“ANJRIT KRIS.. KOK BISA LOLOS YA?!
TENANG-TENANG, TARIK NAFAS, INI BUKAN SALAH KITA.”
Stasiun Pasar Senen sedang panas terik-teriknya. Matahari dengan bangga membuat setiap makhluk dibawahnya menjadi terlihat seperti kepiting rebus, semua wajah terlihat memerah. Sebegitu panasnya, matahari siang itu dapat mengeringkan jemuran basah dalam waktu 30 menit. Berlebihan? Nggak, ini beneran. Warga Jakarta Pusat yang bilang jemuran basah bisa kering dalam waktu 5 menit, itu baru berlebihan. Ini masih di bumi hei, bukan di Merkurius!. Oh ya, perkenalkan, aku Inky, mahasiswa semester 2 disuatu kampus sederhana dipinggiran Jakarta. Anak mami yang baru setahun merantau. Sejauh ini, cerita ini adalah pengalaman paling lucu sekaligus pengalaman yang memberikan pelajaran terbaik selama seorang Inky hidup.
Perjalanan pulang kampungku kali ini nggak sendirian. Ada Kristin, teman asramaku yang mungil. Mungil? Iya, tinggi Kristin hanya setinggi pinggulku. Kristin yang juga teman satu kampusku adalah seorang anak rantau dari daerah yang sama denganku, Malang. Kristin merupakan tipikal anak rantau baru, yang selalu takut menentukan tanggal pulang kampung. Ketakutan Kristin beralasan, karena ia merupakan seorang mahasiswi super aktif di kampusku sehingga tiap aku tanya ‘kapan pulang?’ saat mendekati musim liburan, dia selalu mengatakan “Belum tahu. Takut masih ada acara disini”.
Kristin anak yang pintar namun masih sering bingung sendiri. Sebingung harus kaki yang mana dulu yang harus naik saat akan menaiki angkot, sebingung berapa kembalian yang harus ia terima saat jajan di kantin, dan sebingung hari ini hari apa meskipun telah bertanya setiap 2 jam sekali. Kristin juga anak yang lucu meskipun lebih sering menyebalkan, semenyebalkan cerita dibawah ini.
Tiga bulan lagi memasuki musim liburan. Aku berencana pulang kampung pada tanggal 1 Juli. Kemudian aku bertanya pada Kristin, apakah ia juga akan pulang, jika iya maka akan kubelikan ia tiket terlebih dahulu, maklum waktu itu tiket KAI cepat sekali habis, terutama memasuki musim liburan. Seperti biasa, jawaban Kristin bisa ditebak.
“Aduh, aku belum tahu nih, Ky. Masih banyak urusan kampus.” kata Kristin. “Kamu beli duluan aja, kalau nanti ternyata aku bisa pulang dan tiket masih ada, aku akan pulang bareng kamu” lanjutnya.
Tiga bulan kemudian, seminggu sebelum hari kepulangan, Kristin menghubungiku melalui telepon Whatsapp.
“Inkyyyy, aku bisa pulang minggu depan.” ujarnya dengan nada yang sangat ceria.
“Hmmm, asikk. Tapi Kris.. tiket kereta masih ada nggak ya? Kalau habis gimana? Kamu mau naik Pesawat atau Bus?” tanyaku.
“Oh iya lupa! H-Seminggu masih ada tiket nggak ya? Yauda aku matiin telponnya, aku mau buru-buru cek tiket. Byeee..!”
Belum sempat aku mengatakan “Bye”, Kristin telah mematikan telepon. Namun tidak sampai 5 menit, telepon dari Kristin kembali masuk ke telepon genggamku.
“Inkyyyy, masih ada nih...! Matarmaja jam 15.30 kan? Di tanggal 1 kan?” kata Kristin
“Yes, bener. Oke, syukur kalau masih ada..!”
“Kamu duduk di kursi nomor berapa?”
“Wait, aku cek tiket aku dulu” aku kemudian membuka aplikasi pemesenan tiket online.
