“mengapa engkau waktu itu
putuskan cintaku
dan saat ini engkau selalu ingin bertemu
dan memulai jalin cinta”
Lantunan demi lantunan dari suara Mario Ginanjar, Hedi Yunus dan Carlo Saba memenuhi ruang-ruang didalam telingaku melalui earphone. Duduk sendiri sambil menikmati secangkir Caffé Breve, varian dari kopi yang paling aku suka, bukan hanya penyajiannya tetapi campuran yang tercipta antara Espresso serta gabungan krim dan susu yang keduanya dimasukkan ketika dalam kondisi hangat sehingga menciptakan busa-busa yang sangat nikmat. Busa-busa pada susu dan cream inilah yang membuat aroma Espresso didalamnya menjadi lebih menggigit, perpaduan susu dan juga cream yang dipanaskan tentunya tanpa tambahan gula menjadikan rasanya lebih nikmat dibandingkan latte-latte kebanyakan, sekilas mirip Caffé Latte tapi, perbedaan diujung lidah yang bakalan bikin aku lebih terpuaskan dengan Caffé Breve. Sama seperti hari ini, aku lebih memilih untuk datang duduk termenung sendiri menatap ke segala penjuru orang-orang yang berlalu lalang di hari Sabtu akhir bulan seperti ini, kalau bahasanya anak jaman sekarang aku galau, menanti detik demi detik dan melihat terus ke arah jam yang ada disebelah kiri tangan ku.
Aku memilih duduk di area luar, suka dengan melihat sekeliling, entah hormon apa yang menyebabkan aku lebih suka memperhatikan tingkah laku orang lain, mata ku menatap di kejauhan ada suami, istri dan juga seorang bayi perempuan lucu memakai baju-baju ala princess gitu, entah ini yang ingin terlihat eksis ibunya kah atau malah bapaknya yang tidak kesampaian untuk menjadi seorang putri kerajaan. Mata ku beralih ke arah jam 3, di sana aku melihat sepasang kekasih yang sampai-sampai aku mendambakan nanti akan terjadi kepada ku, mereka berdua masih saja mesra meski sang wanita sudah menggunakan kursi roda dan berambut putih semua. Selepas itu aku memalingkan pandangan ku ke arah kedai cemilan Makaroni, antriannya cukup panjang padahal sudah ada 2 kasir yang melayani konsumen, tetap saja banyak yang mengantri, berarti cemilan itu bukan hanya sedang hype tetapi memang enak untuk dijadikan teman di saat sendirian kaya aku ini, aaaahhh tapi mana boleh membawa Makaroni itu untuk aku jadikan teman di samping gelas Caffé Brave ku. Jam masih membawa detik-detik secara perlahan saat aku melihatnya kembali, penglihatan ku masih terus bergerilya untuk melihat tingkah laku para pencari kenikmatan tersier di tengah hiruk pikuknya pekerjaan dan beban yang mereka bawa sejak berada di Jakarta ini.
“Ernest……” ada suara yang memanggil ku dari arah belakang.
***
Sabtu di awal minggu bulan Januari. Seperti lagu yang dibawakan oleh alm. Glenn Fredly, namun berganti liriknya “Kisah kita, berawal di Januari”. Awan di sudut ibu kota berwarna abu-abu seperti sedang memeluk langit yang tanpa batas, tidak ada yang tahu secara tepat cuaca di Jakarta ini apakah siang atau sore, sedang berawan atau akan muncul rintik hujan. Kecuali jam yang menjadi penunjuk waktu saja secara akurat menginformasikan bahwa hari ini masih tepat pukul dua siang. Atau juga ada informasi cuaca yang mengabarkan akan adanya hujan yang sangat lebat. Aku menemukannya secara tidak sengaja, saat kami sama-sama mengambil sebuah dasi yang kami incar dari pertama kali melihat, tangannya masih sama, harum rambutnya pun tidak ada yang berbeda, aroma tubuhnya masih sama, tidak akan pernah aku lupa perpaduan bunga Cranberry dan juga Vanilla dari Paco Rabanne Black XS for Her, dia masih memakai parfum itu, parfum yang aku rekomendasikan karena aku juga menggunakan versi Black XS nya. Dan yang pasti tatapannya masih menyisakan kelembutan tiada tara untuk aku selalu ingat dan berhasil lagi merobohkan pertahanan hormon Dopamin dan Norepinefrin ku.
