“Kalau Bapak, pisah sama Ibu. Kamu mau ikut siapa?” “Ikut yang paling banyak duitnya.”
Percakapan berakhir sesingkat itu. Setelah mengambil uang harian, aku bergegas pergi ke sekolah, begitu saja. Tanpa mencium tangan Bapak. Entahlah, bukan aku tidak mau, tapi untuk apa? Biarlah itu menjadi kenangan masa kecilku saja. Ya, dulu aku tidak pernah sekalipun lupa mencium tangan kedua orang tua itu.
Bapak tidak perah lagi bertanya untuk hal-hal yang mungkin saja menyakiti hatinya. Aku senang sekali jika bisa membuat dia terdiam. Sama halnya dengan ibu, dia sudah tidak berani lagi memancing aku untuk berkata-kata dia lebih memilih sibuk dengan pasiennya.
Aku bukan anak yang pandai berkata-kata kasar meskipun kedua orang itu secara tidak sengaja mencontohkannya padaku. Aku tidak mau seperti mereka, dua manusia tua yang tidak pernah dewasa.
Aku tidak pernah merasakan kesepian saat malam datang, isi kepalaku selalu berisik. Entah dari mana suara-suara itu datang padahal aku hanya terdiam dengan mata yang tidak pernah mudah terpejam. Aku benar-benar ingin segera terbebas dari, sekolah, rumah, dan kota sial ini.
Semudah malam meninggalkan kegelapannya, pagi selalu datang setiap hari. Aku sudah bisa memasak sarapan pagi sendiri, rice cooker sangat mempermudah untuk aku memasak nasi, mencuci baju ada mesin cuci. Kalau ibu pergi ke rumahnya di sebrang kota sana dan tidak akan kembali lagi, aku sudah tidak peduli. Ya, aku hanya belum bisa mencari uang sendiri.
Sekolahan menjadi semacam tempat pelarian untukku, tempat ini bisa membungkam isi kepalaku untuk menyuarakan hal-hal yang tidak berguna. Di saat anak-anak seusiaku berpacaran dan menikmati rasanya kasmaran aku tidak tertarik. Konyol, membuang-buang waktu, menambah pemikiran saja, tidak berguna.
“Ra, elu tau gak di ruangan BP ada anak IS 1 sama anak IPA 3.” “Bad egg or as usual?” tanyaku acuh.
Temanku itu bernama Hydra, dia memiliki bakat menyebarkan informasi tanpa terlebih dahulu menyaringnya. Tidak jarang informasi yang dia dapatkan sering membuat kami tercengang.
“Guess what?” Hydra mengembalikan pertanyaanku. “Spit it out,” ucapku pasrah. “Dua siswa-siswi dipanggil ke ruangan BP setelah dua puluh menit, mereka keluar bersama dua orang tua mereka. I’ll keep my fingers crossed,” ungkap Hydra. “The shit is going to hit the fan!” seru Salma si pencetus keributan.
Sudah kuduga, aku dan Salma terdiam. Mungkin Salma sama dengan aku yang sedang berusaha menenebak siapa dua anak itu. Setelah memberikan secuil bahan gunjingan, Hydra pura-pura sok sibuk memasukkan tanah kedalam polybag, dia menahan senyum nakal di bibirnya.
Pendidikan Lingkungan Hidup, adalah salah satu mata pelajaran yang menjadi favorit anak-anak IS. Kegiatan belajar sering dilakukan di luar kelas, biasanya di area botani miliki sekolah. Seperti saat ini, kami masih asyik mencampur tanah dan pupuk kompos.
Guru Pendidikan Lingkungan Hidup adalah orang yang selalu mengikuti isu terhangat dalam negeri, ketika harga cabai naik dan presiden menyuruh warganya menanam cabai sendiri, guruku yang yang masih muda itu ikut termotivasi untuk menyuruh kami menanam hot beauty.
Menanam berbagai tumbuhan, membersihkan lingkungan, adalah salah satu peraktek outdoor yang terdapat dalam materi pembelajaran selain membuat kerajinan dari bahan-bahan yang alam sediakan, yang sebenarnya tetap akan dibeli juga dari pasar. Alam sudah tidak sekaya dulu.
