ini Mira merasa sangat kelaparan. Bunyi perut yang terus mengganggu memutuskan untuk dia segera mencari warung makan di pinggir jalan. Pekerjaan yang dilakukan membuatnya hilang tenaga. Tak lama setelah melakukan pencarian, tertujulah dia di sebuah warung kecil yang sepi dengan suasana yang menyejukkan.
“Disana saja ya Mir, sepertinya warung itu tempatnya sejuk deh selain itu lumayan sepi juga. Jadi biar kita ga nunggu lama-lama dan kerjaan juga biar cepat selesai” kata Putri
Mira hanya menganggukan kepala sembari menyimpulkan senyumannya.
Mira tidaklah sendirian karena dia bekerja dengan teman se-tim di umur pertemanannya yang baru dua hari. Seorang gadis yang belum lulus sekolah ini berhasil diterima bekerja di suatu perusahaan keuangan menengah dimana pekerjaannya mewajibkannya untuk menjadi wanita yang tangguh. Berangkat subuh dan pulang malam sepertinya akan menjadi kebiasaan bagi Mira nantinya.
Di umur yang belum genap 20 tahun dan belum dinyatakan lulus secara resmi ini, mencoba mencari suasana kerja yang sesungguhnya. Sebenarnya Mirna menginginkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi dia melihat perekonomian keluarga menjadikannya ikhlas akan nasib dia ke depannya.
“Ayo Mir di makan, setelah ini kita mau ke kampung Kartini untuk mengambil tagihan” ucap Putri dengan menyuapkan sendok ke dalam mulutnya.
“Iya kak, terima kasih” jawabnya dengan pelan
Kringg....kringggg....kringgg.... bunyi smartphone Mira terdengar sangat lantang
“Iya, Halo Rin, ada apa?” tanya Mira kepada penelpon
“Mir, kamu tadi dicariin wali kelas kamu nih, kamu kemana? Ini kan gladi bersih buat acara wisuda besok. Kamu ikut wisuda kan Mir” jawabnya dengan nada cemas.
“Iya, besok aku pasti ikut wisuda, yaudah nanti malam aku kabari lagi ya. Bye..”
“Kamu besok ijin kerja ya Mir, berarti wisudanya besok dong?” sahut Putri
“hehe iya kak, besok aku ijin ga masuk kerja satu hari ya”. Setelah menghabiskan makanannya, mereka berdua memutuskan untuk lanjut bekerja.
Jarum jam sudah menunjukkan waktu setengah 5 sore, saatnya Mira dan Putri kembali ke kantor untuk menyetor uang tagihan ke pengurusnya.
“Kak Putri bekerja disini sudah berapa lama?” Mira mencoba memulai percakapan
“Aku sudah hampir tiga tahun bekerja di perusahaan ini”
“Plus minusnya apa sih kak kerja disini, yang aku rasain selama dua hari ini kerjaannya capek banget, makan, solat bahkan mengemudi sepeda motor kaya gini aja udah ditarget waktunya”
“Ada banyak faktornya, aku sebutin minusnya dulu nih ya. Bekerja disini itu kita terikat kontrak dalam artian apapun yang terjadi kita harus patuh sama surat perjanjian kerja kita di awal saat kita bekerja. Nah, salah satunya ga boleh menikah sebelum kita kerja kurang dari 5 tahun” nadanya lirih.
“Selain itu, bekerja di perusahaan ini kita harus siap di mutasi. Dalam artian kita harus siap dipindahkan tempat kita bekerja nanti. Seperti Kak Putri ini, dulu asalnya dari Lumajang sekarang pindah kesini. Terus waktu kita sama keluarga juga otomatis terhalang ya. Jadi Bu Thoyib nanti hehehe” guyonnya.
“Di lain itu semua, banyak juga kok kelebihannya seperti gaji kita yang berpatokan sama UMK, tunjangan makan, tunjangan karir juga ada terus nanti kalau kita mencapai target ada bonusnya sebagai reward, ada gaji 13 kayak PNS dan ada tunjangan Hari Raya yang nilainya sama seperti gaji kita perbulannya” tambahnya dengan senyuman yang menggoda terlihat di kaca spion.
Mira hanya menyimak percakapan Putri tanpa menimpali percakapan.
“Oh iya Mir, kamu kan belum lulus sekolah ya? Kenapa ga ngelanjutin sekolah?” tanyanya heran.
