“Untuk kita semua yang pernah atau sedang memiliki tanggung jawab untuk memenangkan lomba-lomba dalam kehidupan”
Pada pertengahan menuju akhir bulan Agustus, selalu digelar perlombaan untuk menghibur anak-anak, orang tua dari anak-anak, dan orang-orang yang rehat dari pekerjaan mereka. Acara tahunan ini mengundang pesertanya untuk adu cepat, adu gesit, dan adu ketangkasan. Tidak sedikit yang menangis dan terluka akibat kelalaian dan kekalahan yang mereka dapatkan saat berlomba dengan peserta lain.
Bermacam-macam hadiah dipamerkan oleh penyelenggara pada podium untuk menggoda para peserta lomba. Pada hadiah-hadiah tersebut, tertulis “Gaji dua digit, rumah mewah, mobil, Pegawai Negeri Sipil, TNI, Polisi, Pengusaha, Komisaris, Direktur, dan lainnya”. Hadiah-hadiah itu menjadi sesuatu yang diperebutkan oleh para peserta dan menjadi harapan orang tua mereka yang menaruh beban pada pundak-pundak anak mereka.
Aku hadir saat perlombaan tahunan dengan penuh ketidakyakinan. Duduk di barisan tengah dan dikelilingi oleh orang tua yang berseri sebelum lomba dimulai. Aku seperti melihat sekumpulan pohon pisang yang melihat tunasnya berkembang, sambil berharap tunas-tunas mereka akan berbuah rumah mewah atau sertifikat tanah.
Pengadil memulai genderang perang lalu berkata “serang!” dengan lantang. Dengan ramainya penonton bersorak riuh berkata macam-macam: “rumah mewah!”, “mobil mewah!”, “sertifikat tanah!”, “komisaris utama!”, “pegawai negeri!”, dan lainnya. Lalu ada satu suara dari orang tua yang sedikit telat berkata “jangan berhenti nak! terus usaha sekuatmu!”. Aku menyeringai melihat dan mendengar itu semua.
Perlombaan terus berlanjut dengan menegangkan, lalu satu anak terjatuh cukup telak, tapi perlombaan tetap dilanjutkan sampai ada pemenang yang paling cepat menyelesaikan perlombaan. Perlombaan selesai dan keluarlah para pemenang. Pemenang pertama mendapatkan komisaris utama, pemenang kedua mendapatkan rumah mewah, dan pemenang ketiga mendapatkan mobil mewah.
Lalu semua anak yang mengikuti perlombaan kembali kepada orang tuanya masing-masing. Orang tua yang anaknya memenangkan lomba menyanjungnya dengan seribu pujian, dan tidak sedikit yang kecewa anaknya tidak mendapatkan apapun.
Dari barisan penonton kulihat anak yang terjatuh tadi berlari menghampiri kedua orang tuanya yang berdiri tidak jauh dari tempat aku berdiri.
“Ibu, Ayah maafkan aku, aku kalah lomba.”, kata anak itu dengan kecewa.
“Tidak apa nak,Ibu bangga bukan soal kamu menang atau tidak, Ibu bangga kamu sudah mau ikut lomba sampai kamu berdarah diwajahmu.”, kata Ibunya menenangkan
“Nak, coba lihat pelipismu, sedikit berdarah, bukan? luka itu sudah membuat Ayah bangga, kamu sudah berusaha semampumu”, kata Ayahnya dengan bangga
“iya, kepalaku sakit”, kata anak itu mengeluh
“Ini baru satu lomba kan? masih banyak lomba lain yang bisa kamu ikuti. Ayah yakin kamu pasti bisa jadi pemenang pada satu lomba, entah lomba yang mana. Untuk Ayah dan Ibu yang penting kamu mau ikut lomba dan yakin kalau kamu mampu”, kata Ayahnya
“Tapi Yah, kalau aku tidak dapat rumah atau mobil lagi bagaimana?”
“Kamu tidak harus memenangkan semua itu Nak. Tidak perlu mobil mewah, kan masih ada motor bebek Ayah.”
“Tidak perlu rumah nak, kan kita sudah punya rumah. Meski tidak mewah, tapi cukup untuk kita bertiga.”, kata Ibunya sambil membelai kepala anak itu
“Dengarkan Ayah, kamu tidak harus memenangkan hadiah yang sama seperti orang lain dapatkan Nak. Kamu akan dapat hadiah yang pantas buat kamu, dan tidak masalah harus ikut beberapa lomba lagi untuk menang, asal kamu percaya pada dirimu”, kata Ayahnya dengan tulus kepada anak itu
“Aku mau ikut lomba lagi Yah, Bu. Semangati aku terus ya!”, balas anak itu dengan semangat
“Ayo, Ibu belikan ice cream biar kamu semangat.”
“Yeay!”, sorak anak itu dengan senang
“Sini Ayah bersihkan dulu lukamu.”
Ayahnya lalu mengecup luka di pelipis sang Anak, supaya lekas sembuh katanya, lalu sang anak tersenyum bahagia dan bergegas membeli ice cream bersama Ibunya.
By, Ozi Marzuki