Area botani berada dekat dengan bangunan kelas IS yang memiliki tujuh ruangan kelas. Aku memperhatikan seorang siswi berjalan di koridor dengan wajah sendu. Aku terkejut melihat anak itu dan mulai kembali menerka-nerka. Hydra terkekeh-kekeh di sampingku yang tampak memeperhatikan anak itu. Aku menyadari jika Hydra memperhatikan aku dari tadi. Aku tatap matanya, dia mengangkat kedua alisnya.
“Get my drift ...” gumam Hydra senang. “You gotta kick the habbit,” ucapku lirih. Aku kesal dengan tingkah Hydra. “Party pooper,” bisik Salma pada Hydra. “Sod, it!” balas Hydra.
Anak itu adalah temanku di kelas teater, Lily namanya. Sebelumnya dia selalu memamerkan rambutnya yang katanya blonde alami, dia juga sering membanggakan betisnya yang putih mulus.
Sudah beberapa bulan ini memang awalnya dia hanya sering menggunakan hoodie oversize tapi sejak dua minggu lalu dia mulai menggunakan seragam putih abu panjang dan lebih menutup auratnya, rambut indahnya itu sudah tidak dia perlihatkan lagi, ya hanya wajah muram yang terlihat sekarang.
Sebenarnya aku sudah menduga jika dia lah orangnya, terlebih memang kabarnya sudah beredar di antara anak-anak IS. Entahlah, tiang dan dinding sekolah ini seperti memiliki kuping. Mungkin tidak ada satu rahasia pun yang bisa terdengar hening. Aku memang tidak mau ikut bergunjing, jadi hanya membuat semua kecurigaan itu bersuara di dalam hati saja. Kehidupan ini sudah cukup membuatku pusing.
Bukan Hydra namanaya jika dia tidak mendapatkan bahan gunjingan baru setiap hari. Beberapa bahan gunjingan terkadang hanya boleh digunjingkan di dalam ruangan saja. Ya, ruang kelas kami yang berada paling ujung. IS 7 adalah sebuah ruangan dengan cat tembok berwarna biru muda dan berkat ide Salma si anak laut, kelas ini di setting menjadi layaknya sebuah akuarium yang kedap suara.
Bukan hanya aku saja yang terpaksa harus terlibat dalam pergunjingan ini. Augie, Bima, dan anak laki-laki yang lain kadang ikut tertarik oleh pesona Hydra. Terkadang memang Hydra bisa begitu menarik dengan metode story telling nya yang luar biasa. Tapi terkadang juga dia bisa menjadi sangat menyebalkan dengan bibir pedasnya itu.
“Kalian kenal, kan sama si Vidra?” tanya Hydra. “Yang suka elu liatin, kan ...” jawab Bima. “Lu, ada apa sih sama tuh anak?” tanya Augie.
Suasana menjadi hening beberapa saat hingga suara kuaci yang sedang berusaha aku dan Salma kupas terdengar keras. Bima dan Augie menatap wajah Hydra yang mulai terlihat memerah, dia seakan tertangkap basah, dan dipaksa untuk mengakui kesalahannya.
“Kok, jadi gue yang jadi bahan omongan?” cetus Hydra memecah kesunyian.
“Ya, gue kasihan aja ke tuh anak, padahal dia, kan gak pernah liatin elu!” jawab Bima.
“Kasian amat dah, ni cewek. Segitu dicuekinnya sama satu sekolahan,” cela Augie.
Hydra memanyunkan bibir, dia terlihat menyembunyikan kekesalan. Bima dan Augie tertawa puas. Aku dan Salma hanya ikut tertawa mengimbangi tawa garing dari anak-anak yang lain.
“Lihat nanti, tuh anak bakalan ngejer-ngejer gue,” ucap Hydra penuh keyakinan.
Kami tidak mempedulikan ucapan Hydra, hingga dia tidak meneruskan bahan gunjinganya. Akhirnya, hari ini telinga dan hatiku tidak tercemar dengan kata-kata sampah si Hydra. Kadang laki-laki memang bisa di andalkan untuk mengacaukan pergunjingan.
Aku tidak percaya jika Hydra se ber-ambisi itu untuk membuktikan ucapannya. Hari ini kami sekelas melihat Vidra mengetuk pintu ruangan kelas kami. Bodoh sekali aku, wajar saja jika Hydra bisa dengan mudah membuat anak itu tunduk dan menuruti kemauannya. Selain cantik, Hydra juga termasuk dalam anggota komunitas rahasia di sekolah.
