“Jika nanti ku rasa sudah semakin dekatnya aku dengan gelap karena semakin susahnya engkau ku tatap. Maka surat dengan tanda titik di akhir kalimat akan sampai ditanganmu. Di saat itu pulalah engkau ku lepaskan. Juga lepaskanlah aku.” – Soeratman
“Jika pesona dan karismamu beracun, maka sudah matilah aku teracuni.” ucap Soeratman kepada kekasihnya, Soendari, di suatu malam di bulan Juni tahun 1966.
“Berhentilah meracau. Aku ingin pergi bersamamu. Apapun risikonya.” balas Soendari.
Jam menunjukan pukul satu pagi. Sepasang kekasih itu sudah berbincang selama satu jam tanpa saling bertatap muka. Di bawah sinar bulan yang tidak terlalu terang karena tertutupi rasa rindu yang mendendam, Soeratman dan Soendari berbincang dari balik pintu pekarangan belakang rumah Soendari.
“Aku ini calon buronan politik, Soendari. Aku harus pergi tidak tentu arah seperti kecoak yang selalu ingin engkau tangkap tiap ia menganggumu di kamar mandi.”
“Lalu aku harus bagaimana? Sudah 3 bulan kita berbincang dalam gelap. Meskipun saat ini mencium bibirmu adalah hal yang mustahil tapi paling tidak biarkan aku bisa menatap matamu. Aku ingin disisimu, Soeratman. Izinkanlah aku menemanimu pergi kemanapun.” Soendari sedikit meninggikan nada suaranya, setelah kalimatnya selesai ia menghela nafas dalam-dalam.
Soeratman terdiam, bukan karena ingin tapi karena ia tidak memiliki jawaban atas pertanyaan Soendari. Ia kemudian tenggelam dalam ingatan mengapa ia memutuskan untuk masuk ke dalam kelompok antitesis pemerintah baru, bukan karena kerasnya ideologi yang ia pegang tapi karena dendam atas bapaknya yang tiba-tiba dihilangkan karena diterpa desas-desus menjadi anggota kelompok musuh negara yang kemudian dikembalikan ke rumah hanya dalam wujud jasad.
Saat ini Soeratman menjadi buruan pemerintah sehingga ia harus berpindah dari desa ke desa, kota ke kota, bahkan pulau ke pulau. Bagi Soeratman, meninggalkan kekasihnya, Soendari, sungguh menyakitkan namun baginya lebih menyakitkan jika mengingat kejamnya perbuatan pemerintahan baru ini. Soeratman berjanji untuk melawan pemerintahan kotor tersebut dan meminta pertanggung jawaban atas matinya bapak, Soeratman rela jika sampai harus membuatnya bertemu dengan bapaknya di hadapan Tuhan. Untuk saat ini, Soeratman hanya bisa kembali ke desanya dan berbincang dengan Soendari hanya pada malam hari di hari dan jam yang telah ditentukan. Jika dalam waktu satu jam Soeratman tidak datang berarti malam itu ia absen berkunjung.
“Aku mau bertanya.” nada Soeratman berubah menjadi serius.
“Apa? Kau mau bertanya lagi apakah aku tahu arti namaku kemudian kau akan mengeluarkan jurus rayuanmu?”
“Hahaha. Tidak Soendari, tidak. Aku sudah kehabisan ide untuk mengeluarkan rayuan yang mengandung arti namamu. Yang mau aku tanyakan kepadamu adalah, seberapa lama kau akan menungguku?” ujar Soeratman sembari tertawa.
“Aku akan menunggumu hingga uzur umurku, hinga menua aku, bahkan hingga kau akan melupakan wajahku yang lama kelamaan tak akan indah dipandang lagi” balas Soendari dengan yakin.
“Soendari, apakah kau tahu jika dalam Bahasa Sanskerta nama Soendari berarti sesuatu yang berbau kemudaan? Aku yakin, seberapa tua umurmu nanti, kau akan tetap terlihat muda dan cantik seperti hari ini. Aku akan selalu senang untuk memandangnya.”
“Betul kan yang aku bilang, kau akan mengeluarkan rayuanmu lagi.”
“Hahahaha. Soendari, sudah ya. Sudah waktunya aku harus pergi.”
“Kali ini kemana?”
“Sedikit jauh. Mungkin ke barat seperti Payakumbuh atau Pariaman atau mungkin ke timur seperti Taliabu.”
“Kenapa sejauh itu?” berkaca-kacalah mata Soendari, pikirannya mulai melayang jauh membayangkan kepergian jauh Soeratman kali ini membuatnya tidak kembali lagi.
