“Ayah, aku… suka dia”
Sudah genap satu pekan sejak anak gadisku mencurahkan isi hatinya, dan kata-kata itu masih menggema di pikiranku. Mungkin ini kali pertamanya ia merasakan jatuh cinta.
Apa yang seharusnya aku lakukan? Ini benar-benar membuatku bingung. Bukankah ini seharusnya menjadi tugas seorang ibu? Karena sesama perempuan tentunya akan saling mengerti, tapi sayang, istriku sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Saat anakku berumur tujuh tahun karena kecelakaan tunggal yang dialaminya.
“Ayah…. Tau nggak?”
Gadis, anakku sepertinya ia pulang cepat hari ini. Aku segera merapikan meja makan yang sudah tersedia masakanku di atasnya.
Gadis menghampiriku dengan memelukku erat sekali dari belakang.
“Hey, salamnya mana?”
“Oh iya lupa hehe.. assalamu’alaikum ayahku sayang”
Aku berbalik menghadapnya, lalu mengacak rambutnya yang sedikit berantakan.
“Wa’alaikum salam gadis ciliknya ayah yang paling cantik.. makan dulu ini udah ayah siapin makanan enak buatan ayah”
“Wuahh wangi sekalii ayah!! Sepertinya makanannya mewah yah, tumben. Ada acara apa ini?”
“Tadi ayah ada orderan catering dadakan pesanan ibu RT katanya buat acara arisan dadakan di rumahnya, jadi sekalian aja ayah lebihin beli bahannya buat kita makan”
“Wah, alhamdulillah. Eh tunggu aku kan mau cerita sama ayah”
“Setelah makan ya sayang, ayah udah laper soalnya hehe”
Gadis mengangguk, lalu duduk berseberangan denganku. Sejujurnya, aku belum siap mendengarnya bercerita. Maksudku, akan lebih susah saat ia bertanya apa pendapatku tentang itu, aku yakin apa yang ia ceritakan pasti terkait laki-laki yang sedang ia sukai. Aku tidak tau apa yang biasanya perempuan lakukan saat ia pertama kali jatuh cinta. Tanpa disadari, ini menjadi beban baru untukku. Menghadapi cinta pertama anak gadisku.
***
“Ayah lagi apa?”
Kulihat Gadis memakai baju tidur berwarna pink kesukaannya berjalan ke arahku. Aku yang sedang memembuat adonan kue brownies untuk pesanan besok, segera menghentikan aktifitasku dan beralih fokus terhadapnya.
“Ada apa sayang? Kok belum tidur?"
“Ayah masih kerja? Memangnya buat kapan yah?”
“Besok pagi harus sudah beres, jadi ayah harus selesaikan adonannya sekarang biar besok tinggal hias-hias dikit”
Ucapku sembari meneruskan pekerjaan. Gadis ikut duduk di hadapanku.
“Ada apa sayang”
“Hm.. ayah dulu, waktu ayah sudah punya nomor telepon ibu, apa ayah langsung hubungi ibu?”
“Zaman ayah dulu, belum ada telepon sayang. Kenapa sih?”
Gadis menunduk lesu, tatapannya benar-benar kosong tak bergairah. Melihatnya seperti ini, rasanya hatiku sangat sakit sekali. Sepertinya pertanyaannya kali ini masih berkaitan dengan laki-laki yang disukainya.
“Kenapa? Kamu ada masalah di sekolah?”
“Sebenarnya, aku lagi bingung yah”
“Bingung kenapa, coba cerita sama ayah”
“Jadi, Farhan udah tau nomor handphone ku, tapi dia sama sekali belum menghubungiku yah.. apa aku yang harus menghubunginya lebih dulu?”
Degg.. ini yang ku takutkan. Jawaban apa yang harus kukasih padanya? kurasa laki-laki itu tidak menyukai Gadis. Haruskah aku jujur? Tapi aku takut hatinya semakin sakit.
“Farhan?”
“Laki-laki yang aku suka di sekolah, yang sebelumnya aku ceritain ke ayah”
“O..oh i..iya itu”
“Kok oh aja sih? Jadi aku harus hubungi dia atau nunggu aja?”
“Eh, ehm.. ayah hanya sedikit sedih saja, karena sekarang ada laki-laki lain yang memenuhi pikiranmu selain ayah hehe”
Lalu Gadis beranjak dan memeluk bahuku dari arah belakang.
“Nggak ada yang bisa gantiin posisi ayah, di hatiku sampai kapanpun”
“Sayang, ayah pernah dengar katanya kodrat perempuan itu menunggu. Yakin, kalau jodoh nggak akan kemana”
Ucapku tersenyum padanya. Gadis mengangguk dan tersenyum lalu membantu apa yang bisa ia bantu dari pekerjaanku yang sudah hampir selesai.
Ya Tuhan, jangan biarkan laki-laki manapun menyakitinya.
***
Sore ini rasanya sangat melelahkan, aku baru saja selesai mengantarkan ratusan paket nasi box ke berbagai sekolah. Pintu rumah masih dalam keadaan terkunci. Artinya, Gadis belum pulang. Hm.. apa dia ada kelas sore hari ini?