Sekolahku memiliki sistem ganjil-genap. Sistem ini dibentuk dan menjadi sebuah rahasia umum di antara anak-anak satu sekolah, dimana anak kelas 10 harus tunduk pada anak kelas 12 dan anak tidak perlu peduli pada anak kelas 11.
Ketika anak kelas 10 untuk pertama kalinya masuk sekolah, maka akan ada semacam secret invitation untuk berbergabung dalam komunitas rahasia tersebut. Biasanya anggota komunitas rahasia itu sudah menandai anak-anak kelas 10 yang akan mereka rekrut dan secara diam-diam mereka yang termasuk teman satu angkatan tapi sudah mengenal salah satu anak kelas 12 yang menjadi anggota komunitas sekolah akan menyampaikan secret invitation itu.
Aku masih ingat, hampir tiga tahun yang lalu Hydra pernah mendapatkan secret invitation dan dia memilih untuk bergabung dengan komunitas rahasia itu. Setiap hari sepulang sekolah, Hydra diwajibkan ikut kumpul-kumpul tidak jelas hingga matahari tenggelam dan mereka menikmati sunset bersama.
Awalnya aku berpikir jika Hydra telah tergabung dalam komunitas pecinta senja. Tapi semakin lama aku tahu ternyata itu semacam komunitas yang mengurung Hydra dengan lingkaran seta selama satu tahun. Pemerasan dan senioritas mereka manipulasi menjadi sebuah kata yang mereka sebut solidaritas.
Mungkin saja Vidra si anak hits dari kelas 10 itu telah mendapatkan secret invitation dan menerimanya. Entahlah, yang pasti hari ini kami terkejut melihat Vidra berdiri di ambang pitu kelas dengan satu kotak donat branded dan satu venti Rasphberry Shaken di tangannya. Hydra mengibaskan rambut, ke-angkuhan dengan sengaja dia tampilkan di wajahnya pada kami. Bima dan Augie bersorak sumbang. Salma berdecak kagum, aku hanya tersenyum tipis.
Menurutku wajar saja jika perlakuan itu Hydra dapatkan. Apa sih yang tidak bisa anak itu dapatkan. Mungkin karena dengan mudahnya Hydra bisa mendapatkan apa-apa yang dia inginkan di sekolah, membuat teman-teman satu angkatan kurang menyukai Hydra. Terlebih ketika bisa dengan mudahnya dia dekat dengan Pak Aaron, guru Pendidikan Lingkungan Hidup. Tingkah genit dan sikap agresif Hydra begitu meresahkan. Tidak hanya perempuan, terkadang laki-laki saja bisa dibuat ketakutan olehnya.
Ruangan kelas terasa memuakkan, belakangan ini aku lebih sering diam-diam pergi ke lantai tujuh. Ada sebuah tangga besi di sisi balkon perpustakaan yang terletak paling ujung di lantai tujuh. Sudah berkali-kali aku menyelinap dan menaiki tanggga itu untuk mencapai rooftop.
Aku mengeluarkan sebuah kotak kecil dan mengambil satu dari isi kotak yang hanya tersisa beberapa lagi isinya. Sebuah Cricket tipis yang menyelip di kaos kaki kali ini mulai aku gunakan fungsinya. Aku duduk di salah satu sisi tembok, aku masih ingat di tempat ini Hydra pernah mengajarkan aku tentang cara menyenangkan menghirup asap.
Pertemanan aku dan Hydra memang sudah lama, sejak kelas 10. Walaupun banyak perbedaan di antara aku dan Hydra tapi tetap saja, Hydra tidak pernah benar-benar pergi dari aku. Hydra selalu kembali dari teman-teman kebanggaannya itu.
Mungkin aku dia jadikan sebagai tempat istirahat dari setiap kepalsuannya. Dibalik Hydra yang memiliki wajah tanpa masalah, tersimpan banyak masalah hati yang diam-diam dia sembunyikan dari orang-orang. Dia merasa cantik tapi selalu merasa tidak memiliki daya tarik.
Atau mungkin juga Hydra masih menyimpan rasa bersalah padaku sejak kejadian beberapa tahun lalu? Jika mengingat kejadian itu aku merasa sangat menyesal berteman dengan Hydra, tapi aku tidak punya alasan kuat untuk menyalah Hydra. Setidaknya Hydra yang tahu dan ada saat aku kehilangan kebanggan tersembunyi dalam tubuhku. Penyesalan memang lebih menyakitkan daripada kehilangan.
