Cantik. Itulah satu kata yang selalu terpintas di pikiran Kahar ketika perempuan bernama Titik Soemirah itu lewat. Bukan hanya Kahar, satu kampungpun akan setuju dengan apa yang dipikirkan Kahar. Ya, perempuan itu memang cantik. Setiap pemuda ingin meminangnya, siapa pula yang tidak tertarik perempuan secantik itu. Namun keinginan para pemuda tersebut hanyalah keinginan belaka, tidak ada yang benar-benar ingin meminangnya mengingat status Titik Soemirah adalah seorang janda beranak satu. Titik Soemirah baru saja ditinggal suaminya setelah satu minggu melahirkan anak pertamanya. Dari kabar yang beredar, mantan suaminya memang laki-laki brengsek yang mudah terpincut dengan perawan.
“Malang sekali kamu, Tik.” Kata Kahar setelah mendengar kabar bahwa Soemirah telah resmi menyandang status janda. Bagi Kahar, apapun status Titik Soemirah, ia akan selalu menjadi perempuan yang Kahar dambakan. Sejak mereka bertemu di bangku SMP, Kahar telah menaruh hatinya pada perempuan itu. Hingga memasuki usia dewasa dan hingga akhirnya Titik Soemirah dipersunting pemuda lain, Kahar tidak pernah mengatakan perasaannya. Kahar terlalu takut dan merasa tidak pantas, ia seorang pemuda biasa, anak yatim piatu yang hidupnya sejak kecil ditanggung oleh Kyai di kampungnya sedangkan Soemirah adalah idola remaja, parasnya cantik, senyumnya menawan, dan anak preman yang kaya raya di kampungnya.
Selama duduk di bangku sekolah, Kahar dan Titik Soemirah seperti dua orang yang terletak di belahan bumi berbeda. Titik Seomirah terkenal sebagai siswi yang sering berbuat onar, dibenci para guru, sering mendapat hukuman, dan kerap bergonta-ganti pacar. Sedangkan Kahar adalah murid pendiam yang kehadirannya jauh dibawah radar, bahkan jika dia tiba-tiba menghilang maka satu sekolahpun tidak akan ada yang menyadarinya.
Sebulan setelah ditinggal suaminya, Titik Soemirah juga ditinggal meninggal ayahnya yang telah lama sakit. Kepergian ayahnya tidak meninggalkan sepeserpun warisan untuk Titik. Titik merupakan perempuan yang tidak memiliki pekerjaan, selama ini ia hanya bergantung pada ayahnya dan setelah menikah ia hanya bergantung pada suaminya. Sehingga saat ayah dan suaminya pergi meninggalkannya, ia sebatang kara dan harus mengurus bayinya sendirian. Saat ini Titik dan bayinya hidup mengandalkan bantuan tetangga. Titik terlihat lusuh dan tidak lagi terawat seperti perempuan yang tidak memiliki pegangan hidup, ia tidak lagi seperti dulu.
Kabar tentang memburuknya keadaan Titik terdengar oleh Kahar dan langsung terlintas dalam pikirannya untuk melamar perempuan itu serta menjadi bapak untuk anaknya. Kahar merasa bahwa ia sekarang pantas untuk menjadi pendamping perempuan dambaannya itu, meskipun harta Kahar tidak berlebih namun Kahar merasa gajinya sebagai seorang guru SMA sudah cukup untuk menghidupi keluarganya kelak. Kahar kemudian meminta pendapat kepada teman-temannya, mengingat Kahar sudah tidak lagi memiliki saudara kandung. Teman-teman dekat Kahar langsung memberikan pendapat bahwa Titik Soemirah tidak pantas untuk menjadi istrinya, mereka beralasan bahwa Titik Soemirah merupakan perempuan nakal yang hanya tertarik pada harta dan ketampanan. Titik dirasa tidak pantas untuk mendapat pendamping sebaik Kahar.
“Iya, aku tahu bahwa Titik memang perempuan seperti itu. Tapi itu kan dulu. Sekarang dia sudah menjadi seorang ibu. Aku yakin sekarang dia jauh lebih baik. Mengingat dia sudah tidak memiliki siapa-siapa jadi aku rasa dia akan jadi pendamping yang berbakti padaku.” Ucap Kahar untuk meredam ketidaksetujuan kawan-kawannya. Kahar nampaknya tidak terlalu ambil pusing mengenai pendapat teman-temannya sehingga seminggu kemudian pergilah Kahar menemui Titik Soemirah untuk menyampaikan perasaan dan keinginannya.
