salto yang dilakukan Reihan mendarat dengan sempurna ketimbang Bian.
Nahas saat Reihan hendak menepi ke tepi sungai. Tiba-tiba banjir bandang datang menerpa, tidak ada yang melihat datangnya banjir ini karena alur sungai yang sedikit berbelok.
Hanya dalam hitungan detik, Reihan yang bertubuh mungil layaknya anak umur sepuluh tahun hilang tak terlihat. Bian dan yang lainnya hanya bisa berdiri mematung diatas jembatan dengan tatapan kosong.
*
"Begitulah kira-kira masa kecil aku dulu, banyak sebetulnya kenangan manis dan pahit yang aku alami, tapi kalau aku ceritain semua, malam pertama ini akan habis hanya dengan cerita masa lalu" Ucap Bian pada istrinya.
Linka, istri Bian, hanya mengangguk dan tersenyum. Posisi mereka yang sedang duduk berhadap-hadapan diatas kasur, sangat terlihat nyaman untuk saling berbagi kisah. Apalagi waktu sudah mulai larut malam. Hanya mereka yang bisa menikmati indahnya malam pertama.
Pertemuan Bian dan Linka sangat singkat, waktu itu mereka bertemu saat rapat urusan kantor. Benih-benih cinta muncul diantara keduanya. Karena umur yang sudah tak lagi muda, mereka putuskan untuk menikah. Maka dari itu Bian inisiatif mencairkan suasana malam pertama dengan bercerita tentang masa kecilnya.
"Bagaimana dengan masa kecil kamu?" Tanya Bian sambil menopang dagu.
"Masa kecil aku biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh, tidak ada yang kelam, tidak ada yang istimewa" Jelas Linka.
"Tidak mungkin" Sanggah Bian.
"Iya, karena sedari kecil aku ini anak rumahan, jadi waktu kecil hanya aku habiskan di rumah"
"Kamu tidak punya teman?" Tanya Bian lagi.
"Ada, namanya Celo, dia seekor kucing, kucing jenis anggora"
"Oh, kalo kucing aku dulu juga pernah. Pernah memakannya" Jelas Bian.
"Dulu waktu SMA, aku dan teman-teman hendak pergi berkemah, tak sengaja seekor kucing terlindas ban mobil kami, kasihan aku melihatnya sekarat, akhirnya aku sembelih menggunakan pisau lipat yang aku bawa. Niat hendak menguburnya saat sampai perkemahan, tapi kucing itu akhirnya aku bakar. Ternyata dagingnya cukup enak" Jelas Bian lagi.
Linka hanya bisa menelan ludah mendengar cerita Bian.
"Gausah takut, kejadian itu hanya mengobati rasa penasaranku aja, setelahnya mana mungkin aku membakar dan memakan daging kucing lagi" Ucap Bian.
"Kalau impian mu. Apa impian yang belum terwujud dalam hidupmu?" Tanya Linka mengalihkan topik.
"Untuk masalah karir, mungkin sudah aku capai. Bekerja sebagai CEO di perusahaan yang tidak kecil. Sudah bisa membuat Ayah ku bangga. Setidaknya aku sudah bisa membahagiakan Ayah diusianya yang sudah lanjut."
"Ohiya tentang Ayahku yang suka memarahiku waktu kecil. Itu semua hanya akal-akalanku saja, agar teman-temanku masih mau bermain bersamaku. Sejujurnya Ayahku baik, dan hidupnya selalu bahagia meski telah ditinggal oleh Ibu." Tambah Bian.
"Lalu mimpi apa yang belum bisa kamu capai?" Tanya Linka lagi.
"Sebelum aku jawab mimpi apa yang belum aku capai, lebih baik kamu dulu. Mimpi apa yang belum kamu capai?" Tanya Bian sambil tersenyum menggoda.
"Hmm...Apa ya. Sebenernya setelah menikah ini, mimpiku tidak muluk-muluk, hanya ingin bisa patuh dan mentaati suami, yaitu kamu. Karena kelak saat aku meninggal setidaknya aku dapat hadiah berupa surga." Jelas Linka dengan mata sedikit berkaca-kaca.
Bian tersenyum dan menatap Linka penuh harap, Linka yang duduk didepan Bian tanpa pikir panjang langsung memeluknya. Mereka pun saling tatap. Hanya beberapa milimeter saja bibir mereka saling bertemu.
Buuukkkk...
Bian mendorong Linka lembut, Linka terbaring pasrah diatas kasur dengan senyuman manisnya, kini posisi mereka seperti layaknya pacuan kuda. Bian menatap Linka tajam.
Dalam hitungan detik, Bian mengambil bantal lalu mengarahkannya pada wajah Linka, seketika senyum manis itu hilang dari tatapan Bian.
Linka berusaha berontak, namun sayang tangan yang mungil itu tidak bisa mengalahkan sigapnya Bian.
Bian benar-benar mengunci tubuh Linka sampai-sampai tidak ada pergerakan sedikitpun dari Linka.
"Tidak usah berontak sayang!" Bisik Bian.
Linka mulai lemas dan akhirnya kehabisan napas.
Bian masih berada diposisinya, tapi sudah melepas bekapan pada wajah Linka. Bian kini hanya menatap Linka yang sudah tak bernyawa. Senyum manis Linka masih ada, namun sedikit memudar.
"Linka, inilah jawaban dari mimpi apa yang belum terwujud dalam hidupku. Terimakasih sudah membantu untuk mewujudkannya" Ucap Bian lirih.
"Aku ingin seperti Ayahku, sayang" Tambahnya.
***
Selesai