“Soendari, dengarkan aku, mata-mata pemerintah sudah mulai mencium bauku di desa ini. Kau tahu kan kelakuan mereka jika menemukan musuh? Langsunglah dibabat habis. Posisiku semakin sulit dan aku mungkin belum bisa kembali kesini dalam waktu 3 bulan. Soendari, aku bisa saja mati bulan depan, tiga hari lagi, bahkan bisa saja besok pagi.” Soeratman menghela nafas dalam-dalam. “Soendari, aku akan tetap mengirimimu surat. Akan ku usahakan memberimu kabar. Tapi Soendari, nyawaku tidak pernah terjamin. Seperti kataku tadi, aku bisa mati kapan saja. Dan kau, tak perlu menungguku kembali hingga uzur umurmu karena sayang jika cantikmu tak lagi termiliki. Soendari, akan ku kirimimu surat yang didalamnya bukan hanya kabar baik tapi bisa saja kabar buruk atau tanda-tanda akan terjadi hal buruk.” Soeratman kemudian terdiam, dadanya naik turun, bibirnya kelu, dan dirasa tidak sampai hatinya untuk melanjutkan perkataan.
“Jika nanti ku rasa sudah semakin dekatnya aku dengan gelap karena semakin susahnya engkau ku tatap. Maka surat dengan tanda titik di akhir kalimat akan sampai ditanganmu. Di saat itu pulalah engkau ku lepaskan. Juga lepaskanlah aku.” yang Soeratman ucap barusan membuat mengalir air mata di pipinya.
Soendari terdiam. Soeratman memang tidak pernah menjanjikan apapun, dia tidak pernah memintanya untuk setia kepada lelaki miskin yang bahkan saat ini menjadi buronan. Sudah banyak yang mengatakan bahwa ia terlalu cantik untuk Soeratman yang terlalu tidak jelas hidupnya. Tapi menurut Soendari, hanya Soeratman yang mampu membuatnya mencintai untuk pertama kali. Bukan tanpa alasan, perilaku lembut dan mata coklat Soeratmanlah yang membuatnya jatuh dalam jurang penuh risiko. Soendari telah menawarkan dirinya untuk mengikuti Soeratman kemanapun ia pergi namun Soeratman selalu menolak dan mengatakan bahwa lelaki yang baik tidak akan membiarkan perempuannya terlunta demi cinta. Soeratman juga mengatakan bolehlah untuk mencintai pasangan sebesar mungkin tapi tidaklah elok jika sampai membuat diri sendiri tidak nyaman. Soeratman selalu mengatakan cinta dengan akal pikiran yang rasional, berbeda dengan lelaki lain yang selalu mengatakan cinta dengan obralan perasaan.
Soendari tersadar dari lamunan panjang yang tanpa sengaja mengalirkan air mata deras di pipinya. Dipanggilnya Soeratman, namun jawaban hanya diberikan alam melalui angin malam yang dinginnya menusuk ke tulang.
November, 1966
Soendari Sayang,
Apa kabar? Jawablah pertanyaanku di pagi hari, saat kau baru terbangun dari tidur dan membuka jendela kamarmu. Titipkan jawaban itu pada burung yang hinggap di ranting pohon depan kamarmu. Semoga ia terbang kepadaku dan menyampaikan kabar baikmu.
Mengenai kabarku, aku baik-baik saja. Saat ini berada jauh di Timur. Maaf tak bisa ku sebutkan secara rinci. Terlalu berbahaya. Mungkin surat ini sampai ditanganmu satu hingga dua bulan setelah ku kirimkan dan mungkin aku sudah berpindah tempat lagi.
Soendari, saat ini aku berada di tempat yang sangat indah. Birunya laut mengingatkanku akan dirimu, kau persis sepertinya, sangat menenangkan jika berlama-lama aku menatapnya. Pasir yang kuinjak di sore hari terasa hangat meskipun belum mampu menggantikan hangatnya pelukmu.
Soendari, saat ini ku rasa masih aman. Jadi, belum akan ku berikan titik di akhir kalimat di suratku ini. Tapi prinsipku masih sama, jika kau mulai jengah dan muak akan sepi atau kau mulai menemukan laki-laki lain sebaik diriku (yang mungkin amat mustahil), maka pergilah
-Cintamu, Soeratman
Dilipatnya surat itu dengan rapi setelah Soendari membacanya. Ia amat lega, lima bulan setelah pertemuan terakhirnya dengan Soeratman, ia sama sekali belum mendapatkan kabar kekasihnya. Surat yang amat singkat itu paling tidak membuat dirinya sedikit tenang meskipun belum mampu mengurangi rasa rindunya. Surat itu juga mengaduk-aduk perasaan Soendari. Ia senang karena Soeratman baik-baik saja tapi ia juga sedikit kesal karena Soeratman masih saja menyuruhnya pergi.
