Matahari masih terbilang cukup terik. Namun tetesan air hujan sudah membasahi halaman rumahku. Ya, juga hujan di dalam hatiku yang tak kunjung berkesudahan. Aku sangat membenci hari-harku tanpanya, terlebih, aku sangat benci hari ini.
Lelah sekali rasanya terus merasakan hal seperti ini. Kata mereka, waktu adalah obat terbaik untuk menghapus semuanya. Kuakui, memang rasa pedih itu berkurang, tapi tidak hilang. Tentu saja, bagaimana bisa aku hidup dengan tenang. Di saat rasa bersalah, kehilangan dan rinduku tercampur aduk menjadi satu.
Kian hari, ku rasa aku sudah bisa lebih baik. Bukan lebih baik dalam melupakannya, tapi lebih baik dalam mengendalikan berbagai perasaan bersalah tersebut yang terngiang dalam benakku. Ya, nampaknya aku sudah terbiasa berjalan dengan semua hal yang menyika tersebut. Mungkin aku memang pantas mendapatkannya.
Suara bel apartemenku berbunyi. Rasanya aku tidak ingin pergi dari ranjang yang menjadi tempat ternyamanku menjadi diri sendiri ini. Tapi setelah beberapa menit suara bel itu kian menggangguku, akhirnya aku menyerah.
Aku berjalan keluar dari kamar tunggal unit apartemenku, untuk mengecek, siapa yang sudah menganggu hariku ini. Ku buka penutup kaca kecil di tengah pintu, untuk melihat sosok manusia yang sudah menggangguku ini.
Jantungku hampir berhentik berdetak, saat melihat siapa yang sudah berdiri di depan sana. Aku mengucek mataku berulang kali, berharap kalau itu hanya imajinasiku saja. Tapi pandangan itu tidak berubah, meskipun aku memukul kepalaku berulang kali, berharap itu hanya halusinasiku saja.
“Henry, buka pintu ini. Kenapa kamu selot kunci di dalam?” teriak wanita tersebut.
Aku mencoba mengendalikan napasku, menepuk-nepuk dadaku saat mendengar suara yang kurindukan tersebut.
“Henryy!! Buka pintu ini atau semua tetanggamu akan memakiku sebentar lagi,” ucapnya lagi.
Tentu saja, di lorong apartemen yang cukup hening ini, suara dia bergema. Benar katanya, dapat dipastikan beberapa menit lagi, akan ada penghuni lain yang keluar dan memarahinya karena kebisingan ini. Dengan segera, aku membuka selotan pintu itu.
Benar saja! Aku sudah melihatnya berdiri di depanku. Dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada dan juga tatapan yang tidak bersahabat.
“Sejak kapan kamu mengunci pintu seperti itu? Untuk apa kamu berikan kartu akses ini kalau kamu masih menyelot pintu itu dari dalam? Dasar kuno!” omelnya yang langsung melengos masuk ke dalam ruanganku. “Apakah kamu akan terus berdiri di sana dan membuka pintu seperti itu?” tanyanya lagi yang membuyarkan lamunanku.
“Ahh ....” Aku segera menutup pintu itu, lalu berjalan dengan jarak lebih dari satu meter di belakangnya.
“Kenapa kamu seperti itu? Apakah aku hantu?” tanyanya lagi.
“Tidak,” jawabku singkat. Aku masih tidak mengerti. Kenapa? Kenapa bisa ada dia di hadapanku.
“Aku harap kamu tidak melupakan janji kita hari ini. Atau aku akan kembalikan hadiah yang sudah kubeli hari ini untukmu.”
“Janji?” Aku mengangkat sebelah alisku, tidak mengerti maksudnya.
“Kamu benar-benar melupakannya?” Nada bicaranya meninggi. “Henry! Bisa-bisanya kamu melupakannya?”
