Hampir saja gelas di tanganku ini terlepas jatuh. Aku benar-benar tak menyangka jika ia berani kembali menampakkan batang hidungnya lagi di depanku. Dia, yang telah memilih untuk melangkahkan kakinya dari hidupku. Tak pernah terbesit dalam benakku sebelumnya, jika hubunganku dengan dia akan berakhir. Kupikir akan menjadi selamanya, abadi. Tapi ternyata hanya sementara.
Bibirnya mengukir senyum tipis yang ragu. Aku juga melihat bagaimana ia mencoba menarik napasnya yang cukup berat. Rambutnya masih tergerai panjang. Hanya ada gelombang yang membuat wajah manisnya terlihat lebih menarik.
Dia masih mengingat rumah sederhana yang pernah menjadi tempat singgahnya dulu, selepas kita menjalani kewajiban sebagai siswa yang mengenakan seragam putih-abu tersebut. Ternyata dia masih mepunyai keberanian untuk mendatangiku di sini. Meskipun aku tidak tahu apa tujuan kedatangannya hari ini. Aku hanya berharap, bukan kesakitan lagi yang kudapatkan.
“Hai ....” Akhirnya bibir tipis itu mengucap satu kata singkat dengan nada ragu. “Apa kabar?”
Aku termenung beberapa saat. Suara ini adalah suara yang sempat menjadi kegemaranku. Namun setelah dirinya memilih pergi saat itu, aku cukup menderita karena suara ini terngiang-ngiang dalam hatiku. Setelah aku sudah terbiasa dan melupakannya, suara ini kembali menyapaku dan mulai mengorek memoriku dulu.
“Tidak bolehkah aku masuk? Atau setidaknya, bolehkah aku duduk di kursi teras ini?”
Ah! Benar saja. Seketika aku bukanlah tuan rumah yang baik. Sedari tadi aku membiarkan dirinya berada di depan teras rumahku.
“Ah, ya. Terserah kamu mau duduk dimana.”
“Di dalam kamarmu, boleh?” balasnya yang membuat kedua pupilku membesar. “Bercanda. Di sini saja,” timpalnya lagi yang seketika membuatku merasa lega.
Dia duduk di sebelahku. Beruntung, ada meja bulat yang menjadi pemisah di antara kami berdua. Telunjukku menggaruk kening yang sebenarnya tidak gatal itu.
“Tunggu di sini sebentar. Akan aku ambilkan minuman untukmu.”
“Teh tarik,” ucapnya langsung yang membuat hatiku cukup tersentak. “Sudah lama aku ingin minum teh tarik buatanmu.”
Tanpa membalas kalimatnya, aku ke dapur, membuatkan pesanan untuk tamuku hari ini. Susu kental manis, teh celup, semuanya bahan dasar sudah ada di sini. Tidak lupa aku menambahkan beberapa tetes rum, yang membuat teh tarik buatanku lebih terasa nikmat.
“Nih,” ujarku singkat seraya meletakkan teh tarik itu ke atas meja.
Ia langsung mengambilnya dan mengesapnya dengan bersemangat, bahkan sampai kedua matanya terpejam.
“Ah, enak sekali. Bahkan di kafe termahal di Jakarta pun, aku tidak pernah merasakan teh tarik seenak buatanmu.”
Aku tersenyum kecut. Beruntung aku masih ingat takarannya. Sejak kepergiannya, teh tarik adalah minuman yang paling kuhindari, karena aku tidak mau teringat akan dirinya.
Bibirku kaku hendak membalas kalimatnya. Padahal dalam hatiku, banyak sekali yang ingin kutanyakan. Tentang kabarnya, tentang alasannya pergi dan alasannya kembali menemuiku.
“Kamu tidak banyak berubah, Paul. Kamu tidak berniat untuk memanjangkan rambutmu lagi?”
“Tidak. Begini lebih baik. Kalau ke pesta, aku tidak terlalu repot.”