“Assalamu’alaikum ayah”
“Wa’alaikum salam, eh panjang umur anak ayah.. baru aja ayah pikirin. Sini sayang, kita makan bareng”
“Nanti ya ayah, Gadis capek banget ini. Izin tidur dulu ya”
Kulihat bibirnya tersenyum, tapi aku bisa melihat kemurungannya yang begitu jelas seolah bersembunyi di balik senyumnya.
“Sayang, ayah boleh masuk?”
Aku mematung di depan pintu kamarnya. Walaupun ia anakku, tapi aku memutuskan untuk saling percaya dan menghargai privasinya.
“Iya ayah, masuk aja”
Aku duduk di atas kasur, menatap matanya yang kini terlihat begitu sembab.
“Ada apa yah?”
“harusnya ayah yang bertanya, kamu kenapa?”
“A.. aku nggak apa-apa kok yah”
“Kamu itu anak ayah, se-indah apapun senyuman itu tapi ayah bisa lihat apa yang kamu sembunyikan di baliknya”
“Ayah…”
Gadis memelukku erat, menangis tersedu sedan. Membuat hatiku terasa sangat sakit sekali. Aku membalas pelukannya sama eratnya. Berusaha menenangkannya.
“Ayah, apa aku jelek?”
“Hey, siapa yang bilang kamu jelek? Kamu itu cantik sayang, sempurna”
“Ayah bilang gitu, karena aku anak ayah kan?”
“Sayang, lihat ayah”
Aku melihatnya seksama, menghapus air matanya yang mengalir kian deras.
“Kamu itu cantik, dimata orang yang tepat. Nggak sembarang orang bisa lihat kecantikanmu. Hanya orang spesial yang bisa lihat itu”
“Tapi Farhan bilang aku jelek dan hanya bikin malu saja kalau dibawa kemana-mana. Apa itu benar ayah?”
Aku diam, mendengarnya berkata seperti itu rasanya aku sangat ingin menghajar laki-laki itu. Dengan susah payah aku menahan air mata agar tidak menangis. Walaupun aku tahu dia tidak akan melihatnya.
“Apa karena aku buta ya yah?”
“Ssstt.. kamu nggak buta, mata hatimu sudah menutupi semua tugas matamu yang sebenarnya. Ia sudah bisa menuntunmu. Buktinya kamu bisa pergi kemanapun tanpa bantuan siapapun kan?”
“Tapi yah, Farhan bilang…”
“Farhan bukan orangnya, dia bukan orang yang spesial”
“Maksud ayah?”
“Ingat perkataan ayah tempo hari? Hanya orang yang tepat yang bisa lihat kecantikanmu”
Gadis mengangguk.
“Itu artinya Farhan bukan orangnya”
“Lalu aku harus apa ayah? Dia cinta pertamaku setelah ayah. Akan sangat sulit untuk melupakannya”
“Itu hanya mindset mu, sayang. Coba kamu ingat-ingat selama ini ada laki-laki yang selalu setia menemanimu dalam diam. Menjagamu kemanapun kamu pergi. Walaupun kamu nggak sadar”
“Miki?”
Aku tersenyum. Aku tahu, dia laki-laki tulus. Laki-laki yang terus saja menjaga Gadis walaupun ia tahu hatinya bukan tertuju padanya.
***
Satu bulan setelah kejadian itu, aku sering melihat Miki yang menjaga Gadis secara terang-terangan. Kulihat senyum Gadis yang jauh lebih bahagia sekarang, setelah miki selalu di sampingnya.
Tapi sepertinya ada yang berbeda dari Gadis hari ini. Ia tampak sedikit bingung.
“Kamu kenapa sayang, apa yang menganggu pikiranmu?”
Saat ini, kami sedang makan malam, di meja makan kesayangan kami.
“Ayah, Farhan tiba-tiba minta aku jadi pacarnya. Aku harus apa?”
Kemarahanku semakin memuncak, kekesalanku semakin menjadi laki-laki macam apa dia? Kenapa anakku bisa mencintai orang sepertinya? Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba sebisa mungkin agar tidak menciptakan nada yang mengandung kemarahan di setiap jawabanku.
“Gadis, anak ayah.. sebagian besar manusia terlambat menyadari sesuatu yang berharga. Mereka cenderung menyadarinya setelah sesuatu ataupun seseorang itu sudah hilang jauh.. begitupun dengan Farhan”
Gadis menunduk wajahnya sangat jelas penuh dengan kebingungan.
“Ayah nggak mau itu terjadi sama kamu, ayah nggak mau hanya karena Farhan adalah cinta pertamamu kamu justru melepaskan yang terbaik”
“Tapi yah..”
“Gini deh, malam ini kamu coba shalat istikhoroh. Minta yang terbaik. Setelah itu, apapun yang terjadi itu adalah jawaban yang Allah kasih untukmu”
***
Kini, aku duduk di meja akad, menjadi wali dari pernikahan anakku dengan Miki. Laki-laki terbaik pilihanNya. Jawaban dari shalat istikhoroh anakku lima tahun lalu.
By, Sylvia Damayanti