Aku segera meihat kalender di layar ponselku. Benar sekali, hari ini adalah hari Valentine. Hari yang spesial terlebih untuk mereka yang memiliki orang yang tersayang.
“Henry! Jangan bilang kalau kamu juga lupa untuk membali hadiahku?”
“Hadiah?” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal itu. Tentu saja aku tidak mempersiapkan apapun. Karena aku tidak mengira, jika ia akan hadir lagi di sini.
“Benar dugaanku. Kamu tidak pernah berubah. Hanya aku yang membawa hadiah untukmu ke sini,” omelnya lagi dengan nada menyindir. “Kamu tentu tahu ‘kan apa konsekuensi jika kamu lupa membelikan hadiah untukku?”
“Konsekuensi?”
“Kamu akan siap menemaniku kemana pun hari ini. Seharian. Dan aku boleh menggunakan kartu kreditmu, sepuasnya.”
“Benarkah?”
“Sudahlah. Aku tidak mau menghabiskan energiku untuk siang ini. Sebaiknya kamu segera mandi dan ganti baju, aku akan menunggumu di sini. Lima belas menit, tidak lebih.”
Aku melihat setiap titik wajahnya. Ya, benar dia. Wanita itu, yang memiliki hatiku, dan kini ia sudah berada di hadapanku.
“Apa yang kamu tunggu? Buruan, nanti kita tidak punya cukup waktu,” ujarnya lagi.
“Baiklah. Tunggu di sini sebentar. Sebentar saja. Kurang dari lima belas menit,” jawabku yang lalu berjalan menuju kamar mandi. “Re ....” panggilku lagi kepadanya.
“Kenapa?” tanyanya dengan kedua alis yang terangkat. “Jangan kemana-mana. Aku tidak akan lama. Tunggu aku di sini,” jawabku dengan gelagapan.
“Tentu saja! Aku tidak akan pergi kemana pun sebelum aku berhasil menghabiskan limit belanja di kartu kreditmu.” Ia tertawa kecil, membuatku juga menyunggingkan senyum.
Aku sudah berada di dalam kamar mandi. Aku mengusap wajahku dengan air, kembali memastikan bahwa ini tetap nyata. Aku ingin ini adalah kenyataan, bukan mimpi.
Karena dia, wanita itu datang kepadaku. Wanita yang selalu aku rindukan, yang telah menghilang dari hidupku, membuatku sangat sulit menjalani hidup ini.
Ya, aku tidak akan melepaskannya. Aku tidak akan membiarkannya pergi. Aku memutuskan hanya mencuci mukaku saja. Lalu, dengan semprotan parfum favoritku, aku sudah selesai mengenakan kemeja biru navy yang diberikannya dulu kepadaku.
“Revita ...,” ucapku segera setelah keluar dari kamar.
Aku menghela napas panjang saat melihat wanita itu masih berada di hadapanku. Ia masih tersenyum, dengan pupil yang menyapu setiap sudut tubuhku. Lalu wanita itu berdiri di hadapnku dengan kedua tangan yang sudah memegang sudut rahangku.
“Apakah kamu tidak memiliki baju dan parfum lain?” tanyanya lagi.
“Kenapa? Kamu tidak suka dengan penampilanku?”
“Bukan. Hanya saja, aku lebih cocok dibilang seperti seorang ibu dibandingkan pacarmu. Aku yang selalu memilih pakaian, parfum, bahkan dompet dan tali pinggangmu. Bagaimana suatu saat kalau aku lelah memilih semuanya untukmu? Apakah kamu tidak akan membeli barang baru untukmu?”
“Ahh ... aku hanya suka dengan semua pilihanmu.”
“Benarkah? Baiklah, ayo kita pergi.”
***
Ternyata Revita membawaku ke sebuah restoran baru yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya. Kafe ini terbilang cukup mewah dengan nuansa klasik. Meskipun seluruh meja di ruangan ini sudah diisi oleh banyak pasangan, tapi suasana di sini masih terasa cukup tenang.