Tentu saja bukan karena alasan tersebut. Lebih tepatnya, karena dari dulu dia yang selalu memilih model rambut untukku dan ini adalah potongan model rambut terakhir sebelum pertengkaran hebat kita kala itu.
Wajah manisnya tertunduk. Aku tidak berani menoleh ke arahnya, tapi kemudian aku mendengar suara isakan kecil yang akhirnya memaksaku melihatnya. Beberapa tetes air mata sudah jatuh membasahi lantai keramik terasku.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanyaku ragu.
Ternyata pertanyaanku membuatnya tertawa kecil. Ia mengangkat wajahnya dan menatapku. Kedua matanya masih berkaca-kaca, namun kini ia malah tersenyum.
“Aku akan menikah.”
TARRR!!
Entah kenapa kalimatnya sangat mengusik hatiku. Tentu saja aku tidak mengerti kenapa ia mau memberitahukannya kepadaku. Apakah karena ia ingin menunjukkan bahwa dirinya benar-benar bahagia saat pergi dariku?
“Good, congrats for you both,” jawabku sekedarnya. Seketika dadaku mulai terasa sesak.
“Bagaimana denganmu?”
Kalimatnya kembali membuatku tercengang. Aku tidak mengerti dengan pertanyaannya.
“Aku? Aku belum terlalu terburu-buru mencari pasangan hidup,” jawabku lagi.
“Bukan. Maksudku, apakah kamu baik-baik saja jika aku menikah?”
Pertanyaan macam apa ini? Apakah ia masih mau menguji hatiku? Aku tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalaku seraya menatapnya.
“Apa maksudmu? Tentu saja aku baik-baik saja. Akan kuusahakan datang ke acara resepsimu. Itu pun jika kamu dan calon suamimu mau mengundangku nanti. Tapi ingat, jangan terlalu mendadak. Aku harus cuti kantor dua minggu sebelumnya.”
“Jadi, kamu tidak apa-apa? Kamu baik-baik saja?”
Kedua matanya menatapku dengan tatapan yang menggoyahkanku. Tapi aku melemparnya dengan senyuman, mencoba mempertegar jawabanku.
“Tentu saja. Aku baik-baik saja. Kamu akan menikah, bahkan kamu sampai mengunjungiku lagi ke sini untuk memberitahukan hal ini kepadaku. Aku tentu harus turut berbahagia atas hal ini.”
“Benarkah?” tanyanya lagi bergetar. Kedua matanya mengalirkan air yang lebih deras. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Waww ... lihat, kamu sampai menangis. Pasti kamu sangat bahagia dan lega. Tenang saja, aku pasti akan—“
“Tapi kenapa aku tidak merasa baik-baik saja?” ujarnya lirih yang membuat jantungku hampir berhenti berdetak. “Ternyata aku salah ....” timpalnya lagi yang mengorek lagi rasa penasaranku.
“Hei, bukankah seharusnya kamu bahagia dan bersemangat karena kamu akan menikah? Apa pernikahan ini dipaksakan?”
Ia menggelengkan kepalanya.
“Apa calon suamimu bukan orang yang tampan, mapan dan perhatian?”
Kusebutkan tiga kriteria lelaki idaman yang selalu diucapkan olehnya kepadaku. Kembali ia menggelengkan kepalanya.
“Kamu masih mengingatnya,” ujarnya dengan tawa kecil, namun tetap dalam linangan air mata itu.
“I-iya,” jawabku gelagapan. “Kalau ada masalah, sebaiknya kamu rundingkan dengan calon suamimu, bukan datang ke sini. Pulanglah, Eca.”
“Akhirnya kamu menyebut namaku. Tapi kamu malah menyuruhku pulang.”
Keningku berkerut. Aku semakin tidak mengerti dengan dirinya. Aku baru tersadar, memang sedari tadi aku tidak memanggil namanya. Lidahku hanya terasa kelu, setiap kali hendak menyebutnya. Aku berdiri.