“Oke..”
“Mmmm, aku duduk di Gerbong 6, Nomor Kursi 17A” kataku seraya menutup kembali aplikasi tersebut.
“Eh pas banget nih kursi 17B di Gerbong 6 masih kosong!” ujar Kristin dengan nada berapi-api. “Yaudah Kyy, aku pesan dulu ya tiketnya, abis itu aku harus balik ke kampus, ada urusan yang harus aku kelarin sebelum pulang minggu depan bareng sahabatku ini. HAHAHA. Bye..” lanjutnya.
“Dasar orang sibuk, ya sudah, kita ketemu minggu depan di Stasiun Senen, jam setengah 3 yah. JANGAN TELAT..!” ku beri penekanan pada kalimat terakhir agar si orang sibuk itu tidak terlambat.
“HAHAHA, OKE BOS..!” Kristin kemudian mematikan telepon.
1 Juli 2015, Stasiun Pasar Senen
Stasiun Pasar Senen kala itu jauh lebih ramai dari biasanya, mungkin karena musim liburan sehingga mahasiswa perantauan atau pekerja yang mengambil cuti, bepergian saat itu juga. Susah untuk menemukan Kristin di lalu lalang ramainya orang, mengingat tinggi Kristin tidak sampai setinggi pinggul orang dewasa. Kemudian kuputuskan untuk mengirim pesan singkat padanya: “Kris, aku didepan tempat check-in”.
Si anak sibuk itu tidak kunjung datang, padahal kereta akan berangkat 30 menit lagi. Saat diriku mulai kesal karena kram kaki yang berdiri terlalu lama, panas kala itu yang sedikit tidak wajar, dan ramainya orang berlalu lalang, Kristin kemudian muncul dihadapanku dengan nafas yang tersenggal-senggal.
“Inkyy, sorry, macetttt” Kristin mengatakan dengan nafas naik turun.
“It’s oke, check-in gih, aku tunggu disini ya. Barang kamu taruh sini aja, aku jagain, kayaknya berat banget?” ujarku pada Kristin karena sedikit iba melihatnya membawa tas besar yang aku yakin beratnya mampu membuat pundak jadi pegal jika terus menggendongnya dalam waktu 15 menit.
“Oke, aku titip ya.” Ujar Kristin kemudian pergi menuju mesin cetak tiket.
Tidak lama kemudian Kristin Kembali ketempatku berdiri. Karena kereta tidak lama lagi akan berangkat, kami segera menuju pintu masuk. Setelah melewati pemeriksaan tiket dan menunjukan KTP, kami bergegas memasuki kereta api. Didalam telah dipenuhi penumpang lain. Aku dan Kristin segera menuju tempat duduk kami yang berdampingan. Aku menaikan tasku ke bagasi diatas tempat duduk, kemudian aku bantu menaikan tas Kristin. Setelah selesai menaikan tas kami, dengan hembusan nafas cukup berat karena kelelahan, kami menghempaskan diri ke tempat duduk yang keras ala kereta api kelas ekonomi itu. Udara AC yang cukup dingin membuat kami sedikit nyaman setelah terebus panas matahari (terutama aku yang menunggu Kristin sekitar 30 menit).
Kereta mulai bergerak, melaju secara perlahan. Ku pejamkan mata untuk berdoa agar pejalanan ini sampai selamat sampai tujuan dan aku dapat segera bertemu keluargaku. Saat ku buka mata setelah selesai membaca doa, telah berdiri seorang ibu-ibu berusia sekitar 50 tahun dihadapan kami, ia terus-terusan melihat nomor tempat duduk kami dan mencoba mencocokannya dengan nomor duduk di tiketnya.