Perekonomian Mira tidak begitu rendah dan juga tidak begitu tinggi. Perkataan keluarga besar yang masih berfikiran tradisional yakni jika nanti kuliah Mira dianggap percuma karena pada dasarnya seorang perempuan hanyalah sebagai ibu rumah tangga yang hanya mengurus suami, anak dan rumahnya. Padahal dalam membina keluarga dan mendidik anak nanti dibutuhkan seorang perempuan yang cerdas karena ibu adalah madrasah atau ladang pertama dalam mendidik anaknya.
“Oh iya Mir, besok lusa jam 6 pagi kamu usahakan sudah disini ya. Soalnya ada briefing agak lama. Kerjaan hari ini sudah selesai, kamu boleh pulang” kata Putri sambil memarkirkan sepedanya di depan kantor.
“Iya kak, terima kasih” sahutnya dengan berpamitan.
Rumahnya yang sangat jauh dari tempat kerjanya membuat ia bergegas segera pulang karena ia merasa sangat lelah. Di tengah perjalanan ia memikirkan nasib hidupnya.
“Apa aku sanggup menjalani kehidupan sehari-hariku nanti seperti ini? Menghabiskan waktuku di perjalanan, menagih uang ke rumah orang, mengejar nasabah yang piutangnya macet dan tidak mau membayar angsuran. Sampai kapan aku seperti ini? pekerjaan ini sungguh tidak seperti yang kuharapkan. Aku hanya ingin kerja kantoran yang setiap hari bisa kujalani dengan duduk manis di depan meja. Disaat teman-temanku merantau ke kota seberang demi meraih impiannya, aku disibukkan dengan mencari rupiah demi membantu perekonomian keluarga.” Gumam Mira dalam batinnya yang tidak ia sadari air mata yang satu per satu menetes di pipinya.
Mira merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Jadi jika perekonomian keluarganya terhambat ia harus membantu mencari uang. Karena ada adik-adiknya yang juga harus bersekolah. Bisa dikatakan ia merupakan tulang punggung keluarga karena bapaknya yang sering sakit-sakitan. Sebenarnya, bapaknya sudah membujuk dan memaksa Mira untuk mau kuliah di Universitas Swasta, tetapi Mira menolak karena biaya perkuliahan di swasta sangatlah mahal dan mementingkan kehidupannya keluarganya ke depan. Mira juga sudah mencoba mendaftar di salah satu politeknik negeri, tetapi tidak diterima.
Sesampainya di rumah ia bergegas mandi, makan dan solat. Setelah semua telah dilakoninya, ia berbaring di kasur tempat tidurnya dengan menatap layer ponsel.
“Bagaimana pekerjaannya?” kata-kata yang terlihat di bar notifikasi ponselnya yang tak lain adalah Gio, pacar Mira.
“Lancar tapi sangat lelah, kamu sendiri gimana? Ikut gladi bersih buat wisuda besok kan? ”
“Ikut dong tadi aku ga kesiangan lagi loh bangunnya heheh” candaan Gio membuat Mira tersenyum.
“Kamu yakin Mir lebih memilih bekerja seperti sekarang daripada kuliah? Pekerjaan kamu ini bukan passion kamu loh” tambah Gio.
“Bagaimana lagi? Bapak sekarang sering sakit, keuangan keluarga jadi pertimbangan utama kalau aku kuliah. Dan gimana nasib adik-adikku nanti jika perekonomian semakin darurat?” balas Mira.
“Yaudah kalau memang itu pilihan kamu, aku bakal selalu support. Tapi ingat, jika pekerjaan itu membuatmu tidak nyaman segeralah resign. Banyak pekerjaan di luar sana yang lebih baik daripada pekerjaanmu yang sekarang. Dan jadikan pekerjaanmu sebagai pengalaman untuk ke depannya ya.”
“Iya mas Gio. Yaudah aku mau istirahat dulu. Besok pagi-pagi udah ke tukang rias. Kamu jangan begadang biar besok ga telat”
“Iya saying, selamat tidur ya” Gio mengakhiri percakapan di WhatsAppnya.
Gio merupakan pacar Mira sejak di bangku SMP, setelah lulus SMP mereka terpisah jarak karena Gio melanjutkan sekolahnya yang berbeda dengan Mira. Apapun dan bagaimanapun kondisi Mira wajib untuk diceritakan kepada Gio. Karena hanya Gio yang bisa memahami dan mengerti kehidupannya. Jadi, bisa dibilang Gio sangat hafal betul kemampuan dan kemauan Mira khususnya dalam pekerjaannya. Sebelumnya Gio sempat tidak menyetujui pekerjaan Mira, karena ia rasa Mira yang pendiam belum cukup berani bekerja di lapangan apalagi berbicara di khalayak publik.