“Kalau teh tarikmu sudah habis, sebaiknya kamu pulang dan selesaikan masalahmu dengan calon suamimu. Aku tidak bisa berbuat apapun untuk membantumu,” ucapku lalu hendak masuk ke dalam rumah, meninggalkan teras ini dengan dirinya.
“Paul ....” Langkahku terhenti saat ia memanggil namaku dan menarik tanganku.
“Ca ....”
“Aku ... Aku minta maaf,” ujarnya lalu memelukku dari belakang.
Perlahan aku melepaskan tangannya, lalu aku membalikan tubuhku, sehingga kedua mataku bisa menatap pupilnya. Ibu jariku menyeka air matanya.
“Ca, sudahlah. Aku sudah melupakannya,” ucapku lagi. “Pulanglah, mungkin calon suamimu sedang mencarimu sekarang.”
“Tidakkk!!!” Ia menjawabku dengan nada yang meninggi dan tegas. Air matanya kembali mengalir dengan deras. Ia kembali hendak memelukku, namun aku langsung menghindar dengan cepat.
“Ecaa ... sudahlah. Tidak sebaiknya kita—“
“Kenapa? Apa kamu sudah benar-benar melupakanku?”
“Apa maksudmu? Ca, kamu sebentar lagi akan menikah.”
“Lalu kenapa?”
“Kenapa?” Satu alisku terangkat. “Tentu saja kamu harus—“
“Aku tidak bisa. Ini benar-benar menyiksaku.”
“Ecaa ....”
“Paul, aku tidak menyangka jika kamu sudah bisa terbiasa tanpaku. Kupikir aku juga bisa, tapi kenapa—“
“Ecaa, sudahlah. Sudah kukatakan aku tidak apa-apa. Baiklah, aku berjanji akan datang ke hari penikahanmu nanti.”
“Tidak!”
“Maksudmu apa?” Aku semakin tidak mengerti dengan setiap kalimat yang dikatakan olehnya.
“Aku bisa benar-benar gila. Perasaan ini membunuhku. Kamu, kamu Paul ....” Telunjuknya menekan-nekan ulu hatiku.
“Caa ....”
“Kenapa aku tidak bisa melupakanmu?! Kenapa?! This is insane!”
“Kamu ....”
“Aku berharap kamu akan memintaku untuk membatalkan pernikahanku. Tapi kenapa kamu malah menyuruhku pulang. Semudah itukah? Setega itukah kamu mengatakannya padaku?”
“Lalu apa yang kamu harapkan, Eca?!!”
Emosiku mendadak naik. Perasaanku campur aduk, membuatku bahkan sangat sulit untuk bernapas. Ini juga mengoyak-ngoyakkan perasaanku.
“Paul, aku mau kamu kembali. Aku mohon. Aku ingin kita. Aku ingin kita bersama lagi.”
“Apa kamu gila?”
“Ya, kamu bisa katakan jika aku memang gila. Tapi aku benar-benar ingin kamu berada di sisiku lagi. Tolong izinkan aku untuk kembali.”
“Lalu bagaimana dengan pernikahanmu? Bagaimana dengan calon suamimu dan seluruh keluarga kamu dan keluarga dia? Apa kamu—“
“Iyaaa!! Aku sudah tidak peduli. Aku hampir mati rasanya setiap kali mengingat ini.”
Lututnya terlihat lemas. Ia bahkan sampai terduduk, mungkin karena emosinya juga turut menguras energinya terlalu banyak. Aku mengimbangi posisi tubuhnya. Perlahan kedua tanganku sudah dibahunya.
“Sudahlah. Kamu perlu beristirahat. Setelah kamu bangun, kamu akan merasa lebih baik.”
“Taukah kamu, berapa banyak mimpi buruk yang selalu aku dapatkan setiap kali aku tidur? Karena aku merindukanmu. Aku ingin bersamamu lagi. Paul, aku mohon. Aku akan melakukan apapun yang kamu minta. Paul ....”
