“Mas Haidar, udah siap belum? Ayo buruan keburu telat kita. Aku gak mau ketinggalan kajian Ustadz Zainullah lagi,” ucap Fawwaz pada seniornya itu.
“Bismillah, siap. Ayo berangkat,” jawab Haidar.
Mereka bergegas menuju masjid Ar-Fachruddin di Universitas Muhammadiyah, Malang. Malang adalah kota yang memiliki magnet tersendiri bagi para penggila pendidikan di Indonesia. Setiap tahun ajaran baru dimulai, Malang selalu ramai dengan perantau yang ingin menimba ilmu, Haidar dan Fawwaz salah satunya. Haidar merupakan mahasiswa Fisika semester enam, dia berasal dari Barabai, Kalimantan Selatan. Sedangkan Fawwaz mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab semester dua. Ia asli dari Pamekasan, Madura. Keduanya menimba ilmu di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Setelah kajian di Masjid Ar-Fachruddin selesai, Haidar menemui ustadz Zainullah yang saat itu sedang berbincang dengan ustadz Amin, guru majelis Ta'lim yang diketuai oleh Haidar. Sementara Fawwaz memilih untuk tetap duduk. Sayang, tak sampai 10 menit, ustadz Zainullah pamit, karena ada acara di kota Kediri.
“Ananda Haidar, kamu sudah siap untuk menyempurnakan separuh agamamu, Nak?” tanya ustadz Amin. Wajahnya terlihat serius.
Haidar mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan mendadak itu, tapi ia heran karena pertanyaan sepenting ini ditanyakan di situasi yang menurutnya tidak pas. Padahal hampir setiap hari mereka berjumpa di Base Camp UIN Malang. Tidak harus di masjid, setelah selesai kajian pula.
Melihat Haidar yang tampak bingung, ustadz Amin menegurnya lagi, “saya tunggu jawabannya, kenapa harus terdiam seperti ini?”
“Untuk saat ini saya ingin fokus menyelesaikan kuliah dulu ustadz, insyaAllah setelah selesai kuliah, saya akan memikirkan tentang hal itu.” Setelah menguasai diri, Haidar menjawab mantap.
“Serius?”
“Iya, ustadz.”
***
“Assalamualaikum, mas Haidar. Reminder ya, nanti ngasih briefing ke junior yang diterima menjadi asisten laboratorium mata kuliah fisika modern,” kata Zahrah, mengingatkan.
“Iya mbak, insyaAllah.” Jawab Haidar singkat.
Selama menjadi mahasiswa, Haidar selalu mendaftarkan diri untuk menjadi asisten Laboratorium praktikum, selain menambah pengalaman kecakapannya dalam mengoperasikan alat, ia juga mendapat sertifikat yang bisa digunakan untuk melamar pekerjaan. Tekadnya setelah selesai kuliah, ia akan langsung mencari kerja, bukan melanjutkan studi seperti kebanyakan temannya.
Sore itu, setelah Haidar memberikan briefing, ia medapat panggilan telepon dari ustadz Amin. Sejurus kemudian motornya melesat menuju kediaman sang ustadz. Di sana, ia disambut oleh ustadz Amin dan istrinya. Hadir pula ustadzah Khadijah, pembina Majelis Ta’lim Putri di UIN Malang.
Setelah mengucap salam dan mencium tangan ustadz Amin, tuan rumah mempersilahkan tamu kehormatannya itu untuk duduk. Obrolan sore antara empat orang itu masih membahas mengenai kesanggupan Haidar untuk menikah. Obrolan semakin tegang, setelah ustadzah Khadijah mengatakan bahwa ada seorang perempuan yang mengajukan diri lengkap beserta proposalnya untuk dicarikan seorang lelaki sholih. Perempuan itu ingin menikah.
“Maaf, ustadzah Khadijah, saya belum sanggup untuk menikah. Amanah itu terlalu berat untuk saya, saya juga belum menyelesaikan kuliah.” tolak Haidar, sopan.
“Haidar, bagaimana bisa kamu mencintai perempuan tanpa menikahinya? Bagaimana bisa hatimu terlalu lancang menutup rapat untuk perempuan yang belum kamu nikahi? Aku paham betul alasan hakiki kamu menolak untuk menikah,” ucap ustadz Amin dengan tegas, namun tetap lembut. Haidar yang mendengar ucapan ustadz Amin terhenyak dan terdiam. Bagaimana bisa Ustadz Amin tau semua ini?