_____
Siang itu, suka duka melebur jadi satu ketika banyak teman yang menyalami dan meminta Mira untuk foto bersama. Mira merasakan kesenangan karena lulus dengan nilai yang begitu memuaskan meski ia sangat sedih karena harus terpisah oleh teman-teman yang melanjutkan Pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Air mata yang tidak bisa ia bendung menetes perlahan sampai make up yang ada di wajahnya yang mungil luntur.
“Ya Allah, aku sangat senang dengan usahaku yang berbuah manis ini. Semoga keputusan ke depannya aku bisa menjadi orang yang lebih bermanfaat buat orang sekitar meski pada akhirnya aku harus merelakan impianku.” Gumamnya sembari pergi dari ruangan.
______
Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Alarm handphone terus berdering. Tak lama, Mira terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah sudah jam empat, waktunya mandi. Hari ini kan ada briefing” ucap Mira dengan melipat selimutnya.
Setelah mempersiapkan diri, ia bergegas mencari ponselnya untuk mengabari Gio. Tak lama kemudian, ia berpamitan kepada ibunya untuk berangkat kerja.
_____
Selang satu jam setengah Mira sampai di kantornya.
“Hey Mira, udah sarapan?” tanya Sopia sambil mengeluarkan sepeda dinasnya.
“Udah kak” jawab Mira
“Ayo, siap-siap briefing. Ada banyak hal yang mau ketua sampaikan nanti”
Briefing dimulai pukul 07.00 WIB, semua sudah berkumpul di lantai 2 yang merupakan tempat diskusi tim.
“Selamat pagi semua, semoga kabar rekan-rekan baik dan semangat terus untuk mencapai target di bulan ini. Ada beberapa yang harus saya sampaikan khususnya kepada rekan kita Mira yang sedang menjalani training untuk bisa melanjutkan statusnya sebagai pegawai kontrak. Yang pertama untuk Mira dulu ya...Mir, besok sudah 5 harinya kamu bekerja disini artinya sudah satu minggu kerja dengan status pegawai training. Untuk menjadi pegawai kontrak, kamu diharapkan bisa meniru pekerjaan yang sudah kamu perhatikan selama ikut kakak senior. Dan sebelumnya kamu disuruh menyetujui perjanjian kerja yang telah ditandatangani oleh orang tuamu. Surat ini dikumpulkan pada saat kerja yakni Senin besok. Ini suratnya, silahkan dibaca jika tidak jelas bisa ditanyakan. Dan sekarang kamu ikut Sopia untuk menyurvey lokasi sebagai pertimbangan perluasan modal” ucap ketua dengan menyodorkan selembar kertas.
“Baik kak, terima kasih” sahut Mira dengan menerima kertas pemberiannya.
Jam dinding berdering dengan lantang menandakan briefing sudah berakhir. Mira mendapat jadwal menemani Sopia untuk survey lokasi. Selama bekerja Mira tidak dapat fokus dengan pekerjaannya. Ia merasa bingung apakah dirinya sanggup dan yakin menjadi pegawai kontrak dengan pekerjaan yang seharusnya tidak ia inginkan tersebut.
Dalam perjalanan pulang pun ia masih memikirkannya. Ia meragukan persetujuan dari kedua orang tuanya. Sesampainya di rumah...
“Nak, besok ga usah kerja lagi ya” tiba-tiba ibu menyambutnya dengan perkataan yang tidak mengenakkan.
“Ya iya lah bu besok kan Sabtu, masa teman-teman libur aku kerja sendirian” jawabnya dengan menggoda.
“Ibu tadi ditelfon bapak, disana dia terus memikirkan kamu. Mikir kamu yang kerjanya dari pagi buta sampai malam petang seperti ini setiap harinya. Pinginnya kamu kuliah di universitas yang dekat-dekat sini.” Jawabnya dengan muka yang sedikit masam.
“Aku ga papa kok bu, aku juga pengen bantu kehidupan ibu dan bapak. Untuk adik juga. Oh iya bu, ini tadi dari atasanku katanya minta tandatangan untuk persetujuan kerja.” Sahutnya dengan memberikan selembar kertas dari ketuanya pagi tadi.
“Ini maksudnya mutasi gimana?” tanyanya heran.
“Jadi kalau semisal nanti Mira diangkat sebagai pegawai tetap nanti ada perputaran pegawai bu, dalam artian nanti kerjanya bisa diputer antar kota. Kalau sekarang Mira di Surabaya besok dipindah ke Malang, bisa saja ke Jakarta juga lo bu”
Seketika ibu terdiam dan menangis
“Ibu? Kenapa bu, kok ibu nangis sih” tambah Mira sambil mencoba menenangkan ibunya.
