Si Jalu, ayam jagoku boleh dianggap sebagai ayam jago salah genetic. Tapi, ayam itu ayam istimewa. Istimewanya karena dia berjari lima. Beda dari ayam kebanyakan. Saat ia lahir, dia paling kusuka maka kurawat dengan perhatian lebih, melebihi lima ayam jagoku yang lain.
Si Jalu berwarna merah terang dengan semburat warna emas di sisi-sisi tubuhnya. Mirip dengan ayam sentul. Waktu kubeli, penjualnya bilang dia adalah “joper” alias ayam “jowo super”. Biasanya merupakan persilangan dari jenis ayam bangkok dengan ayam petelur warna coklat.
Namun, jagoanku satu itu sudah tiga hari menghilang. Hilangnya pun tidak tanggung-tanggung, bersama tiga ayam betina! Entahlah… Kapan mereka menghilang sebab ketika bangun pagi dan saatnya kuberi makan, si Jalu dan kawan-kawannya itu sudah tidak ada.
Segera kutanyakan ke beberapa tetangga sekitar rumah. Tak ada yang merasa melihat si Jalu atau ikut dengan ayam lain milik mereka.
Kekesalan dan penyesalanku menguasai sehariku. Mama sampai tidak berani minta tolong beli gas kalau aku sudah begini. Dia minta tolong Pak Min, tetangga belakang saja dengan menambahkan upah. Mama tahu, anaknya kalau sudah uring-uringan begini bisa merembet kemana-mana.
Aku mulai curiga pada seseorang.
Aku menduga orang itu adalah Pak Ahmad yang mengambilnya. Dia masih satu kampung denganku. Beda RT saja. Sepele sih dugaanku, kalau kami bertemu, dia selalu menawar untuk membeli si Jalu. Sampai berani menawar tiga ratus ribu. Katanya, dia naksir benar.
Gila. Si jalu disetarakan dengan ayam bangkok yang sudah terkenal sebagai ayam aduan termahal. Aku menolak dengan halus karena ingin kuternakan supaya barangkali keturunannya akan mempunyai jari lima juga.
Tapi, ternyata Pak Ahmad bukan tersangkanya. Dia hanya punya ayam tiga dan tidak bertambah sejak hari Jalu hilang.
Lalu aku mencurigai penghuni yang belum dua tahun ini tinggal di dua rumah sebelah kiri rumahku. Made.Medi namanya. Rumahnya selalu tertutup dan tidak tampak ada ayam di halaman.rumahnya. Selain rumahnya, Medi ini orangnya juga agak tertutup. Konon, waktu dia kecil, terkena polio sehingga dia berjalan timpang karenanya. Setelah orang tuanya meninggal ia ikut Pak Putu, pamannya yang lalu mengasuhnya di rumah itu. Tapi, Pak Putu meninggal karena usia, Made Medi pun tinggal sendiri di rumah itu. Pak Putu almarhum tak punya sanak saudara lain selain Made Medi, keponakannya itu.
Medi seumur denganku.
Maka, biar tidak lebih penasaran lagi, pagi ini kuputuskan ke rumah Medi. Siapa tahu si Jalu benar ada rumahnya.
Kuketuk pintu rumahnya. Sepi. Bahkan ketika kupanggil namanya, tidak ada yang menyahut. Kuputuskan nanti sore ke sana lagi. Ternyata sama. Tidak ada tanggapan apa-apa dari rumahnya itu.
Meski kecewa, aku memilih kembali saja.
Dari orang-orang yang mengetahui hilangnya si Jalu. Mereka juga mengatakan kemungkinan yang mengambil benar si Made Medi itu. Ia sejak datang tidak bergaul dengan para tetangga. Keluar rumah kalau perlu saja. Tak tahu apa yang dia lakukan di dalam.
Kalau Medi bicara tak jelas. Agak cadel dan jarang senyum. Malah terkesan berusaha menghindar. Bila di kota besar cuek adalah hal biasa, namun bila di kampung begini, bisa jadi gunjingan. Dianggap tidak beradat dan tak sopan. Apalagi sekarang dia sudah tidak punya siapa-siapa. Kalau dulu pamannya masih menjadi pelindungnya dan orang kampung masih menghormati Pak Putu jadi tidak menggunnjingkan macam-macam.
Setelah seminggu tak ada kabar yang lebih baik, aku mulai ikhlas kehilangan si Jalu dan tiga ayam betina lainnya. Tak ingin lebih pusing dan mencurigai yang belum tentu benar juga.
Ah. Tapi, kenapa masih ada yang mengganjal? Apakah karena dia ayam kesayangan, yang membuatku gundah gulana tak rela kehilangan?