“Nomor berapa bu? Boleh saya bantu?” aku berinisiatif untuk membantunya. Ibu tersebut tersenyum dan memberikan tiketnya kepadaku. Betapa kagetnya aku saat melihat nomor tempat duduk di tiket ibu tersebut adalah nomor 17B, sama seperti tempat duduk Kristin. Kemudian aku melihat nomor gerbongnya, sama juga! Gerbong 6. Kemudian aku meminta Kristin mengeluarkan tiketnya, mungkin Kristin yang salah tempat duduk. Saat ku lihat tiket Kristin, tidak ada yang salah, Gerbong 6 dengan nomor tempat duduk 17B. Kristin membantuku untuk melihat apa yang salah dari dua tiket tersebut.
“ASTAGA KYYYY…!!” Kristin sedikit berteriak. “Aku salah tanggal! Tiket aku tanggal 1 Agustus, bukan 1 Juli.”
Aku melihat tiket Kristin. Ah sial, benar, tiket Kristin memang betul Gerbong 6 Nomor 17B tapi tanggal 1 Agustus!!! Kereta telah melaju dan menjauh dari Jakarta. Kristin kemudian mempersilahkan ibu itu untuk duduk setelah sebelumnya meminta maaf. Beruntung bangku didepan kami masih kosong sehingga untuk sementara Kristin dapat duduk di bangku tersebut. Kami berdua diam, Kristin berkaca-kaca sambil tidak henti-hentinya bertanya “Gimana nih??”. Oh iya lupa, selain sering bingung, Kristin juga anak yang melankolis, mudah panik dan menangis. Saat itu yang bisa aku katakana hanya “Tenang-tenang, tarik nafas, ini bukan salah kita”.
Hal yang ditunggu-tunggu datang. Pemeriksaan tiket! Ada dua jalan yang dapat kami ambil, yang pertama adalah mengatakan dengan jujur bahwa Kristin tidak sengaja menjadi penumpang gelap dan yang kedua adalah diam-diam saja, toh nanti dia bisa bergantian duduk denganku atau berpindah-pindah tempat duduk mencari tempat duduk yang kosong. Saat itu pemeriksaan tiket didalam kereta masih menggunakan pembolong kertas dan petugas tidak detail dalam memerhatikan tiket sehingga jalan kedua besar kemungkinan dapat ditempuh. Kemudian dengan yakin, aku mengatakan kepada Kristin:
“Oke Kris gini aja, kamu diem aja, jangan panik, nanti serahkan tiket kamu kayak biasa aja, oke?” kataku kepada Kristin yang matanya berkaca-kaca. “Nanti kita cari tempat duduk yang kosong. Tenang aja.”, aku harap ucapanku dapat menenangkan Kristin yang dari raut wajahnya masih terlihat panik.
Saat petugas pemeriksa tiket datang dan tiketku telah diperiksa. Kristin kemudian menyerahkan tiketnya dan mengatakan yang sejujurnya kepada petugas. Astaga Kristinnnn…!!! Aku sedikit kesal namun tidak bisa melakukan sesuatu. Kemudian aku bertanya kepada petugas, apakah ada hal yang bisa kami lakukan. Petugas mengatakan bahwa satu-satunya jalan adalah membeli tiket lagi di Stasiun Cirebon, kereta akan berhenti disana sekitar 5 menit, kami harus berlari ke loket untuk membeli tiket. Itupun jika masih ada tiket tersisa. Jika tidak maka Kristin harus turun di Stasiun Cirebon.
Setelah petugas pergi, kami berdua kembali duduk terdiam. Kereta akan tiba di Stasiun Cirebon dalam waktu satu jam. Saat kami hanyut dalam pikiran kami masing-masing, seorang bapak-bapak di kursi sebelah mengatakan “Udah bayar aja petugasnya, dik. Kamu datangi dia diam-diam dan beri uang. Daripada kamu diturunkan.”
Aku memandang Kristin dan mengangguk. Kristin seakan mengerti maksudku, kemudian ia berkata “Ky, ini salahku, kita harus jujur. Bukan masalah uangnya, tapi masalah harga diri. Kita masih muda, jadi sudah seharusnya kita belajar bertanggung jawab untuk menerima kesalahan dan berusaha melakukan kejujuran.”.
