Abdul Aziz Muhtarom menyabetkan tiga batang lidi ke punggung telanjangku yang lengas dihantam cuaca, dan dengan cepat rasa pedih menjalar; agaknya tiga gores luka telah mewujud ceruk yang purna, dan bulir keringat saling jejal dengan darah segar di sana.
Di hadapan delapan ekor kambing yang dicangcang di sela pancang, aku tertegun dengan pose tubuh menyerupai seekor harimau putih yang tengah mengintai mangsa—meski aku yakin usaha itu membuatku lebih mirip seekor kucing kampung yang sedang menahan berahi. Demi melihat aku yang masih tugur, Abdul Aziz Muhtarom berdecak kagum, sebentar kemudian sabetan demi sabetan saling susul.
Aku pulang dengan langkah terhuyung-huyung. Sesekali kutarik bagian belakang kaus agar permukaannya tak bersentuhan langsung dengan luka yang belum mengering, tetapi kuatir langkahku sedemikian rupa, untuk kembali tegak lurus, acap berpapasan dengan orang-orang. Aku tak ingin membuat mereka mengira-ngira bahwa aku kesakitan. Kata Abdul Aziz Muhtarom, Maung Bodas batal turba apabila ada pihak lain yang mengetahui ritual kami.
Setibanya di rumah, Mak Nde memintaku untuk segera santap sore. Ia merasa cemas karena beberapa hari belakangan aku jarang sekali berbaur di dapur, dan sebagai usaha menarik minatku, ia telah menghidangkan bekakak ayam dengan siraman madu odeng yang dua hari lalu dijajakan dua orang Baduy dengan harga murah.
Sebagaimana titah Abdul Aziz Muhtarom, aku pantang mengudap makanan yang diolah dari bahan-bahan bernyawa, juga berwarna, selama tujuh hari tujuh malam. Hanya nasi dan sedikit garam, ditambah enam cangkir air bening—terutama hasil peram dalam kendi, yang boleh melintasi tenggorokan. Maka dengan berat hati aku menolak ajakan Mak Nde.
Alih-alih menuntaskan lapar-dahaga, aku segera berbelok menuju kamar mandi untuk membersihkan sekujur tubuh dari lengket peluh. Pedih sekali ketika luka di punggungku terkena percik air, nyeri dan ngilu bertambah berkali lipat.
Setelah memastikan seluruh tubuh bersih dan kering, aku mematut diri di hadapan cermin besar yang menempel di lemari pakaian. Dengan saksama kuhitung gurat tipis yang merentang menghiasi kulit punggungku, jumlahnya ada dua puluh tujuh, dengan letak yang tak beraturan, dan sebagian tampak melepuh. Artinya, dengan penghitungan sederhana, aku menerima sembilan sabetan.
Tersebab aku bisa menahan sakit, dan kuat menopang tubuh dalam pose harimau tanpa goyah satu jengkal pun, itu berarti aku telah layak untuk menerima pangabaran, seperti yang telah dijanjikan oleh Abdul Aziz Muhtarom.
Abdul Aziz Muhtarom tak bisa menulis apalagi membaca aksara latin, karena memang ia tak sekolah. Tetapi—menurut pengakuannya—ia pernah menjadi santri salah satu Pondok Pesantren di Pandeglang dan telah mahir membaca kitab gundul, juga cukup cakap untuk menerjemahkan aksara Arab ke dalam bahasa Sunda dan Jawa. Oleh sebab itulah, sore tadi ia memintaku membawa selembar kertas dan pensil yang telah diraut tajam.
Setelah menyabet punggungku beberapa kali, Ia mengulang-ulang kalimat pangabaran dan memintaku mencatatnya dengan cermat. Aku tak bisa memastikan apakah ejaannya tepat, tetapi dapat dipastikan tak akan melenceng jauh. Kira-kira seperti ini; “Sima aing sima maung. Pangabaran singa macan. Sia sieun ka aing, lain aing nu sieun ka sia. Nur hak nur!!”.
Aku merasa beruntung sekali bisa berjumpa dengan Abdul Aziz Muhtarom.
Empat hari lalu, ketika tengah menonton pertandingan sepakbola antar kampung, aku bertemu dengannya di lapangan pisang. Tempat itu, pada dasarnya, disebut demikian karena di tengah palagan tumbuh satu pohon Randu besar yang menghalang, sehingga bentuknya tak lurus memanjang melainkan melengkung menyerupai buah pisang—atau, lebih tepatnya huruf C yang tak simetris.
Pertandingan berlangsung sengit, dan terjadi kericuhan yang sejatinya tak diperlukan. Dan ringkas cerita, Abdul Aziz Muhtarom yang tak sengaja melintasi lapangan bersama delapan ekor kambingnya berhasil melerai perkelahian dengan cara yang sukar dijelaskan. Dua kubu yang semula terlibat perselisihan sengit seketika meredam, mereka lari tunggang langgang. Semua orang seperti ketakutan dan kemudian lenyap. Kecuali aku, yang dengan penuh keberanian mengajaknya berkenalan.
Kutaksir usianya lima atau enam tahun di atasku, belum cukup untuk disebut dewasa, tetapi terlalu tua untuk bergaul dengan bocah. Hari-harinya dihabiskan dengan mengangon kambing kacang milik Pak Lurah. Mungkin itulah sebabnya jika ia menghampirimu dalam jarak sepuluh langkah, kau akan segera menghidu aroma kurang sedap seolah-olah tiga ekor kambing bersemayam di lipatan ketiaknya.