Selama kepergian Soeratman, Soendari menjalani hari-harinya seperti biasa. Mengajar anak-anak di Sekolah Dasar di desanya dari pagi hingga sore, kemudian mengajar ngaji dari sore hingga malam. Di malam hari sebelum tidur, Soendari menulis surat untuk Soeratman, surat itu berisikan kegiatannya sehari-hari, tentang murid-muridnya yang lucu namun kadang menjengkelkan, tentang pemuda-pemuda yang silih berganti ingin melamarnya, dan tentang perasaan rindu yang kerap membasahkan bantal tidurnya karena ketidak mampuannya untuk menahan air mata. Surat-surat itu tersusun rapi di meja kamarnya, tidak pernah terkirim. Ia tak tahu harus mengirim kemana.
Surat-surat Soeratman datang tiap dua hingga tiga bulan sekali. Saat surat datang, Soendari akan segera membukanya dan matanya langsung ditujukan ke akhir kalimat, rasa lega akan menjalar jika tidak ada titik di akhir kalimat. Setelah itu barulah Soendari membaca surat Soeratman dari awal. Isi-isi suratnya masih seputar perjuangan Soeratman, seputar tempat yang menjadi persembunyiannya, seputar cerita keluar masuknya ia di hutan, seputar pelarian ia dan kawanannya dari perburuan mata-mata negara. Di beberapa surat, Soeratman menuliskan tentang betapa sakitnya harus menahan luka di kakinya selama berhari-hari di hutan. Soeratman juga menuliskan beberapa kawan di kelompoknya mulai berguguran. Soeratman selalu menuliskan keadaannya secara jujur. Tidak pernah tertinggal ucapan rindu dan rayuannya untuk Soendari, meskipun dianggapnya rayuan itu murahan tapi selalu berhasil menggaris senyum di bibir Soendari dan membuat hatinya semakin mencinta meskipun telah berbulan-bulan tidak saling menatap mata. Bagi Soendari, rasanya pada Soeratman akan selalu sama.
Memasuki bulan Juni di tahun 1967, tepat setahun sejak pertemuan terakhir mereka dan sudah 3 bulan belum datang lagi surat dari Soeratman. Soendari mulai menerka-nerka tentang keadaan kekasihnya, di beberapa waktu ia beroptimis bahwa Soeratman akan baik-baik saja namun di beberapa waktu muncul rasa pesimisnya dan membayangkan bahwa Soeratman telah tiada. Mengingat kian beringasnya kelakuan pemerintah saat ini terhadap orang-orang yang tidak seideologi dengan negara. Ketika pikiran buruknya datang, Soendari segera ngambil pena dan ditulisnya surat tak terikirim untuk Soeratman.
Soeratman Sayang,
Kau selalu mengibaratkan aku dengan segala sesuatu yang berbau keindahan namun kali ini izinkanlah aku mengibaratkan diriku seperti pantai yang mulai mengalami abrasi, mulai terasa terkikisnya aku oleh tenaga gelombang dan arus lautmu. Bukan karena lelahnya aku untuk menunggu tapi mulai melemahnya aku ketika harus menebak-nebak kabarmu yang kadang datang namun sering kali tidak.
Sudah setahun kau pergi dan tak pernah sekalipun aku menggerutui absennya pertemuan kita karena aku tidak mau menjadi wanita yang menghalangi perjuanganmu. Tapi tahukah kau bahwa aku hampir menjadi gila karena kelelahan menebak-nebak kabarmu? Tapi tenanglah, aku akan sabar menanti pulangmu (yang kau sendiri pun belum dapat mentukan kapan waktunya) dan selalu ku usahakan untuk junjung petuahmu.
Soeratman, ketika aku merindukanmu, secara sengaja aku kerap mengingat-ingat pertemuan pertama kita dua tahun lalu. Hal itu amatlah membekas diingatanku. Kau datang dan mulai merayuku, aku yang sebelumnya tidak pernah tertarik dengan lelaki manapun, mulai menerima kehadiranmu. Soeratman, kau penyihir ya? Karena hanya penyihirlah yang mampu menumbuhkan rasa cinta di hatiku secepat itu.