“Bagaimana dengan restoran kali ini?” tanya Revita.
“Bagus,” balasku singkat. “Cuma, tumben kita makan di tempat lain saat Valentine. Biasanya kamu pasti akan mengajakku ke—“
“Mau cari suasana lain,” jawabnya sebelum aku menyelesaikan kalimatku. “Ini adalah tahun terakhir aku yang memilih tempat di hari Valentine kita. Tahun depan, kamu harus memilihnya sendiri.”
“Benarkah? Aku tidak tau referensi tempat seperti ini.”
“Apapun itu, Henry. Kamu harus bisa memilih tempat makanmu sendiri. Bukan hanya untuk Valentine saja. Tapi untuk makan hari biasa juga. Jangan selalu memilih junk food. Aku lelah melihat makananmu yang selalu junk food setiap kali aku tidak ada.”
“Baiklah, Nyonya Revita. Akan aku lakukan itu,” balasku yang menghasilkan senyuman.
“Good boy,” balasnya seraya mengelus rambutku dengan lembut. “Kalau begitu, kamu yang harus pilih menu date kita hari ini.”
“Aku?” tanyaku dengan ragu.
“Tentu saja. Ayo pilih. Tidak dengan ayam goreng, nasi goreng atau mi goreng. Pilihlah sesuatu yang antimainstream.”
“Baiklah.”
Aku mulai membolak-balikkan buku menu, hingga akhirnya aku memutuskan untuk memesan menu terbaik menurut penilaianku.
“Bagaimana dengan ini?” ucapku dengan telunjuk yang mengarah pada buku menu ini.
“Baiklah. Pilihan yang cukup baik.”
Aku tersenyum saat mendengar persetujuan darinya.
***
Revita sudah menggandeng tanganku. Baru kali ini, acara perayaan Valentine kita pergi ke mal. Aku tentu saja hanya menuruti keinginannya. Tidak ada yang lebih kuingini, selain bersama dengannya.
“Great!” ucapnya riang setelah aku memberikan kartu kredit berwarna hitam itu kepadanya.
Lalu ia menarikku memasukki salah satu departement store di dalam mal tersebut. Hingga akhirnya, kita sudah berada di area laki-laki.
“Kamu pilih baju,” ucapnya lagi.
“Baju? Untuk?”
“Ya untuk kamulah. Ayo, aku tidak mau menjadi jasa titipmu terus. Kamu harus sudah bisa memilih baju sendiri. Sesekali, aku ingin lihat kamu datang dengan baju baru yang bukan pilihanku, Henry.”
“Ah, baiklah.” Aku mengangguk.
Lalu, pupilku mulai menyelidiki setiap sudut tempat ini, mencari baju, celana dan apapun itu yang diminta oleh Revita.
“Bagaimana dengan ini? Apakah cocok untukku?” tanyaku meminta persetujuan darinya.
“Kamu suka?”
“Hmmm ... suka sih. Sepertinya bahannya tidak panas,” jawabku sekedarnya.
“Baiklah.” Revita mengangguk. “Pilihan yang bagus,” ucapnya lagi seraya mengangkat tangan kepada salah satu staff di sana.
***
“Apotek?” tanyaku yang bingung saat mobil kita sudah berhenti di depan sebuah apotek.
“Yep, sepertinya obat-obatan umum harus ada di apartemenmu. Aku bukan apotek berjalan yang selalu menyediakan obat setiap kamu sakit, Henry. Kamu harus menyediakannya sendiri.”
“Ah, baiklah,” ucapku menurutinya.
Penjaga apotek tersebut sudah tersenyum kepada kami dan juga menanyakan obat-obatan yang kami inginkan.
“Hen, obat apa saja yang harus ada?” tanya Revita dengan sebelah alis terangkat kepadaku.