“Jika kau mau orang-orang merasa segan padamu, aku akan mengajarkannya dengan senang hati,” katanya sembari menggebah gerombolan kambing.
Sebagaimana orang sakti yang bisa kau jumpai di mana pun, ia tampaknya memiliki kemampuan untuk membaca pikiran, juga rasa penasaran yang sejak tadi bergelantungan di kepalaku.
Entah bagaimana caranya, aku terdorong untuk mengekor langkah Abdul Aziz Muhtarom hingga tiba di kandang kambing yang dinaungi oleh rimbun pohon sukun. Pelajaran pertama yang aku terima adalah mengecek raga.
Katanya, aku harus bertelanjang dada dan bersila dengan mata terpejam; memusatkan perhatian pada sosok Prabu Siliwangi, meminta karomah padanya.
“Tapi aku tak mengenal wajah Prabu Siliwangi,” aku menyela.
“Kau bayangkan saja seekor macan besar berwarna putih, dengan cakar penuh kilau keemasan.”
Aku segera melakukan titahnya. Aku lepaskan pakaian dan bersila di belakang kandang kambing, di bawah pohon sukun yang daunnya berguguran. Dari arah yang tak bisa diterka, Abdul Aziz Muhtarom mengendus leherku, menjilati tengkuk dan dadaku seperti seekor kucing bermain-main dengan tuannya. Lalu, ada satu sengatan menjalar tubuhku, barangkali Prabu Siliwangi telah turba; memberikan karomahnya.
Begitulah. Abdul Aziz Muhtarom kemudian memberikan seluruh perintah, menjelaskan segala pantangan, dan kami berjanji untuk bertemu dua kali lagi hingga seluruh ritual ini usai.
Sore tadi, ketika tiga batang lidi mengoyak kulit punggungku dan aku mendapatkan pangabaran, Abdul Aziz Muhtarom mengatakan bahwa pertemuan selanjutnya akan digelar hari Jumat, berarti besok lusa, dan aku harus membawa persembahan berupa tiga buah nanas muda dan sebungkus kretek.
Aku belum mencari permintaannya tersebut. Janji untuk segera mendapatkan ajian selanjutnya terang membuatku tak sabar. Aku tak bisa merebahkan badan di atas dipan sebab luka gores itu semakin menyeruak, malam ini kuhabiskan dengan bersila dan mematut diri di hadapan cermin. Barangkali aku tertidur dalam posisi itu, aku tak dapat memastikan.
Aku tak ingat apa yang terjadi di hari-hari setelahnya, yang pasti pertemuan dengan Abdul Aziz Muhtarom tak pernah benar-benar terlaksana, sebab aku menderita demam selama beberapa hari; terperangkap di batas antara sadar dan tak sadar, di antara waras dan majenun.
****
Dengan sedikit gemetar, ibu mendekap tubuhku erat seolah-olah ia tengah menjaga anaknya dari ancaman segerombol harimau lapar, sementara Ayah terlibat percakapan serius dengan Bu Fatmi di dalam ruangan. Aku belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tetapi kukira ini semua ada kaitannya dengan tugas membuat cerita ketika berlibur.
Dua haru lalu, saat pelajaran Bahasa Indonesia, satu demi satu murid dipanggil, sesuai dengan urutan absen, untuk maju dan membacakan cerita berlibur masing-masing di depan kelas. Aku senang mengarang dan kerap mendapat nilai memuaskan.
Andri Haryanto maju terlebih dahulu. Dengan terbata-bata ia menuturkan pengalamannya berkunjung ke Universal Studio Singapore, tidak jelas apa yang hendak ia sampaikan kecuali gambaran tentang wahana dan lezatnya es krim, sangat membosankan. Kemudian giliran Eva, teman sebangkuku, yang diam-diam menyalin tugas serupa yang dibebankan semester lalu. Ceritanya tentang bermain di Ragunan bersama keluarga, menaiki unta dan memberi makan kambing etawa.
Nama-nama lain disebutkan, satu demi satu, dan mereka mendongeng dengan sangat buruk. Hingga bel pulang berdentang, namaku tak kunjung dipanggil. Aku merasa khawatir atas fakta itu. Benar saja, sepulang sekolah Pak Walgito bertanya apakah segala yang aku tulis benar-benar terjadi. Aku memberi anggukan kecil.
Barangkali, atas kejadian itulah kedua orang tuaku diundang datang ke sekolah. Ayah berbincang dengan Bu Fatmi, sementara Ibu mendekap erat tubuhku seolah-olah ia tengah menjaga anaknya dari ancaman segerombol harimau lapar.
Tiba-tiba Ayah membanting pintu, membuat orang-orang takut sehingga Ibu tak lagi kuat membendung tangisan. Wajah Ayah terlihat memerah, matanya seperti memberat menahan tangis dan amarah. Ia mengatakan akan ke kantor polisi, berjanji hendak menjemput Abdul Aziz Muhtarom dan membuat belulangnya remuk, juga melampiaskan banyak sekali serapah.
Sementara itu, diam-diam aku merasakan gerak lincah di dalam perutku yang kian hari semakin memberat. Seperti ada tendangan, dan sesekali cakaran, yang terasa hangat dan menggelikan. Barangkali, itu adalah kutuk yang ditimpakan oleh Maung Bodas sebab aku tak bisa menyelesaikan tugas hingga rampung, atau karena aku telah menuliskannya sebagai cerita. Aku tak tahu pasti. (*)
Banten, 2020.
Catatan; diolah dari banyak kisah, lisan dan tulisan.
By, Muhammad Nanda Fauzan