“Kamu gila, kamu benar-benar gila. Bukankah kamu yang memintaku untuk pergi? Ah, tidak. Lebih tepatnya, kamu yang meninggalkanmu. Kamu yang memilih untuk mengakhiri hubungan kita. Cinta terlarang yang kamu bicarakan itu?”
Otakku masih mengingat dengan jelas setiap kata yang ia ucapkan. Semua kata yang menusukku, membuat ujung jemariku terasa sangat pedih. Karena memang aku sudah tahu hubungan kita berdua ini salah, tapi aku hanya tidak bisa mengendalikannya.
Menatap matanya, mendengarkan suaranya, celotehannya, bahkan menyeka air matanya adalah kegemaranku. Di sisinya, aku merasa tenang dan bunga hatiku terus merekah. Meskipun aku tahu, jika hubungan kami kala itu tidak sebaiknya dilanjutkan.
“Eca, taukah kamu betapa sulitnya aku saat itu? Taukah kamu mimpi buruk juga selalu mendatangiku sejak saat itu?! Karena aku juga merindukanmu. Bahkan rasanya aku ingin mati saja karena kamu benar-benar tidak ingin menemuiku.”
“Aku minta maaf, aku benar-benar minta maaf, Paul.”
“Kamu yang mengatakan bahwa tidak seharusnya kita seperti ini. Kamu yang mengatakan bahwa jijik kepadaku. Kamu masih mengingat itu? Lalu, sekarang kamu ingin kembali padaku? Apa kamu sudah gila?”
“Aku tidak pernah jijik kepadamu, Paul. Aku ... aku hanya tidak berani saat itu. Paul, kita masih SMA saat itu. Aku tidak tahan dengan cibiran orang yang sudah mencurigai hubungan kita. Kamu tau bagaimana keluargaku yang begitu religius. Aku tidak mungkin untuk—“
“Karena itu, pulanglah Eca. Aku tidak akan mengusik kamu dan keluargamu lagi. Calon suamimu pasti sesuai dengan kriteria keluargamu. Religius. Aku juga berdoa kepada Tuhan, Ca! Aku juga takut berbuat dosa. Tapi saat itu, hatiku adalah satu-satunya bagian tubuh yang tidak bisa kukendalikan.”
“Bagaimana dengan sekarang?”
Aku tidak menyadari ternyata air mata juga mengalir dari sudut mataku. Sekarang aku juga mulai terisak. Kenapa dia kembali datang? Sehingga membuka kotak memori yang sudah lama aku kuburkan?
“Eca, sudahlah! Cukup, aku bilang cukup!!”
“Paull ....”
“Kamu sendiri yang bilang—“
“Aku tidak peduli. Aku tidak peduli dengan kata orang. Termasuk keluargaku. Aku tidak bahagia. Ternyata sangat sakit kehilanganmu, Paul. Aku tau aku salah, aku yang pergi meninggalkanmu. Tapi aku benar-benar tidak bisa melupakanmu, bahkan sedetik pun. Paull ....”
“Ecaa!! Sudahlah ....”
“Akan aku batalkan semuanya. Akan kukatakan bahwa aku tidak siap menikah. Tidak apa jika keluargaku membuangku. Aku tidak peduli lagi dengan kata orang, aku tidak peduli dengan semuanya. Aku hanya mau bebas bersamamu, Paul.”
“This is insane, Ca!! Kenapa kamu datang lagi? Taukah kamu sesulit apa aku mencoba bangkit dan terbiasa bersamamu. Aku tidak bisa melawan, karena tau apa yang kita lakukan itu adalah salah. Tapi ini tetap sakit, sangat sakit. Dan kamu mau datang lagi, aku hanya tidak tahu ....”