“hay, Fay……..” ucap ku penuh gemeteran
“hay juga Nest, pa kabar kamu…… parfum kamu masih sama”
Sesaat kami saling menatap satu sama lain, jantungku berdegup kencang seketika.
“baik,,baik,,,lagi apa kamu…..??” pertanyan bodoh yang terucap dari ku.
“aku lagi nyari dasi buat suami ku, kamu sendiri??”
“sama kalo gitu, aku juga nyari dasi, dan kebetulan pilihan kita sama, hehehe..”
“hahahaha, iya iya,, kamu aja deh yang ambil itu dasi, aku cari yang lain…”
“haaalllaaaaahhh, tadi kan kamu duluan yang udah mau ambil, jadi kamu aja yang beli itu dasi…” sergah ku menyerahkan dasi kepadanya
“udah kamu aja yang beli….” dia tetap memaksa, dan tidak berubah, keras kepala.
Hampir 20 menitan kita berdebat siapa yang harus mengambil dasi itu, Sales Promotion Girl yang ada di sekeliling kami hanya senyum-senyum saja melihat kami berdua seperti peserta debat lomba cerdas cermat tingkat kelurahan. Hingga akhirnya Faya yang mengalah untuk membeli untuk suaminya, sedangkan aku mencoba untuk tetap tersenyum karena tidak mendapatkan dasi yang model rajut tersebut. Aku mengikutinya ke meja kasir untuk membayar belajaan ku, begitupun dengan dia. Entah siapa pertama yang merayu hingga akhirnya kita berdua sepakat untuk menikmati makan siang bersama, duduk berdua di restoran bernuansa Italia, untuk pilihan ini kami tidak berdebat karena sepertinya kami sama-sama mengetahui tempat yang akan kita tuju untuk makan siang.
Dia memesan meja yang sedikit lebih ke dalam, seperti tidak ingin ada yang melihat atau mengganggu, posisi kami tapi sungguh bagus, Faya duduk persis membelakangi sorotan lampu jadi dia terlihat begitu indah dengan tampilan belakang yang meneranginya. Rasanya aku ingin loncat-loncat kegirangan di depannya, sambil berjoget-joget laksana pemuda yang bisa mengajak kencan kekasih hati dari kampung sebelah.
“Kamu pesan apa???” tanyanya membuyarkan imajinasi liar ku
Dia memesan Black Ink Risotto, tetap tidak berubah. Faya adalah penyuka makanan Italia terlebih khusus kepada Risotto, semua varian tersebut dapat disantapnya secara cepat dan dengan gaya makan orang Italia, dia juga bisa memasaknya. Entah dari mana dia mendapatkan keahlian seperti itu, aku mengingat dulu itu anak-anak kantor paling suka kalo ada dinner party kantor dan kebagian Faya untuk mengadakannya, tidak lain dan bukan semua menu Italia bakalan terhidang cantik di atas meja, mulai dari Appetizer, Main Course, dan Dessert, dan itu semua dia yang masak. Aku memesan Spaghetti Bolognese, karena dia juga akhirnya aku menyukai makanan ini. Kudapan khas Italia yang di negara asalnya malah bukan menggunakan Spaghetti melainkan Fettucine, begitupun dengan bumbu-bumbunya yang menurut ku lebih aromatik karena menggunakan cacahan Bawang Bombay, Daun Parsley, Wortel hingga Seledri, ya semua berkat dia yang mengajari ku tentang kuliner Italia selama menemani hidup ku beberapa waktu yang lalu, tapi itu dulu, bukan sekarang.
“sibuk apa kamu sekarang???” tanyanya
“biasalah, masih nyari sebentuk hati buat kekasih nih….hahahaa”
“hahahhaa, jayus, jayus,,gak berubah-ubah yee masih tetep jayus…”
“sama kamu pun gak berubah, masih tetep seperti Faya yang dulu….”
Wajahnya tersenyum simpul, itulah yang aku suka dari senyumnya, sederhana namun memberikan kesan yang sangat indah dan tak lekang.