“Kamu paham betul, Haidar, bagaimana syariat menjawab setiap permasalahan umatnya, termasuk perkara yang sedang kamu alami ini,” nasihat ustadzah Khadijah pada Haidar.
“Mohon maaf, saya izin pulang. InsyaAllah tiga atau empat hari ke depan saya akan ke sini untuk membahas ini, ustadz Amin,” ucap Haidar dengan nada terbata dan intonasi rendah. Merasa terhina sebab nasehat Ustadzah Khadijah, membuat Haidar tak punya nyali untuk berlama-lama di tempat itu.
***
Haidar meminta Fawwaz untuk menemuinya di taman depan rektorat UIN Malang. Dia menceritakan semua permasalahan yang ia diskusikan dengan ustadz Amin.
“Waz, apa pendapat kamu jika aku menikahi Nita, teman kelasmu?” Haidar bertanya tanpa salam.
“Yang benar saja, dari sekian banyak mahasiswa di UIN ini, kenapa kamu memilih Nita, mas?” kaget Fawwaz, tak habis pikir dengan temannya yang alim itu.
“Aku kenal dia sudah lama, Waz. Aku kenal keluarganya, aku paham bagaimana susahnya dia berjuang untuk bisa kuliah di sini, karena itu aku ingin menikahinya, aku ingin menjadi bagian hidupnya, mendengar ceritanya, membantu setiap ujian yang dia lalui, aku ingin membersamainya,” jawab Haidar. Pandangannya masih lurus ke depan.
“Tapi mas, dia baru hijrah, masih banyak perempuan yang lebih baik pemahaman agamanya, yang lebih berhak menjadi ibu dari anak-anak kamu, bukan Nita,” kali ini Fawwaz menjawab dengan cepat.
“Justru itu, aku ingin membersamai hijrahnya.”
“Udah, gak usah aneh-aneh, terima saja proposal yang diajukan ustadz Amin, insyaAllah itu yang terbaik. Perempuan yang diajukan ustadz Amin bukan perempuan sembarangan, apalagi untuk kamu,” jawab Fawwaz mengingatkan. Haidar hanya terdiam dan sesekali meminum air yang dibawa dari kontrakannya.
***
Sesuai janjinya, Haidar kembali menemui ustadz Amin di rumahnya untuk menjawab perihal hasil istikharahnya selama tiga hari ini. Ia memutuskan untuk menerima proposal dari ustadz Amin. Tentu saja, ustadz Amin menyambut jawaban Haidar dengan rasa haru.
“Bismillah, nak. InsyaAllah bersamanya, dakwahmu akan lebih melejit,” ucap Ustadz Amin. Berharap di masa mendatang, Haidar akan lebih gencar berdakwah.
“Aamiin ya mujiib.”
“Ini proposal perempuan itu, silahkan kamu baca, untuk proses selanjutnya. Saya tunggu kabar barokahnya,”
“InsyaAllah ustadz. Ini proposal saya,” Haidar menyerahkan proposal nikah yang selama ini ia simpan rapat-rapat untuk Nita, perempuan yang berhasil mengetuk pintu hatinya.
Sebenarnya, Nita adalah teman sekelas Fawwaz, dan sekampung dengan Haidar. Menurut penilaian Fawwaz, Nita hanyalah perempuan biasa dan tak ada yang istimewa darinya. Baik dari segi pemahaman agama, keilmuan fisika, harta maupun wajahnya. Fawwaz berharap, Haidar bisa mendapat perempuan yang semuanya serba lebih dari Nita. Sedangkan Haidar, selain aktif di dakwah, hafidz, IP (Indeks Prestasi) tidak pernah kurang dari tiga, dan secara ekonomi, Haidar sudah mandiri. Dengan segala nilai plus yang Haidar miliki, wajar jika Fawwaz terbelalak ketika mendengar keinginan Haidar untuk melamar Nita.
***
Malam telah tiba, bumi yang sibuk dengan segala aktivitasnya, kini seolah syahdu bersama datangnya gelap. Matahari sedang mengistirahatkan dirinya, digantikan oleh bulan yang memantulkan cahaya begitu cantiknya. Sepertiga malam memang indah, disaat sebagian manusia tengah tidur menikmati ketenangannya, ada sebagian manusia yang memilih terjaga untuk menunaikan ibadah istimewa, termasuk Haidar yang telah selesai menunaikan sholat witir. Sembari berdoa ia meminta restu kepada Sang Pencipta untuk membaca proposal yang telah diterimanya.