“Maafin bapak ibumu nak, karena tidak bisa menyekolahkan kamu ke jenjang yang lebih tinggi kamu jadi bekerja keras seperti sekarang” tangisan ibu semakin menjadi.
“Bu, aku pengen mandiri. Aku juga udah dipercaya loh bus ama atasanku untuk bisa bekerja disana”
“Tapi ibu tidak menyetujui Mir kalau sampai kamu jauh atau bahkan merantau hanya untuk kerja. Kamu itu anak perempuan. Kamu kerja pulang pergi kaya gini aja ibu kepikiran terus apalagi besok kalau kamu ditugaskan di luar pulau Jawa. Pokonya ibu dan bapak tidak menyetujui kamu kerja lagi disana.”
Mira yang sudah menentukan pilihan hidupnya, seketika dibuat bingung kembali. Bagaimana kehidupannya ke depan? Kalau kuliah tidak ada uang dan kerja sudah tidak diperbolehkan, bagimana jadinya besok?
______
Ia menuju kamarnya, wajahnya yang mungil dengan kondisi yang letih dihadapkan ke depan cermin. Ia masih memikirkan nasib esok hari yang mana hatinya sudah ikhlas dengan meninggalkan impiannya masuk ke universitas besar diganti dengan pekerjaan yang memiliki gaji terbilang besar untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Sekarang pekerjaan tersebut haruslah ditinggalkan karena tidak mendapat restu dari orang tuanya.
“Sebenernya aku ini apa sih? Kenapa kemauanku bertolak belakang dengan restu orang tua. Siapa lagi yang segan aku ajak untuk bercerita dan memberi solusi” tangisnya pecah dengan mata yang terus menatap cermin kamar. Seketika itu Mira teringat Gio.
“Gio, hanya dia yang bisa memberi aku solusi” gumamnya.
“Hallo Gio, kamu lagi sibuk ga?” sapa Mira dalam telfonnya
“Kamu dari mana sih Mir, aku pesan berkali-kali ga dibales? Kamu udah nyampe rumah kan? Aku khawatir banget sama kamu”
“Ih, apaan sih bucin. Aku kan habis kerja, tadi itu mandi terus ngobrol sama ibu bentar. Hehe maafin aku ya baru sempat ngabarin.” rasa khawatir Gio yang ditujukan ke Mira membuatnya sedikit lebih tenang dari emosi yang tadi ia pikirkan.
“Mas, tadi kan aku minta ijin ke ibu buat menandatangani perjanjian kerja. Terus ibu ga mau bahkan dia suruh aku buat resign mas. Aku bingung harus gimana. Aku sudah tidak ada harapan lagi sama kuliah, terus waktu aku ada jalan buat membantu memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga malah ga dibolehkan” sambungnya yang mulai membuka diskusi.
“Kenapa beb ga diperbolehkan. Bukannya dari kemarin boleh aja ya?” tanyanya dengan heran
“Keterangan di surat perjanjian itu diharuskan memenuhi dan mematuhi poin-poin yang ada di dalamnya. Salah satunya, pemindahan daerah pekerjaan”
“Maksudnya mutase?” tebaknya.
“Iya mas, kan nanti kalau sudah diangkat jadi pegawai tetap harus bisa dirolling ke daerah lain gitu.”
“Jangankan orang tua mu, aku yang bukan kamu prioritaskan aja ga bakal setuju dengan kontrak kerja seperti itu.” Ucapnya kesal.
“Aku tahu bagaimana kondisi keluargamu beb, tapi bukan dengan cara merantau seperti itu Mir. Banyak kok instansi bahkan perusahaan besar membutuhkan pegawai dan yang pasti bukan dengan cara mutasi seperti yang direncanakan organisasi pekerjaanmu sekarang. Jadi coba dipikir deh, kita bisa cari usaha buat itu semua. Kalau kamu merantau, siapa yang mau jaga ibumu? Bapakmu di negeri orang begitupun adik-adikmu juga masih kecil masih butuh pendidikan yang selayaknya.” Timpalnya sambil menasihati.
“Tapi bagaimana caranya?” tanya Mira ke Gio
“Kamu itu orangnya tidak bisa santai, terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Saranku mending kamu cari pekerjaan di dekat rumah yang sekiranya ada lowongan. Nanti, jika penghasilannya dirasa lebih, bisa kamu pergunakan untuk mendaftar kuliah di perguruan swasta. Kuliah ga melulu harus dilihat dari akreditasinya yang suatu saat akan menentukan masa depan mahasiswanya. Keberhasilan seseorang kan tergantung kemampuan individunya.”
