Suasana desa sore hari dengan pemandangan pegunungan dan di kelilingi perkebunan. Warga desa menjalani aktifitas sebagaimana biasanya dan sebagian baru pulang dari kebun menuju rumah mereka. Cahaya senja menjadi lampu paling terang yang menaungi kehidupan orang-orang, ditimpali oleh tiupan angin menuju timur yang menghibur manusia dengan kesejukan.
Seorang Bapak berpakaian rumahan; celana pendek dan kaos oblong, duduk di teras rumahnya dengan perasaan gundah menunggu kedatangan anak satu-satunya yang belum kunjung pulang. “Permisi Pak Toni”, beberapa orang yang lewat menyapanya dan dibalas dengan senyuman. Cahaya memudar dan Pak Toni masuk ke rumahnya lalu kembali ke teras rumahnya dengan memakai sarung dan pakaian hangat untuk kembali menunggu kedatangan anaknya yang belum juga datang.
Sudah habis dua gelas kopi yang dihabiskan, tapi anaknya tidak kunjung datang, raut muka Pak Toni semakin khawatir, waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, tapi anaknya belum juga datang. Akhirnya yang ditunggu pulang ke rumah, dan Pak Toni yang sudah lama menunggu terlihat kesal pada anaknya.“Pak”, Arman menyapa bapaknya. “Pulang juga kamu, kirain gak tau jalan pulang”, sahut Pak Toni. Keduanya duduk bersebelahan dengan bapaknya di kursi yang ada di teras rumah, lalu Arman menyalakan sebatang rokok.
“Dari mana aja man? jam segini kok baru pulang?”, kata Pak Toni sinis
“Main pak sama teman-teman kampus dulu”
“Gimana lamaran kerja? udah ada yang diterima?”
“Belum ada panggilan Pak”
“kamu abis minum man?”, dengan membentak
“Cuma dikit pak”, balas Arman dengan acuh
“Man, gak usah minum-minum lagi. Kalau udah keterusan, diri kamu sendiri yang rugi. Sayang uangnya kebuang, sayang juga badan kamu rusak nanti.”, kata Pak menasihati
Arman hanya diam tanpa menimpali nasihat bapaknya yang sedang mencoba menasihati anak satu-satunya.
“Yaudah, Bapak ke dalam dulu, kamu istirahat.”
Arman menyandarkan tubuhnya pada kursi sambil menarik napas panjang, lalu sebatang rokok yang dia hisap semakin terbakar habis dihembus dinginnya udara malam. Setelah sebatang rokok habis terbakar Arman masuk ke dalam rumah menyusul bapaknya.
*
Pagi sudah membangunkan orang-orang yang dilelapkan oleh malam, burung-burung saling bercinta dengan bertengger pada ranting pohon mangga. Pak Toni terbangun dari tidurnya lalu menyiapkan teh hangat dan sarapan pagi untuk dia dan anaknya, lalu Pak Toni membangunkan Arman yang masih tenggelam dalam tidurnya. Arman yang masih ingin tidur dibangunkan oleh bapaknya dengan ogah-ogahan, lalu membangkitkan diri dari tempat tidur menuju ruang tengah di depan hidangan sarapan yang sudah disiapkan oleh bapaknya. Arman meraih ponselnya dan ada berita panggilan wawancara kerja melalui ponselnya. Pak Toni menyambangi Arman dan duduk di sebelahnya.
“Pak, ada panggilan wawancara kerja nih”
“Syukurlah Man, kapan?”
“Dua hari lagi pak, tapi Arman gak punya sepatu pantofel”
“Memang pakai sepatu kamu yang ada gak bisa Man?”
“Ya gak bisa pak, kan itu sepatu buat kuliah, gak pantes kalo buat wawancara kerja. Arman minta uang dong Pak buat beli sepatunya” dengan nada kesal
“Bapak belum punya uangnya Man, nanti bapak usahain dulu”
Arman mengacuhkan bapaknya sambil menyantap sarapan yang ada di hadapannya. Setelah menyantap sarapan Arman kembali ke kamarnya dan meninggalkan Pak Toni. Pak Toni menatap kosong ke depan dengan merasa bersalah, lalu beranjak dari duduknya untuk menuju ke kamarnya mencari barang-barang lama miliknya di lemari. Pak Toni menemukan sepatu pantofel lama miliknya yanng cukup usang. Selang beberapa saat, Arman bergegas pergi dan berpamitan pada bapaknya. “Pak Arman pergi dulu, mau ketemu Sisil”, kata Arman tanpa menghiraukan Bapaknya. “Tunggu Man!”, berusaha mengejar Arman yang tidak terlihat lagi.
