“Keluar lo!” Seruku pada siapapun yang baru saja menerobos masuk kedalam ruangan khusus milikku tanpa melihat siapa yang datang.
Siapapun itu aku tidak peduli, yang jelas aku sangat benci untuk diganggu. Semuanya ide yang sudah tersusun rapi dan siap untuk dituangkan akan segera buyar dan berantakan kalau saja aku menghiraukannya.
Tanganku masih sibuk menekan keyboard laptop kata demi kata, berusaha untuk menyusunnya menjadi beberapa kalimat dan mengumpulkan semuanya dalam satu buku yang akan cetak bulan depan.
“Berani kamu usir ibu?!” Seketika fokusku buyar, mataku menatap ibu yang masih saja berdiri di ambang pintu dengan nampan dan beberapa makanan kesukaannku di atasnya.
Kulihat mata ibu yang menatapku nyalang. Reflex, aku berdiri dan melangkah menghampiri ibu lalu mengambil alih nampan yang sedari tadi berada di tangannya.
“Maaf bu, aku kira si joni.” Ucapku menyesal tanpa berani menatap ibu. Aku berbalik berniat menyimpan nampan di atas meja kerjaku.
Sementara ibu, dia masuk dan memunguti beberapa barangku yang berserakan di lantai. Lagi-lagi aku mengambil alih semuanya dari tangan ibu dan melanjutkan untuk memunguti sisanya.
“Sinar, kamu tuh anak gadis lho. Masa anak gadis nggak bisa beres-beres.” Mendengar omelan ibu, aku menghela nafas kasar. Lagi-lagi yang ibu bicarakan adalah topik yang sama.
“Iya, nanti aku bereskan bu.” Ucapku dengan nada rendah berusaha untuk menahan amarah yang sedari tadi bergejolak.
Kulihat ibu yang menggelengkan kepala dan menatapku dengan tatapan seakan menyerah pada sipatku. Sepertinya ibu tidak berniat untuk beranjak dari tempatku, dan sekarang malah menatapku yang sudah mulai kembali bekerja.
Aku memang sudah berusaha untuk tetap fokus tanpa menghiraukan ibu yang duduk tepat di hadapanku, tapi sepertinya ini sulit, otakku tidak bisa berkonsentrasi. Pikiranku terus saja melayang pada ibu.
“Bu maaf tapi boleh ibu biarin aku kerja?” Sekeras mungkin aku berusaha untuk tidak mengeluarkan kalimat yang bisa saja menyinggungnya.
“Sinar ….”
“Iya bu, kenapa?” Tanyaku dengan masih fokus menatap layar monitorku. Tanpa disadari, tiba-tiba saja ibu menggenggam kedua tanganku yang otomatis menghentikan aktifitasku.
“Sayang, kamu ini kan anak gadis, nggak baik lho punya sifat kasar. Anak gadis itu baiknya punya sifat yang lembut dan ….”
“…, dan lemah yang nggak pernah berontak terus penurut biar laki-laki bajingan kayak bapak bisa injak-injak kita lagi, apa anak gadis seperti itu yang ibu harapkan dari Sinar?”
Seketika amarah yang sedari tadi kutahan, meledak di hadapan ibu. Aku tahu tidak sebaiknya aku marah padanya mengingat ibu juga adalah korban sama sepertiku.
“SINAR!” Tangan ibu melayang dan mendarat di pipiku begitu kasar, begitu keras hingga menimbulkan bunyi ‘Plakk’.
Sesaat, kami berdua mematung. Tanganku mulai mengemas semua barang-barangku yang berserakan diatas meja. Aku juga tidak lupa memasukkan laptop kedalam tas, mempersiapkan semuanya dengan sangat rapi. Sementara ibu, hanya bisa diam dan memandangi tangannya sendiri.
Setelah semuanya siap, aku mengalungkan tas laptopku, bersiap untuk pergi. Keadaannya sudah sangat kacau. Akan sangat tidak mungkin kalau aku harus meneruskan tulisanku disini.
“Sinar ….”
“Tamparan bukan hal yang besar untukku, ibu bahkan sudah tahu hal terberat yang bajingan itu lakukan padaku. Ibu nggak usah khawatir, Sinar pasti balik.”
Mendengar ucapanku, ibu sama sekali tidak berkutik. Setelah memutuskan untuk pergi menenangkan pikiran, langkahku terhenti begitu saja pada langkah kedua. Lalu berbalik menatap ibu yang mulai mengeluarkan air mata.
“Sinar mohon jangan jadi seperti bapak bu.”
Setelahnya aku pergi meninggalkan ibu sendiri di rumah.
***
Namaku Sinar, aku adalah seorang penulis profesional yang tengah mengerjakan proyek baruku yang khusus kubuat untuk ibu.
Ibuku benar, seharusnya aku lebih bisa menjadi perempuan yang ia inginkan tapi sayangnya aku muak menjadi seperti itu.
Sepuluh tahun sudah bapakku memperlakukan kami dengan sangat buruk. Terkadang memukul, mencaci dengan kata-kata yang tidak sepantasnya keluar dari mulut seorang suami sekaligus ayah.
Terakhir, yang membuat ibu memutuskan untuk berpisah dengannya adalah saat bapak mencekikku membuatku hampir mati. Aku sama sekali tidak menyesali atas keputusan sepihak yang ibu lakukan, ia bahkan tidak memerlukan persetujuanku karena jujur saja aku sudah tak tahan untuk hidup bersama laki-laki brengsek macam dia.