Angin meniup kencang asap yang mengepul dari mulutku, rasa mint, dan apel cukup pandai mengelabuhi rasa tembakau. Langin sangat cerah hari ini, gumpalan awan putih tebal berjalan di atas kepala seolah berusaha melindungiku dari panasnya matahari.
Sebuah suara langkah kaki menaiki tangga menyadarkanku dari lamunan, aku segera bersembunyi di balik tangki air. Benar saja jika bahaya telah datang, aku melihat kepala Pak Aaron menyembul dari sisi tangga besi itu. Pak Aaron adalah wali kelasku, aku menghilangkan semua bukti dari tanganku, benda-benda pencipta asap itu aku lembarkan kebawah.
Kali ini aku terpaksa menyelinap dibalik tangki air yang ada di sisi paling ujung rooftop, aku tidak menyangka jika Pak Aaron datang ketempat yang nyaris tidak pernah di datangi siswa apalagi staf pengajar. Jantungku berdebar-debar, selain tubuh yang hanya beberapa langkah menyentuh sisi rooftop, ujung tangki air tidak cukup luas. Bisa saja Pak Aaron tiba-tiba melangkah pada sisi persembunyianku. Atau mungkin suara detak jantungku yang semakin kencang bisa terdengar olehnya.
Pemandangan kota bisa sangat terlihat olehku dari ketinggian lantai tujuh ini, jauh di bawah sana terdapat sebuah sutet dan dapur listrik, jika Pak Aaron menemukan persembunyianku dan aku terkejut mungkin aku akan terlempar kebawah membentur besi sutet atau peralatan listrik lainnya.
Beberapa detik dalam keheningan, aku tidak berani mengintip apa yang sedang dilakukan ole Pak Aaron, bisa saja dia menunggu di sisi lain tangki air dan pura-pura tidak melihatku. Aku tidak bisa membayangkan jika itu terjadi.
Suara lain terdengar, sebuah langkah menaiki tangga. Berarti ada tiga orang di atas rooftop ini. Siapa orang ketiga itu? Langkah itu terdengar melangkah tergesa-gesa memburu Pak Aaron dan sebuah dentuman pelan terdengar dari salah satu sisi tangki air persembunyianku. Mungkin saja tubuh Pak Aaron atau entah siapa yang menyentuh tangki air ini.
Jantungku berdetak semakin kencang hingga membuat perutku merasa mual. Jika aku memiliki sebuah tombol yang bisa aku tekan agar bisa menghilang mungkin sudah aku tekan sejak tadi. Dua sosok itu mulai bersuara setelah sebelumnya hanya menciptakan suara hela napas dan dentuman kecil berkali-kali pada tangki air. Angin dan deru pesawat yang melintas di atasku membuat pembicaraan mereka terdengar tidak jelas.
Pikiranku mulai macam-macam, selain memikirkan tentang orang-orang di dalam pesawat yang bisa saja tiba-tiba melihat keluar jendela dan secara tidak sengaja menemukan aku. Mungkin orang itu akan menertawakan apa yang sedang mereka lihat. Sial, waktu terasa sangat lama, hingga pesawat yang mungkin akan segera landing terlihat sangat lambat di atas sana.
Langka itu terdengar menjauh dari tangki, rasa penasaran mendesakku untuk mengintip. Kali ini sebuah letupan terjadi pada jantungku. Aku melihat seorang murid mengejar Pak Aaron dan memeluknya dari belakang. Pak Aaron mengacak-acak rambut muridnya penuh kasih sayang, lalu menuruni anak tangga.
Murid itu masih menunggu Pak Aaron untuk meninggalkannya lebih jauh, dia mengeluarkan smartphone dari sakunya dan mulai fokus pada layar smartphone itu. Aku masih terdiam melihat tubuh anak yang membelakangiku itu, tanpa terduga sosok itu berbalik kebelakang.
Aku tidak bisa mendeskripsikan betapa terkejutnya aku, hingga mungkin jika aku lengah sedikit saja saat berbalik untuk kembali bersembunyi, tubuh ini akan kehilangan keseimbangan dan terlempar kebawah.
Tatapanku kosong menatap langit-langit, tubuh kurus ini sempat terbentur pada tangki air dan sedikit menimbulkan bunyi, aku pasrah jika anak itu menemukanku. Detak jantung masih terasa, syukurlah aku masih hidup. Aku menghitung setiaap detaknya, hingga suara langkah kaki terdengar meninggalkan rooftop.