Pak Toni memanggil Arman, tapi Arman terlanjur pergi tanpa menoleh lagi. Pak Toni membawa sepatu yang ditemukannya di lemari ke teras rumah, lalu membersihkan sepatu usangnya. Pak Toni menyeka dan menyemir sepatu lama miliknya dengan lembut dan tatapan penuh makna saat membersihkan sepatu lama miliknya. Saat menyeka sepatu lama miliknya, sepatu itu membawa lagi kenangan-kenangan yang ada dalam memori Pak Toni. Pak Toni membawa sepatu yang sudah dibersihkan ke kamar Arman dan diletakkannya di pinggir tempat tidur Arman, lalu Pak Toni kembali keluar dan sebelum menutup pintu Pak Toni memandang kembali sepatu itu dengan tatapan yang dipenuhi memori kelam juga harapan.
*
Arman tiba di kontrakan Sisil dengan perasaan yang masih kesal pada Pak Toni. Arman mengetuk pintu kontrakan Sisil dan disambut oleh kekasihnya dengan peluk hangat.
“Hai sayang, kok mukanya bete gitu sih?”
“Yah gitu deh”, Arman membalas dengan muka kesal
“Cerita dong, kan ada aku”, sambil membelai rambut Arman
“aku dua hari lagi ada wawancara kerja”
“Wah bagus dong kalo gitu”
“Iya bagus, tapi aku gak punya sepatu buat wawancaranya, kan kamu tahu sepatu aku yang itu-itu aja. aku minta beliin ke bapak, tapi katanya gak punya uang, Kesal rasanya!”, dengan nada membentak kepada Bapaknya
“Sabar ya, maaf aku gak bisa bantu. aku juga gak punya kan sepatu pantofel gitu, atau mau aku pinjemin ke teman aku ya?”
“Gak usah, malu”
“Malu kenapa?”
“Gak, udah gak usah dibahas”, sahut Arman dengan kecewa
“Terus kamu maunya apa sekarang?”, Sisil menggoda Arman yang sedang rapuh dalam pengkuannya
“Mau apa? kamu mau tahu apa?”, Arman membalas pertanyaan Sisil dengan mendekat ke wajahnya yang manis
Sisil tidak menjawab pertanyaan Arman, dia mendekatkan wajahnya pada wajah Arman, lalu semakin dekat. Mereka hanyut dalam keintiman, lalu semakin intim layaknya dua manusa muda yang dilupakan hasrat.
*
Hari semakin malam dan Pak Toni menunggu kepulangan anaknya di teras rumah ditemani oleh segelas kopi dan dipeluk angin malam. Arman pulang dengan kondisi mabuk dan langsung dibopong oleh Pak Toni menuju kamar. “Dari mana aja sih kamu Man? jam segini baru pulang, mabuk lagi?”, kata Pak Toni marah. “Udah deh pak, Arman mau tidur!”, ditimpali oleh Arman yang sedang mabuk. “Mau sampai kapan begini terus man? jangan kaya bapak dulu, nyesel kamu nanti!”, dengan nada marah Pak Toni menasihati. Arman yang acuh tidak peduli apa yang diucapkan Bapaknya “Iya.. iya..”.
Pak Toni keluar dari kamar Arman dan memasrahkan diri pada kursi ruang tengah dengan mata berkaca-kaca sambil menatap kosong ke depan sambil memikirkan keadaan putranya, Arman. Pak Toni dipenuhi penyesalan pada pikirannya, pandangannya menjadi tertuju pada satu titik, titik masa lalu miliknya yang kelam.
*
Pagi sudah menyapa kembali para penghuni bumi. Pak Toni membuka jendela kamar untuk membangunkan Arman dan menepuk-nepuk tubuh anaknya agar segera bangun dari tidurnya. “Man, bangun man!”, Pak Toni menggedor pintu kamar Arman. Arman menimpali dengan setengah hati, “Iya pak nanti”.