“Obat sakit kepala dan antibiotik,” jawabku singkat yang memang tidak terlalu mengerti tentang obat-obatan tersebut.
“Kamu harus mengingat ini, Henry,” balas Revita yang lalu menghela napasnya panjang.
Ia lalu memilih beberapa jenis obat-obatan umum lalu memintaku untuk mengingatnya. Lalu kita berdua keluar dari apotek tersebut setelah menyelesaikan belanjaan kami.
***
Matahari sudah terbenam. Gelap sudah mulai menghiasi langit Jakarta, membuat lebih banyak orang yang keluar, untuk menikmati beberapa jam terakhir sebelum hari kasih sayang ini berakhir.
“Kita mau kemana lagi?” tanyaku singkat.
“Kamu ada mau kemana nggak?”
“Hmm .... nggak sih. Aku ikut kamu aja mau kemana.”
“Henry!” tiba-tiba nada bicaranya meninggi. Ia tampak memejamkan matanya dan menghela napas panjangnya. “Kamu harus bisa menentukan kemana tujuanmu. Sekarang, kamu harus menentukan tujuan makan malam kita.”
“Tapi, Rev—“
“Kamu yang pilih,” ujarnya lagi sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
“Baiklah. Tapi kalau kamu tidak setuju dengan pilihanku, kita bisa langsung pergi.”
“Tenang saja, aku akan setuju, Hen.”
***
Kami sudah duduk di sebuah kafe sederhana. Kafe yang menjadi tempat pertama kita berkencan.
“Bagaimana?” jawabku dengan tawa kecut.
“Tidak apa. Setidaknya kamu sudah memilih. Tapi kuharap, kamu akan mencoba tempat makan lain, selain tempat yang kita sudah pernah kunjungi.”
“Baiklah. Aku akan mencarinya nanti.”
Lalu kita berdua segera memesan menu makan malam, sebelum akhirnya kita berdua kembali pulang ke apartemenku.
***
Kami berdua sudah kembali ke apartemenku. Hari baru menunjukkan pukul sembilan malam. Masih terbilang cukup awal, dibandingkan dengan perayaan Valentine kami di tahun-tahun sebelumnya.
“Aku bereskan kamarku sebentar,” ucapku yang bergegas menuju kamar, namun tangannya memegang pergelangan tanganku dan menghentikan langkahku.
“Aku tidak akan menginap hari ini,” jawabnya yang tahu dari tindakanku itu.
“Kenapa? Tumben?” tanyaku bingung.
Revita terlihat menggelengkan kepalanya. Ia menggenggam kedua tanganku dan mengelus jemariku dengan pipinya. Air matanya jatuh, membasahi jemariku dan membuatku bingung dengan hal tersebut.
“Rev, are you okay?” tanya dengan lembut.
“I’m just ... I’m so happy for today, Hen.”
“Me too. Aku ....” Aku menghentikan kalimatku.
“Kenapa? Katakan saja. Katakan apapun yang ingin kamu katakan. Aku juga ingin mengatakan sesuatu.”
“Hah? Tidak ada,” jawabku. Aku segera menahan kalimatku karena aku lebih penasaran dengan apa yang ingin dikatakannya kepadaku.
“Hen, just tell me what do you to say to me. Aku tidak punya banyak waktu, Hen.”
“Kamu mau bilang apa ke aku?”
“You first,” ucapnya.
“Hufttt .... baiklah,” aku menghela napas. “Aku hanya bingung dengan perayaan Valentine kita hari ini.”
“Bingung? Kenapa?”
“Bingung aja. Tumben kita kencan dari siang, tumben kamu yang datang samperin aku ke sini pas mau kencan Valentine. Lalu, kamu memegang kartu kreditku tapi kamu tidak membeli apapun. Dan, kita juga ke mal di hari Valentine kali ini.”
Revita tertawa kecil. Ia mengelus rambutku dengan lembut dalam senyumnya.