“udah lama ya kita gak ketemu, heeeeemmm 5 tahunan kah???” tanyaku
“lebih tepatnya 6,5 tahun, terakhir saat kamu pergi entah kemana, hehehee..” dia menjawabnya dengat tepat, aku tak menyangka ia dapat mengingat tahunnya dengan betul
“ya waktu itu, aku pengen nambah ilmu makanya harus menjauh dari keramain ibukota,,,haaaalllaaahhh…”
“ooaaaalllaaaahhhhhh, buat ngerebut aku aja kamu mesti pake ilmu-ilmu begituan ya…ppffttttttt” haaannnjjiiirr, jawabannya dia sungguh bikin muka ku salah tingkah
“jangan merah gitu dong mukanya….” Ledek dia lagi, dan akupun tak mau kalah
“percuma aku pake ilmu-ilmu begituan, toh kamunya juga gak pernah mau merasakan sedikit dari aku kan…..” yeeessss, mukanya terlihat lebih salah tingkah dibandingkan aku, untungnya pesanan kita sudah pada datang, jadinya bisa cair kembali suasananya.
“andai aku bisa
ingin aku memelukmu lagi
di hati ini hanya engkau mantan terindah
yang selalu ku rindukan”
“Nest, kamu masih inget gak sih, sama Momo???”
“Momo si Morenzo maksud kamu??” ia menjawabnya dengan anggukan yang anggun.
“inget, kenapa tuh anak, aku sih dah lama gak tau kabarnya….”
“beberapa hari lalu kali ya, aku gak sengaja ketemu di Plaza Senayan saat lagi sama-sama ngantri buat beli elektronik…”
“lalu……”
“dia mau merit….and you know what, who a partner???” tanyanya kepadaku dengan senyum penuh arti
“heeemm,,let me guess, dulu kan nih anak naksir banget sama Catherine, anak Advertising yang pernah kerjasama sama kita, that’s right??”
“teeeetttttoootttt,,,you wrong…I’ll give you one chance…” katanya sambil menyendok Risotto nya.
“how about Larras??? jaman-jaman kuliah mereka kan jalan terus kepisah karena si Momo mesti ngejar S2 nya di Orlando…??”
“nooooo,,,you wrong again….hihihihihihi,, dia gak nikahin wanita-wanita yang udah pernah deket….”
“and, who she lucky women??” tanyaku lagi penuh penasaran
“bentar ya, aku mau ke rest room dulu,, dah gak tahan nih…..”
“aarrrrrggghhhhhhhhh, sengaja ya kamu bikin aku penasaran…..”
“yes, I knew you…..” melangkah melewatiku sambil membelai lembut wajahku.
Morenzo Gunadarma, lelaki yang disukai oleh banyak wanita, kaya, charming, pokoknya semuanya serba awesome. Kita pernah membuat EO termasuk dengan Faya didalamnya yang menjadi bagian humas, Momo dikenal dengan pemikiran yang out the box, kadang pemikirannya yang ngebuat klien kita mau menandatangani kontrak selama bertahun-tahun dengan kami. Dan sebentar lagi dia akan menikah, wanita manakah yang beruntung memiliki lelaki sehebat Momo. Pertemanan kami memang rada aneh, saling kenal karena tertarik dengan dunia Advertising, mengikuti workshop berkali-kali dan pernah di dalam group yang sama dalam mengerjakan project, namun baru benar-benar aku mengenal Momo ini saat Faya memperkenalkannya sebagai partner in crime nya mereka dalam penggalangan dana suatu acara corporate besar. Morenzo dikenal dengan tipikal yang easy going tapi kalo udah urusan rencana dia yang paling bener kerjaannya, EO kami sempat berjaya kurang lebih 4-5 tahunan selama masa tersebut beberpa corporate besar juga sudah kami pegang, mulai dari perbankan, developer, sampai ke FnB juga kami sudah jalanin. Namun memang kepergian Momo ke Orlando membuat segalanya seperti tidak berjalan baik, walaupun kami juga sudah beberapa kali mencari orang-orang yang berkompeten, namun tidak bisa berjalan sesuai keinginan, selain itu aku pun mulai tidak fokus untuk mengembangkan EO ini, akhirnya kandas juga perjalanan kami bertiga mendirikan EO yang cukup membanggakan ini. Seketika lamunan ku dibuyarkannya.