Arman akhirnya bangkit dari rebahnya dan melihat ada sepatu pantofel di sisi tempat tidurnya. Beberapa saat Arman hanya melihat sepatu itu, lalu Arman meraih sepatu tersebut dan mencobanya untuk memastikan ukuran sepatunya pas di kakinya. Arman memakai sepatu mulai dari yang kanan dan ketika keduanya sudah terpasang, lalu Arman terdiam dengan pandangan kosong, seperti ada bayangan masa lalu seseorang yang terlintas dipikirannya, tapi belum jelas siapa yang muncul dalam bayang-bayang pikiran Arman. Dalam bayangannya Arman selintas melihat seorang laki-laki yang tengah berkumpul bersama teman-temannya sambil memeluk wanita dan di depannya penuh dengan minuman alkohol. Tapi tidak nampak jelas siapa lelaki itu, wanita itu dan apa yang dilakukannya. Pak Toni lalu menengok dari pintu kamar Arman untuk memastikan Arman sudah bangun, lalu Arman tersentak dan sadar dari bayangan yang terlintas di pikirannya.
“Arman! Arman! Ngapain bengong? Itu sarapan udah bapak siapin”
“Eh.. iya pak”, Arman menimpali dalam kebingungan
Arman melepas sepatu yang dipakainya sambil bertanya-tanya, sebenarnya apa yang baru saja muncul saat mencoba sepatu bapaknya. Sambil kebingungan Arman keluar dari kamar untuk menyantap sarapan. Arman duduk di samping Pak Toni yang sedang menyantap sarapan dengan tatapan kosong.
“Udah kamu coba sepatu bapak yang ada di kamar?”
“U.. u.. dah pak barusan”, dengan terbata-bata Arman menjawab
“Ukurannya pas?”
“Pas pak”
“Maafin bapak ya nak, gak bisa beli yang baru buat kamu. kamu pake dulu aja sepatu lama bapak, meskipun model jadul tapi masih layak”
“Iya pak”, jawab Arman seadanya
Arman masih terus memikirkan bayangan yang terlintas dipikirannya saat memakai sepatu tadi, dan tetap mengacuhkan bapaknya. Bayangan yang muncul saat Arman mencoba sepatu itu terus menganggu dan membingungkan bagi Arman.
*
Di teras rumah Arman mengikat tali sepatunya untuk bergegas pergi, lalu pamit kepada bapaknya yang sedang ada di dalam rumah.
‘Pak Arman pergi dulu ya!”, kata Arman sambil berteriak
“Mau kemana man?, kata Pak Toni yang juga berteriak
“Mau ngurus berkas buat wawancara kerja besok pak
“Jangan pulang malem-malem! jangan minum lagi!”, tukas Pak Toni
Arman mengacuhkan bapaknya yang ada di dalam rumah dan enyah dengan segera.
“Sisil!”, sambil mengetuk pintu kamar Sisil
“Eh sayang, kok gak bilang-bilang sih ke sini”
“aku tadi habis ngurus berkas buat wawancara kerja besok, jadi sekalian aja mampir ke sini”
“Oh, kok baru ngurusnya sekarang? Bukannya pas ngelamar kerjanya ya?”
“Kan ngelamarnya lewat online, jadi berkasnya baru dibawa pas wawancara”
“Gimana sepatunya? Udah dapet?”
“Udah, pake sepatu bapak dulu”
“Syukur deh sayang, yang penting kan ada sepatunya”
“Tapi aku ngerasa aneh pas coba sepatu itu. aku ngeras ada bayangan kejadian seseorang yang terlintas dalam pikiran aku, ada laki-laki sama perempuan lagi ngumpul bareng gitu sambil mabuk, tapi aku gak tau mereka siapa.”, kata Arman kebingunan
“Ah kamu abis minum kan semalem, efek high aja kali itu”
“Bukan sil bukan! aku udah kondisi sadar kok, itu pas tadi pagi aku coba”, kata Arman tegas
“Hmmm.. kalo itu sepatu bapak kamu, mungkin itu bapak sama ibu kamu dulu?”
“Hah ibu? aku aja ga tau wajah ibu aku kaya gimana”
“Aduh maaf ya jadi ngingetin kamu ke hal itu lagi”
“It,s fine babe. Tapi aku ngerasa itu kaya cerminan diri aku sendiri, ngingetin aku akan hal-hal yang sering aku lakuin.”
“Maksudnya?”