Nasihat Gio membuat hati Mira bak diguyur hujan. Yang mampu membuatnya tenang. Pembawaan yang dingin dalam menyelesaikan masalah membuat Mira yakin dan selalu menceritakan masalahnya ke Gio, sekecil apapun masalahnya.
“Ya udah kamu istirahat saja dulu. Besok dipikirkan kembali. Pikiranmu sedang lesu jadi pikiranmu tidak bisa fokus dalam memutusi permasalahan. Kamu tidur ya. Nice dream Mira sayang” tambah Gio yang mau menutup obrolannya.
“Iya, terima kasih ya Mas sudah mau menjadi bahu sandaranku.”
________
Hari terus berjalan, tibalah saat dimana Mira menentukan pilihannya. Ia bergegas berangkat ke kantor dengan tangan kosong.
“Kamu kemana Mir? Tidak mau nurut sama bapak ibumu ini?” ucap ibu Mira yang sedang menyapu halaman rumah.
“Aku mau ke kantor dulu ya bu. Assalamualaikum” tangannya menghampiri tangan ibunya untuk meminta ijin pergi.
_______
Sesampainya di kantor, Mira langsung bergegas ke lantai 2 untuk menemui ketua.
“Selamat pagi kak. Mohon maaf mengganggu waktunya. Saya mau memberitahu bahwa mulai saat ini saya berhenti bekerja. Karena kedua orang tua saya tidak mengijinkan saya bekerja lagi.” Ucapnya dengan suara yang lirih.
“Loh kenapa kok begitu? Apa yang membuat kedua orang tuamu tidak menyetujuinya? Apa karena keberatan dengan adanya sistem mutasi?” tebakan seorang pimpinan tidak pernah salah.
“Iya kak, sekali lagi saya minta maaf yang sebesar-besarnya.”
“Yaudah sekarang kamu turun, menemui bendahara minta uang gaji hasil training-mu kemarin.” Responnya yang sangat cetus menjadikan Mira terbawa perasaan dengan selalu menundukkan kepalanya.
“Ini gaji kamu selama 5 hari Mir, kalau saya dan rekan-rekan ada salah tolong dimaafin ya.” Ucap Sopia yang merupakan bendahara di kantor.
Sepertinya nasihat Gio benar-benar manjur. Membuat Mira lebih berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan.
_______
Mira yang sudah sampai di rumah. Disambut dengan ocehan ibunya yang terus memarahi adik-adiknya.
“Ada apa lagi ini bu? Apa salah adik? Perasaan dari kemarin ibu marah-marah terus.” Tanya Mira agak kesal.
“Adik kamu bisanya cuma main dan minta uang buat jajan terus. Dia pikir uang itu apa? Di sini ga ada yang bisa kerja.” Jawabnya dengan nada yang tidak mengenakkan telinga.
Mira terdiam mendengar jawaban ibunya. Perkataannya yang menusuk hati membuatnya teringat pada saat ia berbicara sendiri dengan cermin kamar. Dugaannya benar, bahwa perkataan ibunya yang tidak menyetujui kerja adalah paksaan dari ayahnya. Terlihat pada saat ibu meminta Mira berhenti kerja raut wajah bukannya sedih malah masam dan membuat Mira bingung pada hari itu. Sifat ibu Mira yang kurang dewasa dan bijaklah yang membuat Mira nekat bekerja kalaupun itu merantau. Setiap harinya selalu ada omelan dan omongan yang tidak menyenangkan yang keluar dari mulutnya, yang membuat Mira selalu ingin pergi jauh dan bersikap tertutup.
“Baru saja keluar dari kerja karena keinginanya kemarin. Ladalah sekarang rebut terus sama adik masalah keuangan. Apa tangisan ibu kemarin adalah sandiwara? Bagaimana bisa aku hidup dengan keluarga yang seperti ini? Apa mesti kebahagiaan diukur dari materi?” tanyanya kepada cermin.
Cermin merupakan teman terbaik bagi Mira. Dari dulu SD ia sering berbicara sendiri di depan cermin. Menceritakan hal-hal yang menyedihkan ataupun menyenangkan, karena setelah menatap cermin Mira merasakan ada solusi yang diambilnya meski itu terbilang lama. Bersyukur semenjak SMP, Mira memiliki seorang lelaki yang juga menjadi pendengar dan pemberi solusi yang baik di kehidupannya.