Sebulan berlalu, si Jalu tak ada kabarnya juga. Kesedihanku menjadi berlipat ketika ayamku mulai mati satu persatu, walaupun tidak semuanya. Cuaca ekstrim dengan hujan angin yang turun beberapa hari ini membuat banyak ayam tak tahan menghadapinya. Apalagi kami biasa membiarkan ayam-ayam itu berkeliaran di luar. Sebagian besar tetanggaku mengalami juga. Banyak yang beranggapan wabah flu burung mulai menjangkiti banyak ayam di kampungku.
Mamaku gusar juga. Dia minta aku pelihara ayam lagi dari awal. Tetapi, harus benar diperhatikan pemeliharannya supaya bisa menghindari dari wabah flu burung lagi. Soal Jalu, anggap saja sudah mati dan jangan mencurigai tetangga lain. Kalau Jalu masih hidup dia pasti sudah bahagia dengan tuan yang baru..
Tetapi, Jalu tetap ayam paling istimewa.
Aku kok jadi malah malas pelihara ayam baru. Ayam2 yg lama, kubiarkan bebas mau kemana saja. Sebebas bebasnya. Silahkan cari makan sendiri. Bebas. Lebih baik mengurus sawah yang akan mendekati waktu panen padi
^^^^^
Di siang yang terik, saat aku berada di sawah, kudengar ada teriakan kebakaran dari arah depan rumah.
“Rumah siapa yang terbakar?” tanyaku kepada Pak Sumaji yang sama sedang menyawah dan serius memperhatikan pergerakan orang kampung atas teriakan kebakaran tadi.
“Mungkin rumah Setyo,” jawab tetanggaku yakin. Ia pun sebenarnya juga sedang sama-sama menggarap sawah. Kami langsung menyudahi pekerjaan masing-masing.
Aku langsung berlari pulang tanpa hiraukan pacul dan sabit yg kubawa. Sampai di rumah hanya ada mama. Setelah yakin mama tidak apa-apa, aku berlari lagi ke tetangga. Dari mereka aku mendengar kalau rumah yang terbakar adalah rumah Made Medi.
Aku segera ke rumah Medi. Rupanya kebakaran sudah bisa dipadamkan. Yang menjadi penyebab kebakaran berasal dari dapur rumah Medi yang berdinding bambu. Gas elpiji meledak saat hendak digunakan.
“Tuwun tuwun (suwun suwun),” itu yg terucap dari mulut Medi atas bantuan para tetangga yang membantu memadamkan kebakaran dapur rumahnya.. Beruntung banget, api tidak kemana-mana karena bisa cepat diatasi dan yang terbakar hanya sebagian dari dapurnya, tidak menyebar ke tempat lain.
Dalam perjalanan pulang, Pak Hardo bilang kepadaku, “Eh si Medi punya ayam tuh. Itu bukan si Jalumu yang dulu hilang?”
“Ah masak, Pak?” aku balik tanya. Rada terkejut juga.
“Lho iya, aku tadi lihat ada ayam yang dia pelihara dalam rumahnya. Ya nggak tahu juga itu si Jalu atau ayam.lain. Tapi, kok selama ini nggak terlihat dia beli ayam buat dia pelihara ya?”
Aku pulang dengan galau. Pikiranku jadi kemana-mana, ingat Jalu dan muncul lagi dugaan itu. Kuceritakan ke mama pembicaraan dengan Pak Hardo barusan.
“Ah, jangan berburuk sangka, Cung. Si Jalu sudah mati. Itu ayam Medi sendiri. Entah kapan dia beli Bisa jadi, mungkin itu ayam pamannya yang dipelihara di dalam rumah, tanpa sepengetahuan kita. Nggak seperti ayam-ayam kita yang diumbar, bisa ke luar. Mungkin karena nggak keluar itu, kandang ayam MEdi selamat dari wabah beberapa saat lalu,” jawab mama panjang lebar.
“Kamu itu..., karena mencari Jalu ke sana kemari lalu bergunjing dan menduga-duga siapa pelaku yang mencuri si Jalu, Medi ikut dikira. Hanya karena si Medi orangnya tertutup dan menghindar setiap bertemu orang lalu kamu jadi berpikir dia pencurinya. Medi kan anak dengan keterbatasan. Bicara nggak jelas, pincang, hidup sendirian. Masih untung kamu, ada mama. Apa-apa masih ada yg mengurusi. Kalau dia? Semua dia urus sendiri,” kembali mama mengeluarkan isi hatinya.
“Sudahlah.. Bila memang itu si Jalu relakan. Kalo bukan si Jalu, kamu sudah bersalah menuduh yang nggak baik. Sebentar lagi bulan puasa. Jangan banyak bergosip yang nggak jelas,” mama menutup curhatnya.
“Ya, Ma,” jawabku rada lesu. Ukh, males kalau sudah ngomong sama mama. Soal ayam kok dihubungkan dengan bulan puasa atau bulan Ramadhan. Ayam ya ayam. Doa ya doa. Puasa ya puasa. Emangnya kalo ayam hilang bisa kembali pulang karena puasa? Lagian aku juga tidak.menuduh. Aku cuma tanya ke banyak orang karena penasaran saja.