“Titik, saya tahu mungkin kamu tidak mengenal saya.” Kahar memilih kalimat itu untuk membuka percakapan.
“Aku tahu, kamu teman sekolahku. Kamu yang selalu juara kelas itu kan?” balas Titik sambil menatap Kahar. Kahar menundukan kepala, malu.
“Oh, kamu kenal saya rupanya.” Ucap Kahar dengan kepala masih tertunduk.
“Bukan kenal, nama kamu saja aku tidak tahu.”
“Saya Kahar, kita berada di satu sekolah yang sama sejak SMP.”
Titik Soemirah terdiam.
“Titik, bagaimana keadaan bayi kamu? Sehat?” Pertanyaan Kahar terdengar aneh untuk seorang pria yang Titik belum terlalu kenal.
“Sehat. Kenapa? Kamu mau mengasuhnya?”
“Oh bukan. Eh iya. Mmmm.. maksud saya, saya ingin jadi bapaknya dan…….” Kahar menghentikan kalimatnya, ia mengumpulkan keberanian terlebih dahulu. “Dan saya ingin jadi suami kamu.” Kahar melanjutkan kalimatnya dengan kening yang mulai basah oleh keringat. Jantungnya berdegup kencang. Titik Soemirah belum mengucapkan perkataan apapun. Mukanya datar. Namun sebelum Titik membuka mulut, Kahar kembali berbicara.
“Titik, saya tahu ini sangat aneh bagi kamu. Kamu baru saja kehilangan dua laki-laki yang paling kamu cinta.” Belum selesai Kahar berbicara, Titik Soemirah mengatakan “Suamiku bukan hilang, dia cuma pergi sementara.”
“Dia pergi seminggu setelah bayi kalian lahir dan sudah 3 bulan dia membiarkan kamu dan bayimu sendirian. Dia juga tidak datang ketika ayahmu meninggal.” Kahar menghentikan kalimatnya. Titik masih terdiam. Kahar mengambil nafas dalam-dalam.
“Titik, sebelum kamu mengusir saya. Saya ingin mengatakan bahwa saya suka kamu sejak kita masih kelas satu SMP. Kamu cantik dan pemberani, saya tertarik. Tik, saya kira perasaan itu hanya perasaan suka yang biasa bocah lelaki rasakan namun ternyata tidak. Saat kita SMA, perasaan itu semakin nyata. Saya semakin suka kamu. Saya perhatikan kamu diam-diam. Dulu saya sangat ingin berada di satu kelas sama kamu tapi ternyata kita di jurusan yang berbeda, saya masuk kelas IPA dan kamu IPS. Tik, saya selalu ingin lihat kamu. Saya sering izin ke toilet biar bisa melewati kelas kamu. Saya tahu di jam berapa kamu tertidur dan tidak memerhatikan guru, di jam berapa kamu malah keluar kelas dan ke kantin, saya juga masih ingat siapa saja teman sebangkumu, warna sepedamu, dan bahkan saya ingat siapa saja pacar-pacarmu.”
“Kenapa tidak mengatakan dari dulu?” Titik mulai menatap wajah Kahar.
“Tik, kita sudah jelas tahu siapa kamu dan siapa saya dulu. Kamu sangat terkenal, pacar kamu semuanya hebat, kamu cantik dan menawan. Sedangkan saya? Saya bukan siapa-siapa, hanya anak yatim piatu biasa, Tik.”
“Pengecut.” Ucap Titik sambil memalingkan muka. Kahar menghampiri Titik, ia berlutut dan memegang tangan Titik.