Perlahan Aku keluar dari persembunyian dan melihat anak itu mulai turun tangga. Walau tadi hanya sekilas, dan wajahnya tertunduk pada layar smartphone, aku bisa tetap mengenali sosok itu. Ya, aku tidak akan pernah salah, Vidra.
***
Perpindahan waktu dari Sabtu menuju Minggu begitu cepat, sama halnya dengan hari Minggu yang segera ingin menemui Senin. Mungkin aku berbeda dengan orang lain. Sekolah dan rumah layaknya dua kepribadian berbeda yang aku miliki. Sampai kapan aku terus berada di rumah yang seharusnya memberikan tempat ternyaman ketika aku pulang. Ingin rasanya terbebas dari semua ini.
Ibu masih belum juga kembali, entah kenapa orang dewasa se-egois itu. Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu mementingkan perasaan mereka sendiri. Kenapa mereka tidak mencoba sekali saja bertanya tentang apa yang aku rasakan.
Aku benar-benar ingin segera lulus sekolah dan meninggalkan rumah ini, meninggalkan kota sialan ini. Hanya beberapa bulan lagi menuju Ujian Nasional, tapi rasanya lama sekali. Mungkin jika kita menunggu, maka rasa lama itu akan terus mengganggu setiap harinya.
Sebenarnya aku bersyukur jika Ibu tidak di rumah, tidak ada ocehannya lagi dan yang paling penting aku bisa belajar dengan tenang. Dulu Ibu juga sering mengajakku menggunjingkan kenakalan anak tetangga. Sampai akhirnya aku sendiri yang terlibat kenakalan remaja, dan mulutnya mulai bungkam sejak itu.
Tidak ada yang bisa aku banggakan lagi selain pendidikanku. Aku pernah hampir kehilangan masa depan, beruntung tuhan menyembunyikan semua dan tetap memberikanku kekuatan. Tidak semua, selain keluarga ada orang lain yang mengetahui. Hydra, anak sialan itu mengetahui apa yang terjadi padaku.
Aku tidak percaya jika aku bisa melalui semua itu sendirian. Ya, awalnya aku merasa benar-benar sendirian dan memang sudah harusnya berakhir sendirian. Tapi memang aku rasa, saat terjatuh hanya diri sendiri yang bisa membuatnya bangkit. Mungkin beruntung jika ada orang lain yang bisa membantu kita untuk bangkit lagi. Tapi sayang sekali aku merasa tidak memiliki orang-orang seperti itu dalam kehidupanku.
Hidup memang se-monoton ini dan manusia terbiasa untuk hidup setiap hari. Menggelikan sekali. Kadang aku menertawakan sendiri kehidupanku, sejatinya manusia memang hanya menunggu mati. Banyak hal yang bisa dilakukan saat menunggu bukan? Sudahlah, banyak sekali sura di dalam isi kepalaku. Aku mulai merasa mengantuk, jam berapa ini? Aku malas melihat jam, rasa kantuk ini mulai nyaman terasa.
Baru saja mata ini akan terpejam, smartphone di sampingku berbunyi. Hydra? ada apa lagi anak sialan itu. Mataku terbuka lagi, sial. Aku biarkan saja panggilan Whatsapp dari Hydra, beberapa kali panggilan itu terulang. Hingga akhirnya panggilannya beralih ke jaringan operator seluler.
Di era ini, panggilan melalui jaringan operator seluler hanya akan dilakukan orang dengan alasan mendesak atau darurat. Aku mulai merasa resah, aku takut jika Hydra menyuruhku datang menemui dia seperti beberapa tahun lalu. Sial, kenapa aku harus berurusan dengan anak ini.
Melalui panggilan itu, aku bisa mendengar tangisan dan rasa putus asa dari Hydra. Aku bangkit dari tempat tidur masih dengan hotpants dan kaos oversize yang biasa aku gunakan untuk tidur. Bapak mungkin sudah terlebih dulu tidur di kamarnya, ada bom meledak pun mungkin dia tidak akan terbangun. Aku mengintip dari jendela, sebuah city car terlihat di depan rumahku.
Lampu dalam mobil menyala, mungkin Hydra memberi isyarat jika tidak ada siapa-siapa di dalam mobil. Aku memastikan dari balik pintu pagar, hanya bayangan Hydra yang terlihat. Aku membuka kunci pagar dan melangkah menghapiri mobil Hydra.