“Kenapa? Kamu tidak suka?”
“Tentu saja tidak. Aku ... aku selalu suka dengan apapun rencanamu, Revita. Kamu adalah hal terbaik di dalam hidupku.” Aku menghela napas panjang. Entah kenapa, detak jantungku seketika menjadi lebih cepat. “Kamu mau bilang apa ke aku?”
“Mmmm .... kalau kamu bilang aku adalah hal terbaik di dalam hidupmu, aku juga demikian, Hen. Kamu adalah hal terbaik dalam hidupku.”
Revita bukanlah tipikal wanita yang mengatakan kalimat romantis seperti itu. Hal ini membuat debar jantungku menjadi lebih cepat lagi. Rasanya, rasanya seperti kencan pertama kita berdua.
“Karena itu, aku ingin kamu lebih menyayangi dirimu, Hen.”
“Ma-maksud kamu?” tanyanya seraya menelan salivaku.
“Hen, aku harap, kamu jangan pernah menyalahkan dirimu, untuk semua hal yang membuatmu .... aku tidak inging melihatmu terus hidup dalam penyesalan. This is not your faults, Hen.”
Apa yang dia katakan? Aku tidak mengerti.
“Rev—“
“Hen, aku ingin kamu tidak bergantung padaku lagi. Aku ingin kamu bisa pergi keluar dari tempat ini sendirian tanpaku. Aku ingin kamu bisa memilih makanan lain di luar sana, pergi ke kafe, nongkrong bersama temanmu. Hen, aku ingin kamu bisa membeli sendiri pakaianmu, parfum, bahkan pakaian dalammu. Henry, aku mohon ....”
Aku melihat Revita sudah terisak. Wajahnya sangat merah, air matanya semakin deras keluar, membasahi wajahnya.
“Aku tidak bisa melakukan apapun, Henry. Aku sangat kesal saat tau jika kamu begitu kejam dengan dirimu sendiri.”
“Rev, ma-maksud kamu apa?”
“Hen, aku sudah mati! Kamu tau aku sudah mati. Aku ke sini untuk menepati janjiku, menemanimu di hari Valentine ini. Tapi ini akan jadi Valentine terakhir kita.”
“Tidakk .... kamu tidak akan meninggalkanku lagi, Rev. Aku mohon,” ucapku memohon dengan bergetar. Aku tidak mengerti dengan keadaan ini.
“Aku tidak tahan melihatmu terus hidup seperti ini. Kecelakaan itu, bukan salahmu. Bukan salahmu yang tidak bisa menjemputku, Hen.”
“Tidak, Rev. Kamu bercanda ‘kan? Kamuu ... kamu masih ada di sini, bagaimana bisa kamu bilang kalau kamu—“
“Cukup, Hen!” Revita memukul pundakku dengan sisa-sisa tenaganya, namun hal itu tidak sebanding dengan pedih yang ada di hatiku. “Aku yakin kamu mengerti dengan maksudku. Henry, aku mohon ....”
Rasanya sangat sulit menelan salivaku. Aku tahu, aku tahu jika dirinya sudah pergi dari dunia ini. Hal itu juga yang membuatku terpuruk selama ini. Namun kenapa sekarang dia ada di sini?
“Namun kenapa kamu ke sini? Rev, katakan padaku kalau semua itu hanya lelucon. Kalau kamu tidak meninggal. Kalau kamu akan ada di sini besok, lusa dan seterusnya. Revita!!”
“Aku sudah mati, Henry!!” jawabnya dengan nada bicara yang juga meninggi. “Kamu sendiri yang melihat pemakanku. Aku tidak tahan melihatmu yang terus sengsara. Kamu adalah hal terbaik dalam hidupku dan aku tidak bisa membiarkan kamu seperti itu.”
“Kamu bohong, kamu bohong. Lalu kenapa kamu pergi? Kenapa kamu memilih pergi.”