“Ya, saya tahu saya memang pengecut. Tapi, saya merasa jika saya adalah laki-laki hebat karena bisa menaruh perasaannya pada seorang perempuan selama 10 tahun dalam diam. Perasaan itu tidak berubah, masih sama meskipun semua orang bilang saya naif karena mencintai perempuan secantik kamu, meskipun semua orang bilang saya bodoh karena tidak mengatakan perasaan hingga akhirnya kamu dipersunting orang lain. Berkali-kali saya bilang kepada mereka bahwa saya hanya menunggu waktu yang tepat dan saat inilah saya rasa waktu tepat itu.” Kahar merogoh kantong celananya, dikeluarkannya cincin emas yang ia beli di pasar 3 hari lalu. “Titik, bolehkan saya jadi pendamping kamu dan merawat anak kamu yang juga akan menjadi anak saya? Saya tidak kaya raya tapi akan saya usahakan untuk memenuhi kebutuhan kamu, kebutuhan anak-anak, dan seluruh kebutuhan rumah tangga kita.”
“Apa masih mau menikahi aku meskipun aku tidak cinta kamu?” Tanya Titik setelah melihat cicin yang diajukan oleh Kahar.
“Kata orang, cinta bisa tumbuh jika terbiasa. Saya berjanji akan menempatkan kebahagiaan kamu di atas kebahagiaan saya dan saya akan sabar menunggu sampai kamu mencintai saya.”
Titik menghela nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia kemudian mengangguk.
-------
“Kamu belum memberi nama untuk bayi ini?” Tanya Kahar kepada Titik pada malam kedua setelah pernikahan. Setelah hari pernikahan, Kahar sama sekali belum menyentuh Titik, mereka selalu tidur bertiga dengan bayi diantara mereka. Kahar ingin memberi waktu kepada istrinya untuk sepenuhnya menerima kehadirannya, ia sama sekali tidak ingin memaksa Titik untuk hal-hal yang mungkin akan membuat Titik tidak nyaman.
“Belum. Kamu boleh memberi dia nama apa saja.” Ucap Titik sambil memejamkan mata.
“Oke, saya mau memberi dia nama Electa.” Kahar kemudian memegang pipi bayinya dan melihat Titik yang sudah tertidur.
-------
Setelah menikah, Kahar merasa hidupnya berubah, ia menjadi lebih semangat menjalani hari. Kahar bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan untuk istri dan anaknya, kemudian berangkat bekerja. Sebelum berangkat kerja, Kahar selalu menyelipkan uang di bawah piring sarapan istrinya. Kahar juga selalu berusaha untuk pulang tepat waktu, ia ingin segera bertemu istri dan bermain dengan anaknya. Dalam perjalanan pulang ke rumah, Kahar tidak pernah lupa membeli buah atau kue untuk istrinya.
-------
Sebulan setelah pernikahan, Titik kembali menjadi Titik yang dulu. Ia tidak lagi murung dan kusam. Ia mulai kembali merawat diri dan mulai keluar rumah untuk bertemu teman-temannya. Kahar sangat senang melihat perubahan pada istrinya, ia bangga telah membuat Titik Soemirah menjadi perempuan yang kembali seperti dulu. Kahar tidak pernah lupa untuk memenuhi kebutuhan Titik, ia juga tidak pernah melarang Titik untuk bertemu teman-temannya dan menitipkan bayinya ke tetangga selama ia pergi. Bahkan kadang Kahar lah yang mengambil bayinya ketika Titik pulang lebih malam.
-------
Selama dua bulan berumah tangga, Kahar yang masih menyiapkan kebutuhan rumah tangga, ia berbelanja, memasak, mencuci baju, dan membereskan rumah. Ia melakukan itu semua dengan perasaan senang, ia merasa menjadi suami siaga yang bisa memanjakan istri dan bayinya. Namun pada suatu pagi, ketika Kahar bangun dan akan melakukan kegiatan seperti biasa, istrinya sudah bangun lebih dulu dan menyiapkan sarapan. Titik menyiapkan baju kerja Kahar dan untuk pertama kalinya ia mencium tangan suaminya ketika Kahar akan berangkat kerja, bahkan ia memeluk Kahar cukup erat.
Selama perjalanan ke kantor, hati Kahar berbunga-bunga. Setelah dua bulan menjalani rumah tangga tanpa menyentuh istrinya, akhirnya hari ini ia mendapat pelukan dari istrinya untuk pertama kali. Karena begitu bahagianya, Kahar berencana membeli bunga untuk istrinya sepulang kerja.
-------
Dengan membawa bunga di tangannya, Kahar memasuki rumah diam-diam. Namun yang ditemukan hanya seluruh ruangan yang kosong. Kahar mendatangi tetangga yang biasa dititipkan bayinya. Disana ternyata Electa berada. Diambilnya bayi itu dan dibawa pulang.