Semenjak itu, aku tidak lagi mau menjadi perempuan lemah seperti yang ibu bilang. Aku tidak ingin ada laki-laki manapun yang bisa menyakitiku terutama ibu. Sudah cukup ibu menderita puluhan tahun. Aku bahkan tidak bisa menjamin bahwa aku bisa sekuat ibu.
“Woy! Kenapa lo?” Suara berat membuyarkan lamunanku. Ah sial, ternyata dari tadi waktuku habis memikirkan laki-laki sialan itu?
Aku menoleh pada sosok yang mengharuskanku kembali menahan amarah. Aku bahkan tidak bisa menatapnya tajam, laki-laki payah yang sangat jauh berbeda dengan bapak. Hatinya terlalu lembut, dia bahkan tidak bisa menerima sikap kasar dalam bentuk apapun.
“Lo …, marah?”
Lihat saja dari pertanyaannya sekarang, sangat terdengar jelas nadanya yang bergetar hebat. Laki-laki yang berada di sampingku ini bernama Theo. Dia adalah salah satu artis papan atas berumur 30-an idola ibuku yang sekarang ntah sejak kapan bisa sedekat ini denganku.
Theo memiliki masa lalu yang sama denganku, bedanya dia masih terkurung dalam kelambu ketakutan. Dia tumbuh menjadi laki-laki lemah yang tidak bisa menerima amarah seseorang. Jika itu terjadi, maka traumanya akan tumbuh dan membuat tubuhnya drop drastis. Terakhir, traumanya kambuh karenaku yang lagi-lagi tidak bisa menahan emosi.
“Theo, sebaiknya lo pergi. Sebelum gue ….” Belum juga menyelesaikan perkataanku, tiba-tiba saja dia memelukku erat. Ini jauh membuatku terkejut karena bagaimana pun, siapapun dia aku masih membenci laki-laki.
Pemberontakkanku sia-sia, tangannnya semakin mengeratkan pelukannya.
“Sinar, gue tahu kenapa Tuhan kasih lo sama gue.” Akhirnya Theo mau melepaskan pelukannya. Aku memang marah, tapi kenapa ada juga kekecewaan saat dia melepaskan pelukannya?
“Apa-apaan sih lo!” Seketika aku bisa merasakan tubuhnya bergetar hebat. Ah sial! Rasanya aku nggak sanggup lagi menahan amarahku, bahkan nafasku sudah semakin membara saat menatapnya, ntahlah tatapan apa yang kuberikan.
“Iya, nggak apa-apa Nar, gue akan berusaha menahan semua amarah yang lo luapkan, asal setelahnya lo mau berdamai sama masa lalu lo.”
Aku terkejut mendengar perkataannya. Jujur saja, ada sedikit desiran aneh di dalam diriku. Aku yakin ini bukan ‘jatuh cinta’ seperti yang orang-orang katakan. Perkataannya tentang berdamai dengan masa lalu membuatku merinding.
Selama ini, bukan itu yang aku lakukan, melainkan berusaha untuk menghindar dan melupakan yang jelas-jelas adalah bagian dari perjalanan hidupku. Apa yang Theo lakukan sama sekali berbeda denganku, aku bahkan dia tahu jelas apa yang akan terjadi kalau saja aku meluapkan semosiku padanya sekarang.
Apa ini? Kenapa ada dua emosi yang seakan berunding dan siap meledak saat ini juga? Aku memutuskan untuk berdiri dan sedikit menjauh darinya. Lalu tiba-tiba saja ….
“AAAAAAAARRRGGHHHHH!!!!!!” Aku berteriak sekuat tenaga, beruntung posisiku berada di gedung tertinggi milik PH yang akan memproduksi karya yang khusus kubuat untuk ibu dengan Theo sebagai pemeran utamanya. Semoga saja tidak ada yang mendengar teriakanku tadi.
Aku duduk memeluk lutut, tak terasa air mataku mengalir begitu saja. Semua kenangan buruk masa lalu saat bapak menyiksaku tiba-tiba kembali muncul. Hatiku jauh terasa lebih sakit dari sebelumnya.
“Sinar gue tahu rasa sakitnya.” Untuk kedua kalinya Theo memelukku yang masih memeluk lutut. Tubuhku memang lebih kecil darinya sehingga mudah baginya untuk merangkulku.
Tanpa disadari, pelukannya sedikit demi sedikit bisa menenangkanku. Pelukannya begitu hangat, tak pernah kudapatkan sebelumnya selain dari ibu.
“Lo bisa! Gue bisa! Kita bisa perbaiki inner child yang sudah terlanjur rusak. Percaya sama gue.”
Aku bisa mendengar apa yang dia katakan dengan sangat jelas, tapi tak mampu untuk menjawabnya. Hanya bisa tenggelam dalam pelukannya yang semakin lama semakin membuatku nyaman.
Tangannya mengusap kepalaku perlahan.
“Lo hanya butuh lebih banyak cinta, dan gue punya itu.”
***
Theo benar, hanya butuh cinta untuk menyembuhkan inner child yang terlanjur rusak. Tapi, bukankah alangkah baiknya tidak merusak?
Aku pernah mendengar, bahwa seorang anak tidak pernah bisa memilih orang tua seperti apa yang dia inginkan. Untuk itu, menurutku kita bisa menjadi versi terbaik dari diri kita sebelum memutuskan untuk menikah dan mempunyai keturunan.
Semoga saja, apa yang aku dan Theo alami tidak pernah terjadi padamu. Jika saja terjadi, berusalah untuk sembuh dan ingatlah keturunanmu mengharapkan versi terbaik dari dirimu.
By, Sylvia Damayanti