“Andai aku bisa untuk tetap tinggal, akan aku lakukan. Tapi aku tidak bisa. Aku nggak bisa, Hen.”
“AHHHH!!!”
Aku berteriak sekencang-kencangnya. Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini. Kenapa? Ini benar-benar menghancurkanku.
“Apakah itu artinya kamu akan pergi lagi?”
“Aku tidak seharusnya berada di sini, Hen. Tempatku sekarang bukan di sini.”
“Lalu bagaimana denganku? Rev, bagaimana denganku?” Aku memohon. Berharap agar Revita dapat tetap tinggal. Karena setelah melihatnya lagi, aku benar-benar tidak bisa membayangkan jika ia akan pergi meninggalkanku lagi.
“Aku mohon. Berjanjilah padaku bahwa kamu akan baik-baik saja. Bahwa kamu bisa memilih semuanya, tanpa diriku. Bahwa kamu tidak akan hilang arah, tidak akan bergantung padaku.”
“Rev—“
“Aku datang ke sini, terakhir kalinya. Aku datang ke sini untuk meyakinkanmu bahwa kamu bisa. Henry, tolong jaga dirimu. Bukan untukmu sendiri, tapi untukku juga. Karena hanya kamu, yang bisa menjaga hal terbaik dalam hidupku, Hen. Aku mohon ....”
Perasaanku campur aduk saat ini. Aku tidak mengerti dengan permainan takdir kali ini. Tapi kedua pupil mata itu terus menatapku dengan hangat, mengisyaratkan bahwa aku harus melakukannya, bahwa aku bisa melakukannya.
“Baik ... Baiklah, aku akan mencoba. Aku tidak berjanji kalau besok aku akan setegar itu. Aku—“
“Tidak apa. Setidaknya kamu harus mencoba bangkit. Kamu harus terus berjuang. Kamu tidak salah, Hen. Tapi kita hanya tidak bisa melawan takdir yang menggariskan hidup kita.”
“Rev, kamu tahu kalau aku selalu rindu padamu. Bisakah kamu sesekali mengunjungiku nanti?”
“Aku tidak akan benar-benar hilang, Hen. Aku akan selalu ada, di bagian hatimu. Berjanjilah padaku, lakukan yang terbaik, untuk dirimu sendiri. Demi aku. Aku hanya ingin, kamu bebas dari dirimu sendiri. Bebas dari perasaan bersalah ini. Karena kamu tahu, aku tidak menyalahkanmu sama sekali.”
Aku memejamkan mataku, mencoba untuk meyakinkan diriku sendiri atas permintaannya ini. Setelah beberapa detik, aku membuka mataku dan kembali melihat pupil indah itu.
“Baiklah,” jawabku singkat dengan berat.
Terlihat, ia tersenyum dengan sangat lebar. Sangat indah, bahkan rasanya aku belum pernah melihat senyuman seperti ini darinya. Ia lalu berjalan, memelukku dengan erat. Aku membalas pelukannya, tanpa bisa menahan air mataku sama sekali. Hingga perlahan, aku sadar, jika pelukanku sudah mendadak kosong.
Seketika, aku ragu dengan semuanya. Tapi permintaan Revita, kembali terngiang dalam benakku. Perlahan, aku membuka mataku. Benar sekali, Revita sudah tidak ada dalam pelukanku. Bahkan suaranya, wajahnya, aroma tubuhnya,semua sudah menghilang dari hadapanku.
Ya, ternyata dirinya memang tidak benar-benar pergi dari hadapanku. Dia bahkan tahu keadaanku saat ini, bagaimana perasaanku. Dia datang, untuk membuatku bebas dari belenggu rasa bersalah ini.
Baiklah, Revita. Aku berjanji, aku akan menjaga diriku dengan baik. Bukan saja hanya untukmu, tapi untuk diriku juga. Aku mencintaimu, Revita.
By, Loris Hanadela