“Har, istrimu mau pergi lama ya?” Kata tetangganya sebelum Kahar kembali ke rumahnya.
“Pergi lama? Tidak tante, mungkin dia hanya pergi bertemu teman-temannya seperti biasa.” Kahar kebingungan.
“Tapi dia bawa banyak barang.”
“Oh mungkin dia menginap tante. Saya permisi dulu, terima kasih.” Kahar segera kembali ke rumahnya.
-------
Kosong. Telah kosong bagian lemari yang menjadi bagian baju-baju Titik. Kahar mencari sesuatu ke seluruh bagian rumah, barangkali Titik meninggalkan pesan. Tapi nihil.
-------
Lima tahun setelah kepergian Titik dan tidak adanya jawaban dari segala usaha Kahar dalam mencarinya, Electa telah tumbuh menjadi anak kecil yang cerdas. Kahar sendiri yang membimbing anak itu untuk bisa membaca dan menulis, juga ia yang mengajari Electa berjalan hingga bisa berlari.
-------
Sepuluh tahun kemudian, Electa telah berusia 15 tahun. Hari ini merupakan hari pertamanya masuk Sekolah Menengah Atas. Electa berhasil masuk ke sekolah unggulan di kota dan mendapat beasiswa hingga lulus. Saat Electa akan memasuki bangku SMA, ayahnya mengajak Electa berpindah rumah ke kota, agar Electa lebih dekat untuk mendapat pendidikan yang bagus di sekolah terbaik.
“Kenapa nak? Capek?” Tanya Kahar yang sedang memasak makan malam saat melihat ekspresi murung anaknya yang baru pulang sekolah.
“Ayah, aku hari ini masuk SMA. Berarti aku sudah jadi anak SMA dan sudah dianggap cukup umur kan?”
“Mmm, ya bisa dibilang begitu. Ada apa? Kamu mau minta izin berpacaran? Hahaha.” Kahar melirik anak perempuannya.
“Aku sudah siap mendengarkan cerita tentang ibu.”
Kahar terdiam.
-------
“Perempuan itu bernama Titik Soemirah.” Kahar memilih kalimat itu untuk membuka cerita yang akan diceritakan kepada anaknya. Kemudian diceritakanlah panjang lebar kepada Electa mengenai Titik, sejak pertama kali Kahar melihatnya hingga pelukan pertama dan terakhir yang ia rasakan dari Titik.
“Ayah kenapa menyayangi aku dan mau merawatku meskipun aku bukan anak kandung ayah?”
“Electa, di hari ayah melamar ibumu, ayah mengatakan bahwa bayinya, yaitu kamu, juga akan menjadi anakku. Ayah berjanji untuk mencukupi segala kebutuhan anak itu, merawat, dan menjaga. Ayah berusaha untuk selalu bertanggung jawab atas kehidupan kamu. Kenapa? Kasih sayang ayah kurang ya?”
“Bukan yah, bukan. Selama aku hidup, bahkan sebelum aku tahu bahwa ayah bukan ayah kandungku, aku selalu merasakan bahwa ayah memang ayah kandungku. Aku sangat merasakan kasih sayang ayah, justru sekarang aku merasa bersalah karena merepotkan ayah karena ayah harus merawat anak yang sebenarnya bukan siapa-siapa.”
“Nak, setelah ayah nikahi ibumu, berarti sudah sah lah kamu jadi anak ayah.” Kahar memeluk anaknya.
“Ayah tidak ingin menikah lagi?” Electa memilih kalimatnya dengan hati-hati.
“Cinta ayah sudah berhenti di ibumu nak, dia akan menjadi titik dalam kehidupan cinta ayah sehingga tidak ada lagi kisah cinta yang lain. Kamu tahu arti namamu? Ayah memberi nama kamu Electa yang artinya tiada henti dengan harapan kamu akan menyayangi ayah selamanya dan tidak pernah ada tanda titik dalam rasa sayangmu.”
“Yah, aku boleh bertanya lagi?”
“Silahkan, nak.”
“Ayah pernah bertemu ibu? Apakah ibu menemukan suaminya?”
“Ya, ayah pernah bertemu ibu. Ibumu juga sudah bertemu dengan ayah kandungmu.”