“Ya kamu tau kan, minum dan yang aku lakuin sama kamu juga”
“Hmm.. halusinasi kamu aja mungkin”
“Ya.. mungkin”
“Do you wanna do it tonight?“, kata Sisil sambil merayu
“I can’t babe, aku harus interview besok”
“Hmm.. okay”, balas sisil kecewa
“aku pulang dulu, udah malem juga soalnya. Mau siap-siap buat besok wawancara doain ya sayang”
“Yah kok cuma sebentar sih, kan masih pengen sama kamu”
“Besok lagi kan bisa”
“Iya deh.. good luck ya sayang wawancaranya besok”
Arman memutuskan untuk pulang ke rumah. Dengan pikiran yang masih dipenuhi kebimbangan Arman terus bertanya-tanya siapa sebenarnya yang ada dalam bayangan selintas itu.
*
Suasana desa malam hari dengan lampu yang menyorot tidak terlalu terang dan ditimpali dengan semilir angin gunung. Arman sampai di rumah dan melihat Pak Toni seperti biasa duduk di teras rumah. “Gimana Man? Udah siap berkas buat wawancara kerja besok?”, tanya Pak Toni. “Udah pak, Arman ke kamar dulu ya pak”, singkat Arman pada Pak Toni. Arman meninggalkan bapaknya yang masih duduk di teras dan masuk ke dalam kamarnya.
*
Saat kembali ke kamarnya Arman kembali menegok pada sepatu bapaknya yang masih menimbulkan rasa penasaran dalam benaknya. Arman terus memandangi sepatu itu dengan penasaran, lalu dicobanya kembali sepatu itu dengan pelan-pelan satu persatu, dan saat keduanya sudah terpasang terlintas kembali sebuah bayangan kejadian dengan lelaki dan perempuan yang sama, tetapi kali ini dengan kejadian yang berbeda.
Dalam bayangannya kali ini ada lelaki dan kekasihnya yang sebelumnya muncul pada bayangan sebelum sekarang muncul kembali, keduanya duduk berhadapan dan sang perempuan menangis. “aku gak rela! Pokoknya aku gak mau mengandung dan rawat anak ini!”, kata perempuan sambil menangis sekaligus marah. Lelaki itu menjawab, “aku bakal tanggung jawab, aku akan nikah sama kamu dan rawat anak kita”. “Gak! Gak mau! aku gak mau nikah sama kamu! kamu urus anak ini sendiri atau aku gugurin!”, kata perempuan sambil memukul meja di dedapannya. “Jangan kamu gugurin! aku akan rawat sendiri anak kita”, jawab lelaki. “Apa itu?!”, kata Arman tersentak kaget, lalu melepaskan sepatu itu dengan ketakutan. Pikirannya diliputi pertanyaan, siapa sebenarnya mereka? dan siapa anak yang dibicarakan mereka?. Arman berusaha mengendalikan ketakutannya, detak jantungnya berdegup kencang seakan Arman terlibat dalam pertengkaran mereka yang ada dalam bayangannya.
*
Arman duduk di teras rumah dengan berpakaian rapih dan didampingi Pak Toni yang duduk disampingnya. “Bapak doakan semoga diterima ya Man, kamu jangan lupa juga berdoa”, kata Pak Toni menasihati. Arman lanjut memakai sepatu lama pemberian bapaknya. “Iya Pak, mudah-mudahan”, balas Arman. Arman bangkit dari duduknya dan berpamitan kepada bapaknya.
“Kamu mirip bapak dulu Man waktu muda, kelakuannya apalagi”, ucap Pak Toni sambil tersenyum
“Pamit dulu ya Pak”, Arman Pamit ke Pak Toni yang memandang penuh harapan
Arman enyah dari hadapan Pak Toni, dan Pak Toni merelakannya dengan senyum penuh harapan. Ketika Arman berjalan menggunakan sepatu pemberian bapaknya, terlintas kembali sebuah bayangan dalam pikiran Arman, lagi-lagi lelaki dan perempuan itu muncul. Mereka muncul lagi, kali ini lelaki itu sedang dimarahi oleh lelaki yang lebih tua dari dirinya.
“Dari dulu bapak bilang ke kamu, semua yang kamu lakuin gak berguna! cuma buang-buang waktu! sekarang kamu tanggung sendiri akibatnya, tanggung jawab atas kelakukan kamu sendiri, jangan libatin bapak lagi!, kata lelaki tua yang muncul dalam pikirannya. “Tapi pak, aku gak punya apa-apa!, kata lelaki itu dengan keras. “Itu urusan kamu, tanggung sendiri akibatnya sekarang!, balas lelaki tua itu dengan tidak kalah keras
Arman yang sedang berjalan semakin kebingunan, dia bergumam “Siapa lelaki tua itu? Kenapa dia marah?”. Kembali bayangan baru muncul. perempuan menyerahkan bayinya kepada lelaki sambil menahan tangis.