________
Beberapa minggu kemudian, Mira mendapat tawaran bekerja di salah satu swalayan modern di kampungnya. Untuk bisa menjadi karyawan disana tidaklah membutuhkan persyaratan yang ketat seperti pekerjaan sebelumnya. Ia memulai pekerjaannya dengan hati yang lapang.
“Mir, ini buat kamu ya.” pemilik swalayan memberikan sebuah amplop yang dilipat rapi dengan lem yang menempel
“Iya bu terima kasih” sahutnya penuh dengan rasa penasaran
Ia tidak sadar bahwa hari ini adalah 1 bulan usianya dalam bekerja di swalayan itu. Amplop yang diterimanya merupakan gaji pertama di swalayan tersebut. Penghasilannya terbilang lumayan besar.
Sesampainya di rumah, Mira membuka amplop tersebut untuk dibagi ke ibunya dan Sebagian ada yang ditabung untuk mendaftar kuliah meski belum pasti keadaannya.
“Ibu, bu...” panggil Mira kepada ibunya
“Iya Mir, ibu di belakang rumah mau bakar sampah. Ada apa?”
“Kemari sebentar lah bu. Ini bu gaji pertama aku kerja di swalayan.” Ia memberikan uang 100 ribu sebanyak 15 lembar.
“Hah? Kok Cuma ini? Bukannya swalayan itu selalu ramai pengunjung dan pelanggan ya?”
“Iya bu, uangnya Sebagian ada yang aku simpan untuk nanti aku daftar kuliah.”
“Kuliah? Kamu ga ingat perkataan Bibi kamu dulu? Kenapa harus kuliah kalau ujung-ujungnya nanti kamu di rumah ngurus suami dan anakmu nanti. Buang-buang uang saja.”
Lagi-lagi perkataan ibu membuat hati Mira tertusuk kesekian kalinya. Ia sangat sedih.
“Apa maunya? Kurang bersyukurkah punya anak seperti aku? Atau setidak berguna itu aku sebagai anaknya. Aku bisa mengerti kondisinya tetapi kenapa ibu kandungku sendiri tidak bisa mementingkan kebahagiaanku? Padahal aku sudah banyak berkorban disini.” Tangisnya seketika menjadi-jadi di depan cermin.
Perlakuan ibunya yang tidak pernah menghargai Mira membuat Mira merasa kesal dan marah. Hingga pada akhirnya Mira memutuskan untuk meminta bertemu kepada Gio.
“Gio, bisa kita ketemu?” pesannya di WhatsApp
“Iya bisa aku juga kangen kamu Mir, kita ketemu di tempat biasanya ya.” Balas Gio yang menjawab pesan kurang dari 5 menit tersebut.
______
Mereka bertemu di sebuah café dekat rumahnya. Dengan wajah yang lesu dan mata yang sedikit lebam membuat Gio kaget melihat Mira.
“Mira? Kamu kenapa? Ada apa denganmu?” tanya Gio karena khawatir
“Ibu Gi, ibu”
“Ibu kamu kenapa? Sakit?”
“Omongan ibu yang membuatku seperti orang tidak berguna. Apa benar aku se-tidak berguna ini ya Gi, iya?” tangisan yang tak bisa dibendungnya membuat dia menjadi pusat perhatian orang disekitar kafe.
“Hustt...kamu ngomong apa sih sayang, kamu ga berguna gimana sih. Kamu itu segalanya buat keluargamu. Kamu juga membantu perekonomian keluargamu. Kamu wanita hebat Mir.” Ucap Gio dengan pujian manisnya.
“Kamu kenapa? Apa yang membuat kamu berfikir seperti itu sayang? Coba cerita pelan-pelan.” Imbuh ucapannya sambil menggenggam tangan Mira.
“Ibu selalu aku ngertiin, selalu aku pahamin. Tetapi ibu kenapa ga bisa ngertiin aku Gi, kenapa tidak memikirkan sedikit kebahagiaannku. Tadi selepas kerja uang hasilku kerja selama sebulan aku kasih ke ibu. Sebagian aku tabung untuk mendaftar kuliah di perguruan tinggi disini. Tetapi ibu mengingatkan perkataan bibiku yang mana kuliah itu hanya mebuang-buang tenaga dan materi. Padahal aku dulu selalu nurut perkataannya. Aku rela tidak mengikuti SNMPTN yang berkategori Bidikmisi, aku merelakan impianku, cita-citaku. Setelah itu aku kerja dengan gaji yang terbilang besar tetapi tidak diijinkan bapak juga aku nurut, tetapi kenapa dia tidak bisa memahami posisi aku?” omongnya terpatah-patah. Tangisannya membuat nafasnya tidak bisa diatur.