“Apakah ibu pernah bertanya kabarku, yah? Apakah dia dan suaminya tidak berencana untuk menemuiku? Mereka dimana yah?”
“Jika mereka datang dan mengajakmu untuk tinggal bersama mereka, Electa mau?”
“Tentu saja tidak! Aku hanya penasaran yah, seperti apa wujud orang tua yang memberiku kesempatan hidup di dunia tapi tidak memberiku kesempatan untuk merasakan kasih sayang mereka. Aku tidak mau dan tidak pernah mau jauh dari ayah. Titik!”
“Hahahaha, kenapa marah-marah, nak” Kahar tersenyum melihat putrinya yang nada bicaranya membara.
“Aku tidak marah, ayah. Lagipula pertanyaan ayah aneh. Mana ada anak yang mau meninggalkan ayah sebaik ini.” Electa memeluk erat ayahnya. “Jadi apa jawabannya, yah?”
“Jawabannya mungkin akan sedikit menyakiti hati kamu. Apakah tidak apa-apa, nak?”
“Yah, ketika tahu bahwa orang tua kandungku meninggalkanku waktu aku bayi, itu sudah sangat menyakitkan tapi aku tahu aku akan baik-baik saja selama ada ayah.”
“Oke baik. Jadi nak, ketika kamu berusia dibawah 6 tahun, ayah sebenarnya selalu membawa kamu untuk menemui ibu dan ayahmu setiap satu atau dua tahun sekali. Saat kamu mulai berumur 7 tahun dan ingatanmu mulai tajam, ayah menemui mereka sendirian, ayah tidak lagi membawa kamu karena takut kamu mulai bertanya-tanya tentang mereka. Ayah selalu meminta mereka untuk mau menemui kamu, hanya sekadar menemui, ayah tidak meminta hal lain. Ayah tidak bermaksud untuk menyerahkan kamu kepada mereka karena Ayah sudah menegaskan bahwa kamu akan selalu di sisi ayah.” Kahar terdiam. “Tapi mereka selalu menolak nak, mereka mengatakan bahwa kini mereka telah memiliki kehidupan lain dan mereka pikir bahwa kamu akan lebih baik jika diasuh oleh ayah dan tidak perlu mengetahui tentang mereka.”
“Yah, berikan aku alamat mereka. Aku akan datang menemui mereka.” Raut wajah Electa memerah.
“Untuk apa, nak?”
“Aku akan menemui mereka, berdiri di depan mereka untuk menunjukan bahwa anak yang mereka tinggalkan tumbuh dengan baik dan pintar di bawah asuhan ayah. Aku juga ingin berterima kasih kepada mereka karena telah meninggalkan aku dibawah asuhan ayah.”
“Hahaha, tidak perlu nak, kamu tidak memerlukan validasi atas menyenangkannya hidupmu. Apalagi kepada orang-orang yang sudah memiliki kehidupan lain. Maafkan mereka dan lanjutkan hidup kamu bersama ayah. Jika kamu mau melihat ibumu, tidak perlu menemui dia langsung. Wajah dia ada di baliho-baliho besar di kota ini, mereka juga sering masuk tv. Suami ibumu baru saja memenangkan pemilihan kepala daerah. Ibumu sekarang jadi istri bupati.”
“Dan bupati itu ayah kandungku?”
“Bukan, nak.”
“Hah? Lalu?” Electa membelalakkan mata.
“Ayah kandungmu adalah ajudan bupati.”
“Aku bingung yah. Bagaimana mungkin ibu sudah bertemu ayah tapi malah menikah dengan laki-laki lain?”
“Nanti kamu akan mengerti dengan sendirinya. Ada laki-laki yang hanya mampu menafkahi batin dan ada laki-laki yang hanya bisa menafkahi lahiriah. Ibumu mendapatkan itu dari dua laki-laki yang berbeda.”
Electa terdiam begitu lama. Kahar menepuk-nepuk pundak Electa.
“Jika setiap anak bisa memilih orang tuanya, aku tidak mau memilih mereka.”
“Nak, kamu memang tidak bisa memilih siapa yang akan jadi orang tuamu tapi kamu bisa memilih untuk jadi orang tua seperti apa untuk anak-anakmu nanti.”