Pintu mobil aku buka, Hydra menatapku, matanya berkaca-kaca. Aku duduk terdiam di sebelahnya, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku masih merasakan ketakutan. Ya, kejadian beberapa tahu yang lalu itu masih membekas rasanya. Aku masih mempertahankan kesunyian, hingga Hydra terdengar menarik napas.
“Buck up ...” ucapku.
Hydra masih terdiam, tubuhnya terlihat bergetar. Aneh, dia masih mengenakan seragam sekolahnya. Aku mulai menatap wajahnya, ada ketakutan yang terlihat dari matanya. Bibirnya tergetar, seolah berusaha berat untuk berbicara.
“Have a punch up with someone?” Aku kembali bertanya pada Hydra. “I’m scared shitless ....”
Hydra tidak bisa lagi menahan air matanya. Dia menangis di hadapanku, aku mulai bergetar. Entahlah, aku merasa sesuatu sudah terjadi pada Hydra.
“Kemaren siang, gue nyari elu, Ra. Kemana-mana gak ketemu, sampe kepikiran ke rooftop, and than i’m catch someone red-handed.” Hydra berhenti, dia mencoba menghapus air matanya.
“Abis papasan sama Pak Aaron di depan perpus, gue ketemu Vidra di tangga besi.”
Bibir Hydra bergetar, air matanya kembali menetes. Aku tidak salah, anak itu benar-benar Vidra. Sekarang aku mulai merasa merinding.
“Pulang sekolah dia ngajak ketemuan, you know i’m stuck on him. Gue temuin di Puncak, di sana dia banyak nanya. Intinya tentang apa aja yang udah gue lihat waktu itu. Gue bilang kalo gue lihat Pak Aaron sama dia doang. Gue iseng nanya tentang apa-apa yang meraka lakukan.”
Hydra menarik napas, suaranya mulai bergetar, airmataya bertambah deras. Aku tetap terdiam mendengarkan apa yang Hydra bicarakan.
“Dia memastikan kalo gak ada apa-apa yang terjadi. Sebenernya gue udah percaya, entah kenapa dia terus berusaha meyakinkan gue buat benar-benar percaya. Sampe dia menyentuh gue ....”
Seketika tubuhku bergetar, aku mengingat kembali kejadian beberapatahun yang lalu. Tangisan Hydra mulai bersuara, aku mematung dengan tatapan kosong.
“I’m on hot water. Please help me, Ra!” “Kenapa gue yang lu datangin. Kenapa Gue, Dra?”
“Gue tau, Ra. Elu tau caranya. Gue gak mau kayak si Lily anak IS 1. Gue gak mau, Ra. Gue gak mau masa depan gue ancur cuma gara-gara kebodohan. Gue bukan elu yang bisa baik-baik aja setelah hal kayak gini terjadi ....”
“Son of a bitch!”
Bersamaan dengan makian itu, kugenggam rambut Hydra sekuat tenaga lalu kubenturkan kepalanya pada dasbor. Itu ampuh membungkam mulut sialnya.
Hydra menjerit, dia membalas dengan menjambak rambutku. Tubuh Hydra yang masih lemas bisa dengan mudah aku hempaskan pada pintu pengemudi. Kepala Hydra terbentur pada kaca mobil, dia terdiam. Kancing dan saku seragam Hydra terkoyak, cairan merah keluar dari hidungnya.
Aku menghempaskan tubuh pada jok mobil. Aku terdiam, aku merasa lega telah meluapkan kekesalan, tapi entah kenapa aku juga menyesal telah melakukan itu pada Hydra. Beberapa menit kami hanya terdiam, Hydra merintih menahan tangisannya, cairan merah itu menetes pada seragam putihnya.
Ini bukan pertama kalinya kami bertengkar, beberapa tahun lalu Hydra pernah menjemputku untuk bertemu dengan laki-laki dalam komunitas rahasia dan hal sial itu tanpa bisa dihindari justru terjadi padaku, sedangkan Hydra baik-baik saja. Pertengkaran lebih hebat terjadi saat itu. Sekarang hal sial itu terjadi pada dirinya, hati kecilku merasa puas, semu terbalaskan.