“masih penasaran dan nebak-nebak ya…..” tiba-tiba ucapannya membuatku tersadar
“hahahhaaa, masih sama ya, selalu bikin orang penasaran terutama aku….”
“iiihhhhh, jleebbb banget tuh…hihihihihi…”
“dah kasih tau si Momo mau nikah sama siapa dan kapan…..”
“undangannya ada dirumah, tapi aku dikasih invitation via messege kemarin, nih liat aja sendiri…..” Faya menyerahkan handphone nya
“wwwoooo,, dia nikahnya di Singapore…..” ucapku penuh bangga
“yup, dia akan nikah di Singapore akhir bulan ini, pas banget nuansa romantis buat di bulan Februarinya….”
“ooohhh,,, it so romantic word…” aku masih terus membacanya
“yes, he wrote the romantic words for hi …….. m” kalimatnya terputus karena,
Aku memotong kalimatnya, “it’s a seriously??Momo get marriage with Anton…you not been kidding haahhh…. “ aku mengungkapkan ekspresi yang sangat kaget.
“yes, it’s a true event, kamu gak liat sih dengan kepala mata sendiri pas kemarin lagi sama-sama ngantri, mereka klop banget…” Faya menjelaskan
“kalo Anton gw gak kaget sama tuh anak, tapi Momo,, hhahahaha, happy for them pastinya…!!”
“that’s love, the simple feel but not a simple reality,, hehehe…”
“kaya kita dulu ya….. kalo aku sampe sekarang malah…” ucapku penuh makna
Kita, goblok juga aku mengucapkan kalimat tersebut, itulah kata yang masih aku ingat saat dulu kita pernah mencoba mengalahkan segala macam ego dan kepentingan masing-masing, aku mengalah untuk kamu dan kamu menenangkan untuk aku. Indah memang masa itu, hingga aku yang merusaknya sendiri. Aku mengakui itu, aku meratapinya penuh dengan penyesalan dan kebodohan, tak terkira dan tak terperi. Kamu pergi, aku menghilang, tapi tidak dengan rasa dan juga kenangan ini, semoga juga kamu.
“gimana kerjaan kamu......” tanya Faya
“aku lagi ambil cuti, soalnya minggu depan aku mesti pergi ke New Jersey“
“berapa lama disana…..”
“dihhhh, kok nada nanyanya gitu sih, takut kangen ya….pppfffttttttt…”
“yeeeeeyyyy, sori du mori beybi ya, cuma buat ngeyakinin aku aja, kalo nanti aku gak perlu lagi sama kamu buat nemenin ngopi-ngopi….” Jawab Faya santai
“gak apa-apa deh cuma sekedar temen minum kopi, yang penting aku gak akan pernah berubah kok sama kamu….”
“engkau meminta padaku
untuk mengatakan bila ku berubah
jangan pernah kau ragukan
engkau kan selalu di langkahku”
“nggggeeegooombbaalll,,, wwwoooooooooo……eh aku mau pesen biscuit tortoni nih, kamu mau apa???”
“masih pengen ya lama-lama ngeliat aku,, hihihihihi…” aku kembali melihat menu penutup
Pikiran ku melayang mempertanyakan mengapa ia memesan biscuit tortoni, selama aku mengenal Faya, dia hampir tidak pernah memesan menu penutup ini, biasanya antara Zabaione atau Tartufo. Aku langsung mengingat-ingat pertama kali Faya mengenalkan makanan khas Italia, tentang menunya, tentang sejarahnya, bagaimana pembuatannya, hingga rasa dan maksud dari aroma-aromanya.