Aku terdiam. Mencerna kalimat-kalimat yang baru saja Kristin ucapkan. Kalimat-kalimat tersebut menohok hatiku. Aku diam selama beberapa saat.
“Kris, oke, ayo kita lakukan hal jujur. Nanti kita cuma punya waktu 5 menit untuk ke loket tiket dan lari kembali ke kereta, kalau tiket masih ada. Kalau sudah habis, berarti harus turun kan? Kris, let me do this for you. Nanti aku ya yang turun untuk lari ke loket tiket. Kalau ternyata sudah habis, biar aku yang diturunkan dan ikut jadwal kereta selanjutnya.”
“Kyy?”
“Kris, orang tua kamu pasti akan jemput kamu di Stasiun Malang sesuai jadwal kedatangan. Mereka pasti khawatir kalau kamu tidak datang tepat waktu. Dan.. akan lebih mudah buat aku untuk lari ke loket, lagipula orang tuaku tidak akan sekhawatir itu jika aku tidak datang tepat waktu, aku hanya perlu mengabari mereka. Aku tahu ini salahmu dan harusnya kamu yang bertanggung jawab, tapi kan kita hanya tukar tiket, yang penting kita tidak mengambil hak orang lain dan tidak merugikan KAI. Oke?”
Kristin kemudian memelukku dan berterima kasih. Ku katakan bahwa seharusnya aku yang berterima kasih karena ia telah mengajariku untuk tetap berbuat jujur meskipun akan selalu ada celah untuk berbuat curang.
Saat kereta akan tiba di Stasiun Cirebon, petugas yang memeriksa tiket kami tadi menghampiri kami dan mengatakan penumpang yang salah tanggal di tiket harus turun untuk membeli tiket baru. Ku katakan bahwa aku yang akan turun dan menjelaskan pertimbangan kami. Petugas tersebut mengerti dan mempersilahkan aku bersiap-siap. Ku turunkan tasku dari bagasi dan kubawa menuju pintu gerbong, untuk berjaga-jaga jika aku memang harus diturunkan di Stasiun Cirebon. Kristin menemaniku menuju pintu gerbong.
Saat kereta telah tiba di Stasiun Cirebon dan telah berhenti sempurna. Aku langsung turun dan berlari menuju loket tiket yang jaraknya cukup jauh dari kereta. Setelah sampai di loket, petugas loket mengatakan bahwa tiket untuk kereta yang sedang aku naiki telah habis namun masih ada tiket untuk tujuan Malang di jam selanjutnya. Aku segera berlari kembali ke kereta, terlihat Kristin memeluk tasku erat dengan raut wajah harap-harap cemas.
“Gimana Kyy?”
“Habis Kris. Ya sudah, aku turun disini ya, nanti aku naik kereta selanjutnya. Kamu hati-hati selama dalam perjalanan. Salam buat bapak ibumu!”. Aku segera mengambil tasku karena kereta akan kembali melaju. Terlihat air mata yang menggenang diujung mata Kristin. Kristin melambaikan tangan dan berteriak “Makasih ya Kyy, nanti aku ganti uang tiketnya!”
“Iya, gampang! Byee..”
1 Juli, Stasiun Cirebon
Aku duduk disalah satu restoran didalam Stasiun Cirebon. Teh hangat dan tiket yang sudah tercetak ada dihadapanku. Keretaku datang dalam waktu dua jam lagi. Aku memandangi sekitar kemudian mengingat-ingat kembali apa yang baru saja terjadi, tentang keberanian Kristin untuk mengakui kesalahan, tentang teguhnya hati Kristin untuk tidak berbuat curang, dan tentang apa yang baru saja aku lakukan untuk sahabatku. Belum pernah sebegitu bangganya aku terhadap diriku sendiri, bukan atas apa yang aku lakukan untuk orang lain tapi atas keputusan jujur yang aku pilih.
By, Reilla Dwantara Sukma