“Maafin gue, Ra. Dulu gue gak tahu kalo hal itu bakalan terjadi ke elu. Gue kira, laki-laki itu sayang sama elu,” ucap Hydra lirih. Aku mulai menatap wajahnya, Hydra adalah seorang perempuan, sama seperti aku. Hydra masih bisa memiliki masa depan. Lalu bagaimana dengan kebencianku? Kebencian yang bahkah tidak memiliki alasan kuat utuk membenci Hydra. Ya, semua sudah terjadi padaku.
Selembar tisu aku berikan pada Hydra, dia menerimanya. Tangisanya pecah, dia memelukku. Air mata bercampur dengan bercak merah di hidungnya. Aku melepas pelukan Hydra, aku tatap wajahnya, luka-luka itu tidak terlihat. Sebuah cakaran aku goreskan dengan cepat pada lehernya. Hydra memeikik kaget, aku menempelkan telunjukku pada bibir Hydra, aku usap air matanya, aku tidak mau melihat perempuan lain yang berhenti berjalan menuju masa depan karena hal-hal yang seharusnya belum terjadi.
“Please, lu inget-inget waktunya kalo gak mau perjalanan kita sia-sia.” Tujuh puluh dua jam adalah waktu yang dibutuhkan, aku memperkirakan kebodohan yang telah Hydra lakukan sudah berlalu selama tiga puluh enam jam. Kalau saja ibu ada di rumah, mungkin aku tidak akan repot-repot menemui dia.
Jalanan tampak ramai meskipun sudah larut malam, aku biarkan Hydra menyetir. Aku belum memiliki SIM. Untuk sampai di rumah ibu kami harus menyebrangi lautan menggunakan kapal Feri, tidak lama hanya dua jam. Hydra tertidur, terlihat sekali jika dia sangat kelelahan. Memar di wajahnya mulai terlihat, luka cakar di lehernya juga sudah tampak lebih jelas.
Kami kembali melanjutkan perjalanan, rumah ibu hanya memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit dari pelabuhan. Gelap malam hampir saja memudar ketika kami mendarat. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam, sedangkan Hydra mungkin sudah mati rasa. Kami cukup lama menunggu keberangkatan kapal Feri yang tadi membawa kami menyebrangi lautan.
Sudah kuberitahukan pada Hydra jika dia hanya punya waktu tujuh puluh dua jam. Dia tampak resah karena tidak tahu pasti waktu kapan hal sial itu terjadi. Aku ikut merasakan keresahan yang Hydra rasakan.
Setelah sempat salah jalan, akhirnya kami sampai di rumah ibu. Aku yakin jika ibu belum tidur, dia selalu terbangun di sepertiga malam. Aku mencoba menghubungi telepon rumah ibu, untuk meberi tahu jika aku ada di depan pagar rumahnya. Hanya beberapa menit menunggu, lampu ruangan depan tampak menyala, ibu keluar dari rumahnya. Nampak sekali ke khawatiran terlihat di wajahnya.
“Bu, teman Lara ....”
Mungkin ibu masih ingin men-dramatisasi pertemuan aku dan dia, tapi aku lebih dulu mengalihkannya pada Hydra. Ibu langsung teralihkan pada Hydra. Beberapa luka di wajah dan kondisi baju Hydra membuat ibu mengerutkan dahi.
“Kamu kenapa, Nak?”
Mungkin ibu memiliki aura keibuan yang sangat kuat, cukup dengan satu sentuhan lembutnya saja Hydra dibuatnya menangis. Aku tidak memberi kesempatan untuk Hydra berbicara, aku segera mengarang cerita untuk membuat ibu menolong Hydra dan untungnya Hydra mengerti maksudku. Ibu bisa dengan mudah aku manipulasi, mau tidak mau aku harus melakukan ini.
“Masih ada waktu, kita berangkat sekarang,” ucap ibu.
Setelah mebersihkan luka pada wajah Hydra dan mengganti seragamnya dengan baju tidur milik Ibu, kami segera bergegas untuk kembali ke rumahku. Aroma pagi mulai tercium ketika kami sudah kembali menyebrangi lautan. Hydra hanya tertidur beberapa jam, sejak tadi dia tampak gelisah. Ibu malah tampak tenang menyetir ditemani playlist dari Celine Dion.
Embun pagi menempel pada jendela mobil, kota ini lebih dingin dari biasanya. Kami sampai di rumah. Ibu segera bergegas ke kamarnya. Bapak masih tertidur, mungkin juga di tidak menyadari kedatangan ibu. Hydra terlihat menunggu dengan cemas sebelum akhirnya ibu keluar.