“Iya aku tahu posisi kamu, kamu itu hidup di lingkungan desa dimana pemikiran orang-orang sangat primitive. Pemikirannya itu kuliah buat kerja, bukan untuk menambah wawasan. Apalagi seorang perempuan yang hanya dipandang sebelah mata. Tapi kamu harus tau juga dong, bapak kamu di negeri orang juga menginginkan kamu menjadi seorang yang berhasil. Biarkan saja kalau ibumu tidak mendukungmu. Ada bapak kamu, ada aku dan ada adik-adikmu yang bisa membangun motivasi didalam tubuhmu. Udah ya kamu minum dulu jusnya” nasihat Gio dengan meminumkan jus yang ada di depan Mira.
“Tapi percuma aku kuliah kalau ibu aja ga bisa dukung aku ga bisa mendoakan aku.”
“Tidak ada ibu yang tidak mendoakan anaknya. Ibu kamu hanya perlu pengertian lebih banyak lagi. Udah ya kamu jangan sedih terus nanti bedak kamu luntur loh...” goda Gio untuk memancing Mira agar bisa tersenyum kembali.
“Ihhh...apaan sih kamu. Aku ga pakai bedak kali.”
Setelah beberapa saat kemudian, senyum Mira kembali hadir di tengah percakapan manisnya. Lagi-lagi nasihat Gio membantu Mira menyelesaikan masalahnya meski dirasa sangat berat untuk dilakukan.
“Apa ibu nanti bisa menerima penjelasanku ya Gi, aku takut malah menjadi petaka besar.” Cemasnya.
“Dicoba dulu aja, pokoknya kamu ada usaha menjelaskan. Nanti apabila ibumu masih belum bisa menerima penjelasanmu dan pemikirannya sama dengan bibimu, bilang aja ke bapak supaya bisa bantu beri penjelasan ke ibumu. Udah malem nih, ayo balik nanti dicariin ibu kamu.”
“Yaudah aku balik dulu ya Gi, makasih sudah selalu ada disaat aku butuh pendengar.” Sahutnya dengan senyum simpul bibirnya.
_______
Setelah pulang dari kafe, Mira mednapat telfon dari bapaknya. Kringggg....kringg....kringgggg......
“Halo Assalamualaikum pak, gimana kabarnya?” sapa Mira yang sebelumnya menarik nafas agar tidak kelihatan kalau dia sedang sedih memikirkan ibunya.
“Waalaikumsalam Nduk, kabar bapak baik. Kata ibumu kamu kerja di swalayannya Pak Budi ya? Semoga kamu betah Nduk ya.”
“Iya pak, udah satu bulan Mira kerja disana. Bapak kapan pulang?”
“Bapak ga bisa pulang, semua wilayah disini di-lockdown Nduk. Keluar rumah aja bapak takut kena tembak polisi.” Ujarnya dengan sedikit gelisah.
“Bapak jangan kemana-mana dulu, pandemic Covid-19 semakin merajalela pak.”
“Iya Nduk, kamu juga jaga kesehatan dan kebesihan. Jaga ibumu dan adik-adikmu. Ohh iya Nduk, apakah kamu sudah punya bayangan mau kuliah dimana? Ga selalu dengan kampus besar Nduk, pokoknya niat cari ilmu aja.”
“Iya pak, Mira sudah memikirkannya, termasuk biaya pendaftaran sudah Mira siapkan. Tapi pak, bisa bantu Mira ga pak?”
“Bantu apa Nduk?”
“Bantuin Mira ngejelasin ke ibu dong pak kalau kuliah itu bukan semata-mata awal untuk mencari uang ke depannya. Ibu berpikir kalau kuliah itu percuma nanti ujung-ujungnya hanya di rumah ngurus anak dan suami.”
“Berkali-kali bapak sudah jelaskan ke ibu kamu, tetapi jika nanti sudah ketemu saudaranya pikirannya berubah lagi”
“Iya pak, nanti Mira usahain juga buat ngejelasin ke ibu. Makasih pak ya sudah menjadi salah satu alasan Mira buat bertahan, buat menggapai cita-cita Mira.”
“Bagaimanapun kamu dan apapun cita-citamu nanti harus bisa kamu wujudkan meski itu sedikit sulit Nak, maaf bapak hanya bisa memberikan nasihat dan dukungan buat kamu. Belum bisa mencukupi keluarga sampai-sampai kamu rela bekerja yang seharusnya di usia kamu masih membutuhkan senang-senang dengan teman di luaran.” Ungkapnya dengan berat hati.