Hufh. Aku jadi marah-marah sendiri.
“Ingat kotbah ustad, Cung,” ternyata mama belum selesai.
“Yang bagian mana, Ma?” tanyaku malas-malas.
“Itu yg soal mencurigai keburukan seseorang tanpa ada bukti, saksi dan tanda-tanda yang mendasarinya adalah sesuatu yang terlarang.”
Aduh mama.., ngapain juga jadi ngubungin dengan kotbah ustad beberapa hari lalu, batinku. Biar ada benarnya juga sih….
“Kecurigaanmu itu menyebabkan Medi dicap pencuri di kampung ini. Apalagi Medi juga pelihara ayam di runahnya, tapi bukan langsung otomatis dia mencuri si Jalu. Apa itu nggak bisa bikin Medi lebih menderita lagi?”
Kalau sudah begini lebih baik aku diam saja, mendengarkan. Biar mama nggak perlu bersaing dengan ustad, menyampaikan kotbah berantai.
^^^^^
Sabtu pagi ini aku hendak berangkat ke sawah. Baru melangkah, aku bertemu Pak RT.
“Mau kemana Pak RT?” tanyaku ramah.
“Mau ke rumah sampeyan,” jawab Pak RT.
“Wah tumben mau ke rumah saya. Ada perlu dengan mama?”
“Oh, enggak… Saya perlu dengan sampeyan kok,” Pak RT mendekatiku.
“Wah, ada perlu apa dengan saya Pak? Kita masuk ke rumah aja deh. Nggak enak kalo ngobrol di jalan.” Kami segera ke rumahku dan segera kupanggil mama untuk ikut ngobrol.
“Wah ada keperluan apa Pak RT??” tanya mama.
“Begini, Bu. Rumah Made Medi dijual. Dia kemarin malem.pamit sekalian menitipkan kunci rumah dan titip surat buat Nak Pras. Ini suratnya.” Pak RT menyodorkan sebuah amplop putih.
Mama.membaca surat,
Ternyata isi surat itu menyatakan kalau Medi menghibahkan semua ayamnya kepadaku. Bahkan beserta kotak-kotak dan makanan ayamnya.
Sebenarnya ini kejutan buatku sekaligus penasaran juga. Segera kami bertiga menuju rumah Medi dan hendak mengambil ayam-ayam yang selama ini dipelihara oleh Medi.
Dan, astaga!
Di antara ayam-ayam itu ternyata ada si Jalu berjari lima yang selama ini menghilang. Jelas aku bahagia sekali. Aku peluk kegirangan ayam kesayangan itu.
“Made Medi itu bukan pencuri si Jalu, Cung. Tetapi, dia penyelamat. Coba kalo si Jalu tidak dipeliara di dalam rumah, bisa-bisa sudah ikutan mati dengan ayammu yang lain yang terkena wabah kemarin.. Dia penyelamat ayam kita,” kata mama begitu melihat aku terlihat sangat senang.
Kami pun bersepakat untuk tidak memperpanjang tentang bagaimana Medi mendapatkan ayam-ayam ini. Selain karena Medi sendiri sudah tidak di kampung kami lagi, aku sendiri juga berjanji lebih merawat ayam-ayam itu dengan baik.
“Medi memang pencuri, tapi dia juga penyelamat. Dia menyelamatkan ayam-ayammu yang kamu sayangi. Beranilah.melihat dari banyak sisi,” pesan mama yang mengena di hati.
Kupandangi si Jalu, betinanya dan anak-anak kecilnya. Terlihat sehat. Lincah dan terawat baik. Kubuka bungkusan hadiah dari Made Medi yang diletakkan di dekat kotak ayam tadi. Ada buku-buku tentang kiat sukses pelihara ayam kampung.
Wow. Mendekati lengkap. Aku yang biasa memelihara ayam gaya kampung, akan mendapat banyak.manfaat dari buku-buku ini.
Bila melihat dari sisi yang lain, betapa tipisnya pencuri dan penyelamat. Dia penyelamat Jaluku, namun di mata orang lain bisa jadi dia adalah pencuri yang diam-diam mengambil hartaku.
Aaahhh… Tiba-tiba aku teringat obrolanku dengan mama tempo hari. Kadang kita menganggapnya seseorang sebagai seorang biasa, sama dengan kita atau bahkan orang aneh sebab tidak pernah keluar rumah seperti Medi kala itu. Namun, sesungguhnya sama seperti manusia lainnya, Medi itu juga punya sisi baik dan mungkin tidak terduga oleh orang lain apalagi yang selama ini menganggapnya sebagai orang aneh
Semoga kehidupan Medi entah dimana lebih baik dari sekarang dan dia punya teman jugaagar tidak sendirian.
Terimakasih Jalu, kamu juga punya peran membuatku mengerti sisi kehidupan yang lain.
^^^^^
By, Rapha Dijoen