Aku tahu, kalimatku ini membuatnya kembali terisak. Tapi aku juga tidak bisa menahannya. Aku tidak berani lagi memeluknya saat ia menangis. Karena aku takut, jika hatiku jauh lebih terluka lagi.
“Paul, aku mohon. Kita bebas menentukan pilihan kita. Dan aku memilih kamu untuk itu. Please ....”
“Ca, kamu sendiri yang bilang kalau yang kita lakukan itu salah. Dan itu benar, Ca.”
“Salah? Yang salah itu adalah meninggalkanmu karena ketakutan sementaraku, Paul!”
“Lalu bagaimana jika nanti kamu pergi lagi? Tidak akan ada kebebasan untuk hal seperti yang kita inginkan, Ca.”
“Tidak, tidak akan kulakukan. Bahkan saat bersama dia, kamu masih mengisi otakku, Paul. Aku tidak akan ke sini kalau aku tidak yakin. Paul, aku mohon. Aku rela tinggalkan semuanya. Pleasee ...”
“Ecaa...”
“Paul, aku mohon....”
“Ecaaa!!”
Aku segera memeluknya dengan erat. Sangat erat. Ia membalas pelukanku. Air mata kami berdua berjatuhan tanpa terkendali. Aku tidak ingin melepasnya. Tapi aku tahu, bahwa jika aku menyetujui permintaannya ini, aku sudah melawan norma yang berlaku di masyarakat.
Perlahan aku melepaskan pelukanku. Aku menyeka air matanya, lalu air mataku. Saat isakannya sudah sedikit mereda, kedua tanganku meraih bahunya, membantunya untuk berdiri. Kugenggam jemarinya yang sudah lama hilang dariku, mengelusnya sejenak.
“Paull ...”
“Vannesa Malorez, tidak seharusnya kamu mengunjungiku. Vannesa bukan untuk aku, bukan untuk Pauline. Cukup kamu memanggilku dengan sebutan Paul. Namaku Pauline, Ca. Bukan Paul. Setiap kali mendengar kata Paul, aku sangat membenci itu.”
“Paulll ....” Sepertinya ia tidak peduli dengan ucapanku. Ia kembali memohon, namun aku melepaskan tangannya.
“Tidak ada pelangi yang berlaku di kehidupan kita, Ca. Vannesa tidak seharusnya bersama dengan Pauline. Kamu takut dengan pelangi itu. Pulanglah, Ca. Aku tidak apa.”
“Paull, aku mohon. Aku mohon, beri aku kesempatan sekali lagi,” ujarnya kembali dengan suara bergetar.
“There’s no place for us here, Ca. There will be no us here. There will be no rainbow for us. Because the world hate the rainbow, Ca. We will not be free, Ca. I’m sorry and wish you will be happy forever.”
Aku langsung masuk ke dalam rumahku dan mengunci pintu dengan rapat. Kudengar ia mengetuk pintuku dengan kuat, meraung dan memohon. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa membuka pintu ini lagi. Bahkan aku sudah bersandar pada daun pintu dan terduduk, karena kakiku sangat lemas.
“Paul, bagaimana jika aku sudah sangat siap dengan pelangi itu? Akan kuucapkan kepada dunia. Akan kuteriakkan betapa aku ingin kamu. Betapa aku ingin menunjukkan the rainbow between us. Paulll!!”
Aku mendengar suaranya dengan jelas. Meskipun kedua tanganku sudah menutup telinga. Tapi hatiku pedih sekali. Rahangku bergetar dan tidak energiku sudah habis menahan semua ini. Tidak kubukakan pintu itu, meskipun suara ketukan pintu masih terdengar dengan jelas.
Vannesa Malorez, dia adalah wanita terindah dalam hatiku. Yang sangat ingin kumiliki, namun aku terlalu takut berhadapan dengan dunia yang masih menolak kehadiran sang pelangi yang terjadi pada kita berdua. Pauline dan Vannesa.
By, Loris Hanadela