Sebetulnya, Mira tidak ingin membicarakan sikap ibu kepadanya karena takut nanti bakal menjadi masalah baru di keluarganya. Tapi, kalau bukan bapaknya yang membantu siapa lagi? Gio bukanlah orang yang belum pantas mencampuri kehidupan Mira.
______
Pagi itu, terlihat ibu yang sedang santai dengan melihat televisi.
“Mir, adikmu bangunin. Bantu dia menjawab pertanyaan buat sekolah yang harus dikirimkan jam 11 nanti. Dikirim lewat WhatsApp ya!” suruh ibu kepada Mira yang kebetulan di rumah
Hari ini Mira bertukar shift kerja dengan temannya, karena temannya nanti malam tidak bisa bekerja.
“Baik bu, oh iya bu ini ada pembukaan pendaftaran di perguruan tinggi. Apa menurut ibu Mira ikut daftar?” tanya Mira yang nekad tanya.
“Kamu punya uang berapa buat daftar? Sudah cukup?”
“Mira, baru ngumpulin uang Sebagian bu. Mungkin jika ada tambahan biaya nanti kira-kira tidak akan banyak juga.”
“Orang uangmu aja belum bisa mencukupi kebutuhan keluarga kok masih ngeyel kuliah kamu Mir, Mir. Uang darimana kita? Bapakmu bekerja jauh disana sekarang ga bisa kerja karena pandemic.”
Mira terdiam merenung sejenak memikirkan nasib bapaknya di negeri sana yang tidak bisa berkutik sekalipun untuk bekerja.
“Ya ampun, apa-apaan sih kamu Mir, egomu terlalu besar dan cita-citamu terlalu tinggi. Kamu belum bisa membuat perekonomian keluargamu membaik.” Batinnya.
“Kamu boleh kuliah Mir, kalau keuangan kita tidak seperti sekarang.” Tambah ibu.
“Iya bu, maaf Mira egois. Hanya karena keinginan Mira. Mira lupa kalau keluarga menjadi prioritas utama dalam keadaan saat ini.”
_____
Sejenak Mira pergi ke kamar untuk menenangkan diri.
“Kenapa sih Mir kamu ini ga bisa melihat situasi dan kondisi keluargamu sendiri.” Ucap Mira di hadapan cermin kesayangannya.
Mira menyadari bahwa keluarga sekarang menjadi prioritas. Sebab, bapaknya selain sering sakit-sakit ia tidak bisa mengirimkan nafkah bahkan sudah beberapa bulan yang lalu semenjak adanya pandemi virus Covid-19.
“Gio, mungkin saat ini aku harus melupakan impianku sedikit demi sedikit. Aku sadar Gio bahwa keluarga merupakan prioritas untuk saat ini. Lagi pula impianku kan tidak terpaut sama cita-citaku sebagai guru juga. Bisa saja Tuhan menyiapkan impian yang besar yang lebih baik daripada impianku” tulis pesan Mira kepada Gio via WhatsApp.
“Apapun keputusannya aku selalu dukung. Iya mungkin Tuhan sedang menyiapkan impian yang jauh lebih besar dibandingkan impian yang kamu inginkan. Kamu harus bisa sabar ya Mir, kamu adalah satu-satunya perempuan kuat yang aku miliki selain mamaku Mir.”
Balasan pesan dari Gio, membuat Mira merasa jauh lebih tenang.
“Memang benar, sahabat terbaikku saat ini hanyalah cermin dan Gio. Jika mereka tidak ada. Aku tak tahu bagaimana aku bisa menyelesaikan masalah dengan dingin seperti Gio. dan bahkan hanya dengan bercermin dihadapan barang mati sekalipun membuatku bisa menyadari kehidupanku selama ini. Cermin yang membuatku menampar dan bisa membuatku lebih menempatkan diri sebagai manusia yang senantiasa harus bersyukur.” Gumamnya dengan ikhlas.
Keputusan Mira untuk tidak mendaftar kuliah merupakan keputusan yang tepat. Karena banyak pertimbangan yang menjadikan Mira harus merelakan impiannya. Salah satunya adalah untuk memperbaiki keuangan keluarga. Ia menyadari bahwa saat ini ia belum bisa kuliah. Tapi bukan berarti nanti dia tidak menajdi orang yang berhasil. Banyak jalan menuju kesuksesan. Banyak cara untuk menjadi seorang yang besar. Mira merasa sangat bersyukur memiliki cermin sebagai saksi bisu persambatannya dan juga Gio sebagai penenang dan selalu ada buat Mira.