Kini, proposal itu telah digenggamnya, hanya menunggu hitungan detik untuk membuka dan membacanya. Sebentar lagi ia akan tahu, siapa perempuan yang selama ini berhasil lolos seleksi gurunya, perempuan yang selama ini membuat resah hidupnya.
Air mata tumpah tak bisa dicegah. Takbir, tahmid dan tahlil tak henti-hentinya ke luar dari bibirnya.
“Laa hawla wa laa quwwata illa billaahil'aliyyil 'adziim.” bergetar suara Haidar mengucapkan kalimat itu.
Hatinya berdesir, matanya terpejam, jantungnya berdetak semakin kencang. Sontak, tangisnya pecah, memecah kesunyian sepertiga malamnya. Jelas, dalam proposal itu tertulis nama Bahira Qonita Ulya, lengkap dengan alamat yang tak asing dibaca, sekaligus foto perempuan pujaannya. Nita, nama yang selama ini terpatri di hati, pikiran dan doanya. Nama yang sedang ia coba untuk ikhlaskan. Kini, nama itu kembali menguat di dalam ingatannya. Perempuan yang telah menyerahkan proposal nikah pada ustadz Amin adalah perempuan yang sama dengan perempuan yang berhasil membuat ia sempat bersitegang dengan sahabatnya, Fawwaz. Ya, dialah Nita.
“Ternyata, kamu Nita yang telah meluluhkan hati ustadz Amin,” gumamnya dalam hati. “Apakah ini pertanda kami berjodoh, ya Rabb?” tanya Haidar dalam tangis sambil mendekap proposal nikah perempuan impiannya.
Pagi sekali, Haidar telah berada di depan pintu rumah ustadz Amin. Tujuannya jelas, yaitu menetapkan jadwal nadzor (Nadzor atau melihat orang yang hendak dinikahi termasuk bagian dari syari’at Islam yang diperbolehkan. Padahal hukum asal melihat wanita asing adalah haram. Namun syariat membolehkan karena ada hajat untuk menikahinya) bersama Nita, tentunya didampingi ustadz Amin dan mahrom dari Nita. Hari telah ditetapkan dan lokasi telah ditentukan. Haidar didampingi ustadz Amin, dan Nita datang bersama ustadzah Khadijah. Kesimpulannya, baik Haidar maupun Nita sepakat untuk melanjutkan proses ini ke tahap yang lebih serius, yakni khitbah (Khitbah adalah prosesi lamaran di mana pihak keluarga calon mempelai pria bersilaturahmi ke rumah calon mempelai wanita. Dalam pertemuan itu, keluarga calon mempelai pria akan mengutarakan keinginan mereka).
Setelah acara nadzor, Nita segera mengabari keluarganya bahwa ada lelaki yang serius ingin menikahinya. Haidar pun melakukan hal yang sama. Keluarga Haidar terkejut bercampur haru menerima kabar bahwa ia akan menikahi perempuan pujaannya, Nita. Keluarga Haidar memang sudah lama mengenal Nita, selain sekampung mereka juga tetangga. Keluarga Nita hampir semuanya bahagia menerima kabar anak perempuannya akan segera melepas masa lajangnya. Respon positif dari keluarga Nita ini disampaikan kepada ustadzah Khadijah. Sedang Haidar menyampaikannya pada ustadz Amin.
13 Juni 2020. Tepat jam 10.00 WITA (Waktu Indonesia Tengah) adalah tanggal yang ditetapkan Haidar untuk melangsungkan khitbah. Tiket sudah dipesan, Haidar menunda semua agenda pada hari itu. Keluarga Haidar juga sudah menyiapkan segala perangkat yang akan dibawa saat khitbah. Intinya rencana khitbah telah rampung sembilan puluh sembilan persen, sisanya hanya menunggu keberangkatannya ke Barabai.