“Pil, ini bisa membuat kamu muntah, tablet kedua diminum dua belas jam setelah tablet pertama.”
Hydra hanya terdiam mendengar penjelasan ibu, dia tampak memperhatikan dua tablet kecil yang ibu tunjukkan. Dalam hati kecilku aku mulai merasa beruntung memiliki seorang ibu yang mengerti dengan masalah-masalah remaja. Terkadang aku merasa ibu terlalu ikut campur dan sok tahu.
Ibu menarik telapak tangan Hydra, dia letakkan satu pil di telapak tangan Hydra. Aku menyerahkan satu gelas air. Hydra menatap pil di telapak tagannya. Mungkin ini pertama kalinya dia melihat pil itu. Siapa sangka jika sebutir pil kecil bisa mempengaruhi masa depan dan rencana hidupnya yang lebih besar.
“Biasanya pendarahan akan terjadi 2-3 hari setelah mengkonsumsi pil ini. Ini hanya pil darurat yang tidak boleh dikonsumsi berkali-kali. Kamu mengerti ya?”
Tatapan tajam dari mata ibu membuat wajah Hydra tertunduk, tatapan itu seperti halnya ketika pertama kali aku dimarahi habis-habisan, padahal kondisiku saat itu lebih buruk dari apa yang terjadi pada Hydra. Aku masih sulit untuk melupakan.
Kalau saja ibu tahu cerita sebenarnya, mungkin ibu akan menyalahkan Hydra untuk apa-apa yang terjadi padaku dulu. Aku tidak merasa menjadi orang baik yang menolong Hydra. Aku hanya memposisikan diri sebagai Hydra hari ini.
Hydra memaksakan untuk datang ke sekolah, terpaksa aku meminjamkan seragam putih abu-abu pada Hydra. Jika sampai dia tidak masuk pasti akan ada laporan dari Pak Aaron pada orang tuanya yang bekerja di luar kota, urusannya akan lebih rumit lagi.
Aku berjanji akan merahasiakan semuanya, seperti Hydra merahasiakan apa yang terjadi padaku dulu. Tapi sayang sekali ketika kami sedang berada di toilet sekolah, tiba-tiba saja dia mengeluarkan ampas sarapan pagi dari mulutnya.
***
Hot Beauty yang kami tanam tiga bulan lalu di area botani sudah mulai berbuah. Masih hijau, tapi aku bisa membayangkan jika nanti warnanya akan merah. Tentunya kami yang menanam tidak akan menikmati hasilnya. Minggu depan sudah Ujian Negara.
Ya, memang seperti itu. Untuk hal baik terkadang kita tidak selamanya bisa memetik hasil dari apa yang sudah kita tanam. Justru hanya sebuah ke-iklasan. Apakah sebuah ke-iklasan lebih baik didapatkan daripada sebuah hasil untuk kepuasan. Jika kita ingin bisa memetik hasil dari semua yang kita tanam dalam kehidupan ini, bagaimana jika ternyata kita menanam sebuah keburukan. Inginkah kita memetiknya juga?
Waktu begitu cepat berlalu, ruangan kelas yang sering kami gunakan untuk bergunjing sudah tidak difungsikan untuk itu lagi. Seperti yang sudah aku katakan jika setiap tiang dan dinding di sekolahan ini memiliki kuping. Sekitar tiga bulan lalu, kabar miring tentang Hydra tersebar begitu saja, walau hanya beberapa minggu, tapi itu cukup ampuh menutup mulut usil Hydra dalam waktu lama.
Hydra sering terlihat pura-pura tidak perduli saat ada yang diam-diam memeperhatikan dia. Bahkan ketika upacara bendera selesai biasanya dia akan mengobrol dulu dengan teman-temannya dari kelas lain, tapi hari ini berbeda. Sejak tadi dia gelisah berdiri di barisannya.
Hydra terlihat langsung berlari ke toilet. Aku membuntuti Hydra, ada beberapa siswi di toilet, mereka yang merupakan adik kelas tampak tunduk dan mempersilahkan Hydra untuk terlebih dulu menggunakan toilet.
Beberapa siswi yang baru saja keluar dari toilet terdengar berbisik-bisik membicarakan tentang siapa pengguna toilet yang ada di sebelahnya. Aku mendekati toilet yang baru saja berubah menjadi sebuah ruang gunjing.
“Dra, are you okay? tanyaku dari balik pintu toilet. “Ya. Just, blow chunks.”