Biscuit Tortoni merupakan hidangan penutup yang memang menjadi primadona bukan di negaranya melainkan di negara Perancis, Guiseppe Tortoni yang membuat krim kocok yang awalnya untuk es krim namun dikemasnya di dalam sebuah mangkuk kecil dengan taburan-taburan kacang alomond, buah ceri dan juga remahan-remahan biskuit, krimnya di kocok dengan telur lalu diberikan rum untuk menguatkan rasanya, setelah krimnya mengembang lalu dibekukan didalam lemari es barulah disajikan dengan remahan-remahan biskuit, kacang almond dan buah ceri. Faya pernah menceritakan bahwa pencetus hidangan ini karena Tortoni mengenang masa-masa indahnya saat masih berada di Italia, lalu sekarang dia berada di Perancis sebagai imigran, masa-masa indah itulah yang memberikan ide Biscuit Tortoni ini tercipta.
“hoooyyyy, milih desserts aja sampe ngelamun...” suara Faya mengagetkan ku.
“aku mau zuppa inglese aja deh, pengen ngerasin rum yang asem manis gimana gitu kaya kamu,,hehehehe…”
“dessert kamu masih sama ya, gak pernah berubah!!” ucapnya dengan memiringkan sedikit kepalanya sambil tersenyum manis.
Setelah kami memesan desserts, rasanya aku tidak ingin ini cepat berlalu, aku ingin ada hari-hari lain untuk dapat kita saling tertawa kecil tentang kita yang dulu dan sekarang, aku berharap akan ada menu-menu Italia lain yang akan kita nikmati dari hidangan pembuka, utama dan juga penutup. Jujur aku ingin itu semua bisa terjadi meski pertemuan nanti kami susah untuk diwujudkan.
Kehadirannya sebetulnya jelas dan gamblang tersirat, tapi saat tersurat bisa begitu sulit, susah untuk dimaknakan entah dengan penyataan atau dengan pertanyaan, selalu berputar berkali-kali, tentang aku dan kamu. Namun tetap kembali ke awal, Nol. Bilangan yang tidak akan pernah menghasilkan harapan, hanya kesemuan baik itu saat kami masih bersama, ataupun saat ini. Ia yang sekarang sudah mempunyai suami, dan aku masih berharap untuk dapat menciptakan kenangan lagi bersamanya. Ibarat memasak air, yang sebentar lagi airnya akan mendidih, uap yang terus menggumpal didalam penutup panci, apakah dibiarkan pergi lalu meluap kemana-mana ketika tutupnya dibuka, atau matikan kompornya, dan tetap tutup pancinya agar tetap terjaga disana uapnya.
Dan sekarang tetap sama, bergumul dengan cerita tanpa awal dan akhir. Bingung menentukan dimana start dan letak finish nya. Tanpa jeda, hanya sebuah prolog dan epilog dengan tambahan koma dan berharap tanpa titik.
“gimana kabar suami kamu, dia sehat-sehat aja kan….” tanyaku memecah kesunyian
“baik, baru minggu kemarin dia dapat promosi jabatan, tugasnya makin banyak…” jawabnya sambil mengunyah tortoni nya.
“kamu pasti bangga dong, kan dibalik pria hebat selalu ada wanita yang lebih hebat…hehehehe”
“aku lebih bangga, kalo itu kamu…..” daaaaammnnn, lagi-lagi dia mengucapkan sesuatu yang bikin segalanya gak jelas
Waktu terus melamatkan sesaat demi sesaat, cahaya mentari di luar sana telah tergantikan oleh bola-bola lampu di jalan yang menyala dengan teratur, seolah-olah ada yang mengatur pendarnya untuk menyala secara perlahan-lahan, mulai dari redup hingga terang benderang. Sore mulai menggeliat usang ingin digantikan oleh senja yang berusaha untuk merayap perlahan. Seketika malam pun turun tanpa gemintang yang menggantung di langit-langit yang seakan-akan merestui pertemuan ini. Hanya angin yang ikut menghembuskan nafasnya secara perlahan-lahan, malu-malu melalui celah-celah kecil di sekat-sekat jendela restoran ini. Berhadapan dengannya lagi malam ini begitu manis, setidaknya untuk sekadar sebuah kisah nostalgia yang ingin terulang atau ingin diulang, hanya itu.
“kapan kamu mau kenalin cewek kamu??” tanya Faya
“ya ampuuunn, dari tadi siang kita ngobrol tuh kamu masih gak percaya kalo aku masih single..” jelas ku sambil meminum air mineral entah untuk gelas yang ke berapa.