***
Mentari kembali melaksanakan tugasnya. Memancarkan cahaya kehidupan untuk semua makhluk bumi agar beraktivitas seperti biasanya. Kicauan burung riuh menyambut binarnya sang surya, tak terkecuali Haidar. Ia sibuk mengusap matanya berkali-kali berharap ia salah membaca pesan di ponselnya. Bagai disambar petir di siang bolong, tiba-tiba dunianya gelap. Nita telah membatalkan khitbah yang akan dilaksanakan tiga hari lagi.
Ayah Nita tidak memberikan restunya. Tanpa menunggu lama, Haidar menelpon Nita, ia ingin memastikan apakah ini hanya candaan atau memang keinginan Nita untuk benar-benar membatalkan acara penting mereka. Tentu saja Haidar berharap bahwa semua ini hanya prank saja.
“Maaf mas, sampai detik ini ayah belum memberikan restu. Beliau memintaku untuk menyelesaikan kuliah.” Ucapan Nita berhasil membuat Haidar diam. Lama menunggu, akhirnya Haidar buka suara setelah cukup lama menata hatinya kembali.
“Semua persiapan telah rampung dek,” Haidar menarik napas pelan. Lalu, melanjutkan kalimatnya, “Kalau memang ayahmu tidak setuju, kenapa ketika datang perwakilan keluargaku untuk mengkhitbahmu, ayahmu justru memberikan tanggal? Aku berharap kamu jangan terburu menyelesaikan semua proses ini. Aku yakin ini hanyalah ujian menuju penyempurnaan agama kita.”
Kembali hening. Nita dan Haidar sama-sama menahan napas. Sama-sama menahan tangis dalam diam.
“Beri aku waktu untuk memastikan lagi hal ini. Saat ini aku masih di Malang, besok jadwal penerbanganku ke Barabai, akan aku tuntaskan semuanya, tugasmu hanyalah berdoa dan terus meyakinkan ayahmu. Assalamualaikum.” Haidar menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban Nita.
Sebelum tanggal 13 Juni, 2020, Haidar berangkat seorang diri menuju rumah Nita, hasilnya nihil. Ayah Nita tetap tidak memberikan ijin untuk menikahi Nita. Alasannya jelas, Nita harus sarjana, baru setelah itu boleh menikah. Semua argumen Haidar ditolak. Haidar pulang ke rumahnya dengan hati dan harapannya yang hancur. Semua keluarga besarnya diberi tahu bahwa acara khitbah dibatalkan.
“Nanti malam ayah akan menemui orangtuanya. Ayah akan bicara sebagai tetua adat, bukan sebagai ayahmu,” ucap ayah Haidar, menguatkan.
“Sudahlah ayah, cukup sampai di sini, semua usaha lahir dan batin telah aku lakukan untuk menjemput Nita secara halal. Meskipun namanya selalu kuucapkan di setiap sepertiga malamku, Allah juga tahu, seberapa sering namanya aku langitkan, nyatanya bukan ayahnya yang tak merestui kami, tapi Dialah yang tak memberikan restu itu, Dialah Rabb Semesta Alam, yang napasku ada dalam genggaman-Nya,” jawab Haidar lesu. Ayahnya hanya memejamkan mata sesaat sembari memijat tipis dahinya yang mulai keriput.
Dari kisah menyesakkan yang ia lalui, Haidar belajar bahwa seberapa sempurna manusia menyusun suatu rencana, jika Allah tak memberi ijin, maka, rencana itu tak akan terlaksana. Dari kisahnya pula, Haidar belajar, bahwa jodoh tak akan tertukar, tak akan bersama, meski keinginannya sangat kuat untuk membersamai orang yang ia cintai. Bagaimanapun jalan hidupnya, ia yakin, rencana Allah lebih baik untuknya, dan untuk Nita.
Haidar memutuskan untuk terbang lagi ke Malang melanjutkan hidupnya, menuntaskan kuliahnya, dan menunaikan kewajiban dakwahnya. “Terimakasih Nita sudah hadir dalam hidupku, walau hanya sebatas menjadi calon imammu. Tak apa aku gagal menikahimu, setidaknya, aku telah memperlakukanmu sebenar mungkin, sesuai syariat-Nya. Aku yakin Allah telah menyiapkan perempuan terbaik untukku, dan kamu juga pasti telah Allah siapkan jodoh terbaik. Kamu bukan kekasih idealku, dan bukan denganmu pernikahan impianku akan terlaksana.”
Langit Malang kembali menguratkan senyum setelah sekian waktu gelap di segala sisinya.
By, Isna Laily Juanita