Soeratman, aku merindukanmu. Tak akan ku minta kau untuk pulang secepat mungkin, namun ku paksa kau harus baik-baik saja dimanapun kau berada.
Yang selalu menunggumu pulang,
Soendari.
Setelah dirasa cukup untuk menenangkan hatinya yang merindu, Soendari melipat surat itu dan menumpuknya diatas puluhan suratnya lain yang tidak terkirim. Dua hari kemudian, seakan-akan terdengarnya suara hati Seondari, datanglah surat dari Soeratman.
Juni, 1967
Soendari,
Aku sudah kembali ke jawa, tidak jauh dari kota kita, aku segera kembali.
Soeratman.
Surat yang terlalu singkat itu bisa membuat Soendari berulang kali membacanya dalam waktu satu menit. Soendari bingung, dibaca surat itu berkali-kali, dipandanginya tanda baca diakhir kalimat. Soendari yakin bahwa tanda titik diakhir kalimat bukan noda tinta tapi memang sengaja Soeratman sematkan. Soendari bertanya-tanya kenapa harus ada tanda titik padahal Soeratman akan kembali.
Dua hari kemudian, terdengar kabar bahwa Soeratman benar-benar kembali. Soendari senang bukan main, ia segera berpakaian rapi dan memoles wajah secantik mungkin, memakai pakaian berwarna biru, warna kesukaan Soeratman. Soendari segera mengayuh sepeda menuju rumah Soeratman, ramai, Soendari senang karena semua orang menyambut kembalinya Soeratman.
Soendari memasuki rumah Soeratman, di ruang tamu bertemulah ia dengan kekasihnya. Terlihat wajah bahagia Soeratman, wajahnya putih bersih, tidak seperti di suratnya yang mengatakan kulitnya semakin gelap karena terbakar matahari. Soendari menatap dalam-dalam wajah Soeratman, hatinya seketika kecewa ketika Soeratman tidak membalas tatapannya. Soendari marah, mukanya memerah, matanya berderai air. Soendari berteriak, memanggil nama Soeratman. Teriakan itu amat keras hingga semua orang terdiam. Soeratman yang berada di hadapannya kini adalah Soeratman yang tidak lagi bernyawa, kekasihnya datang dalam bentuk jasad, yang entah sudah sejauh mana ruhnya pergi.
Juni, 1967
Soendari sayang,
Semakin dekat posisiku saat ini untuk kembali pulang dan akan segera bertemulah kita. Tak sabar ku lihat engkau dibawah sinar matahari, bukan lagi dibawah sinar bulan yang membuatku tak bisa dengan jelas melihat cantikmu. Soendari, tidak akan lagi aku jauh darimu. Kali ini aku akan dekat, sangat dekat, menyatu dalam nadi, dan sahut menyahut dengan detak di jantungmu.
Soendari, ternyata aku salah. Engkau ku lepas bukan karena sudah dekatnya aku dengan gelap dan engkau semakin sulinya aku tatap. Engkau ku lepas justru karena semakin dekatnya aku untuk menyatu denganmu. Matiku ternyata bukan untuk meninggalkanmu, justru untuk menyatukan engkau dan aku. Aku rela mati berkali-kali karena ku tahu bahwa aku akan berkali-kali hidup dalam dirimu.
Soendari, aku mencintaimu. Jika kau juga punya perasaan yang sama, kembalilah mencintaiku dengan melanjutkan hidupmu sebaik dan sebijak mungkin. Sekali lagi ingat, tidak terlihatnya lagi aku di matamu bukan berarti aku telah tiada.
Jika satu milenial nanti aku dan kau terlahir kembali, kau akan ku cari, bahkan hingga aku kembali mati.
Yang tak pernah berhenti mencintaimu, Soeratman
Surat terakhir dari Soeratman diterima Soendari dari teman yang membawa jasad Soeratman pulang. Kepada Soendari, teman Soeratman mengatakan bahwa surat tersebut ditulis ketika Soeratman sampai di Jawa dan menjelang detik-detik di eksekusi mati. Ia juga mengatakan bahwa tidak ada satu haripun yang Soeratman lewatkan untuk tidak membicarakan Soendari. Soeratman selalu menatap foto Soendari saat bangun, saat akan tidur, bahkan disaat-saat sulit. Soeratman mengatakan kepada teman-temannya bahwa jika situasi telah aman dan ia bisa pulang, ia akan segera menikahi Soendari. Soeratman juga berpesan, bahwa matipun nanti, ia harus kembali kepada Soendari.