“ya engga lah, seorang Ernesto Nusantara masih sendirian....” dan dia melanjutkan lagi “atau jangan-jangan karena kamu belum bisa ngelupain aku yaaaa....” kata dia terkekeh.
Deeeeggghhh, ucapannya seakan-akan membuat degup dada ini berhenti untuk sepersekian detik, heeey Faya kenapa kamu masih meragukan, kenangan kita itu belum tergantikan oleh apapun, apa kamu tidak melihat guratan mata ku yang berpendar keceriaan ketika menatap kamu, apa kamu tidak merasakan bedanya ketika kita saling bertatapan, aku yang tidak pernah sekalipun terlewat melihat stories kamu dan keluarga mu, aku yang memang sengaja mengaktifkan notifikasi khusus untuk akun kamu agar aku tidak terlewat tentang kamu meski sebatas di media sosial, apa kamu masih bisa bilang kalau aku belum bisa melupakan kamu.
“ddrrrttttt…….ddddrrrrttttttt…dddddrrrttt” getaran handphone nya di atas mejad membuat Faya segera mengambilnya
“aku duluan ya, lusa kita ketemu lagi ya di sini, please….” Ucapnya dengan nada dan raut wajah yang hampir sama, panik.
“kamu kenapa Fay??? something wrong on your messege??” tanya ku bangkit dari sofa
“im fine, thanks for you care, janji ya lusa kita ketemuan lagi di sini, di tempat yang sama… bill nya aku yang bayar, see you...” ia lalu bergegas pergi, melihatkan punggungnya untuk aku ratapi, lagi tanpa pernah aku ketahui akankah kembali.
“ia lusa kita ketemu lagi… miss you” aku berkata dalam setengah pelan, berjanji untuk bertemu dengannya lagi, lagi dan lagi.
***
“mau dikatakan apa lagi
kita tak akan pernah satu
engkau di sana, aku di sini
mesti hatiku memilihmu”
Lantunan demi lantunan dari suara Mario Ginanjar, Hedi Yunus dan Carlo Saba memenuhi ruang-ruang di dalam telingaku melalui earphone. Sungguh semua lyric yang diciptakan oleh Yovie Widianto ini bisa bikin dada makin menelusuk dalam dan legam, maestro untuk lagu-lagu melodrama. Duduk sendiri sambil menikmati secangkir Caffé Breve, varian dari kopi yang paling aku suka diantara varian lainnya. Sama seperti hari ini, aku lebih memilih untuk datang duduk termenung sendiri menatap ke segala penjuru orang-orang yang berlalu lalang di hari Sabtu akhir bulan seperti ini, kalau bahasanya anak jaman sekarang aku galau, menanti detik demi detik dan melihat terus ke arah jam yang ada disebelah kiri tangan ku.
“Ernest……” tiba-tiba ada suara yang memanggilku
“iya, saya Ernest, anda siiaa…..” tubuh ku bangkit segera melihat orang yang memanggil ku dari arah belakang, sesaat tubuh ini bertemu.
“ddooorrrrr….ddooorrrrr…”
Dua selongsong peluru tepat mengarah ke dada bagian kiri, seketika tubuh ku langsung tumbang, orang-orang di sekeliling manampakkan wajah penuh kaget dan ketakutan.
“saya suaminya Faya…….” Lelaki itu lalu meninggalkan semuanya.
Tubuh ini lungsur tanpa arah, mata ku mempertontonkan warna-warna pastel yang sangat teduh dan segar, aku juga melihat orang-orang di sekelilingku seperti sedang berada di labirin waktu yang lambat, gerak-gerak mereka seolah berirama bersamaan pelan dan sangat pelan, aaahhh apakah ini yang dinamakan bertemu dengan ajal, tidak ada air mata yang aku rasakan, semakin lama tubuh ini semakin miring terjatuh, earphone ini terlepas dari handphone ku dan saat tubuh ku sudah terjerembab di lantai aku melihat dia terisak dari kejauhan.
“yang t’lah kau buat
sungguhlah indah
buat diri ku susah lupa”
“Thanks Kahitna for inspiration”
By, Rama Wibi