“Ini anak kamu, mulai sekarang kamu rawat sendiri dia”, kata perempuan sambil membuang muka
“Sudah kamu kasih nama anak ini?”
“Belum, terserah kamu”
“Dia laki-laki, Nama dia Arman”, ucap lelaki yang selalu muncul dalam pikiran Arman
*
Arman tiba di perusahaan tempat dia melakukan wawancara kerja, lalu dia masuk ke ruang wawancara kerja dan disambut oleh pewawancara di hadapannya.
“Silahkan duduk, saudara Arman”, kata pewawancara sambil menjabat tangan Arman
“Terima kasih Pak”, jawab Arman gugup
“Boleh saya lihat berkas saudara?”
“Silahkan Pak”, sambil menyodorkan berkas
“Baik, dari berkas saya lihat Anda lulusan perguruan tinggi favorit di Jawa Barat”
“Betul Pak”, jawab Arman saat pikirannya masih dipenuhi pertanyaan
“Baik, sekarang ceritakan tentang diri Anda dengan sejujur-jujurnya”
Arman terdiam, karena pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan kejadian-kejadian yang terus teringat olehnya.
“Saudara Arman? bisa anda mulai?”, sambil menjentikkan jari untuk menyadarkan Arman
“Oh maaf pak”, tiba-tiba Arman menitihkan air mata
“Bisa pak, maaf saya kurang fokus”
“Anda baik-baik saja?
“Iya pak”, jawab Arman dengan percaya diri
“Baik, silahkan Anda mulai”
*
Wawancara selesai dan Arman menjabat tangan pewawancara, lalu meninggalkan ruangan tersebut. Arman diminta beberapa saat untuk menunggu keputusan dari perusahaan yang dia lamar. Arman menunggu dengan perasaan tidak karuan, bagaimana bisa ada bayangan Bapak dan Ibunya saat dia mencoba sepatu pantofel itu.
Beberapa saat kemudian, orang yang mewawancarai Arman datang menemui Arman. “Arman, saya dan tim sudah dapat keputusan”, kata pewawancara. “oh... bagaimana Pak keputusannya?, balas Arman dengan jantung berdegup menunggu kepastian. “Selamat, Anda kami terima di perusahaan kami”, kata pewawancara sambil menyalami Arman. “Terimakasih ya Pak, sekali lagi terimakasih”, kata Arman dengan senyum bahagia. “Mulai minggu depan kamu sudah bisa masuk kerja ya”, kata pewawancara menjelaskan. “Baik Pak”, jawab Arman dengan lugas.
Arman bergegas kembali ke rumahnya sesegera mungkin, karena saat dia terdiam ketika melakukan wawancara tadi, dia sadar bahwa lelaki dan perempuan yang muncul dibayangannya tersebut adalah ibu dan bapaknya ketika muda dulu, dan Arman sadar bahwa itulah yang dimaksud Pak Toni ketika menasihati Arman dan mengatakan, “menyesal kamu nanti!”.
Pak Toni sedang menunggu kedatangan anaknya di teras rumah, lalu Arman muncul dengan berjalan menuju teras rumah. sesampainya di rumah Arman duduk disebelah Pak Toni. “Pak, dulu Bapak dapet sepatu itu dari mana?”, tanya Arman penasaran. Pak Toni menghela nafas dan tersenyum saat mendengar Arman bertanya, seperti mengingat masa-masa kelam yang dilakukannya saat muda. “Kenapa senyum-senyum Pak?, tanya Arman. “Dulu Bapak itu nakal man, Bapak punya masa-masa kelam. Sampai akhirnya Bapak sadar, dan Bapak coba mulai jalan hidup yang baru, dan Bapak beli sepatu itu saat bapak punya pekerjaan pertama Bapak”, terang Pak Toni dengan mengenang masa kelamnya. Dengan mata berkaca-kaca Arman bilang, “Pak, Arman bangga sama Bapak”. “Loh? Ada apa man?”, tanya Pak Toni yang bingung. “Gak ada apa-apa kok Pak”, jawab Arman dengan memeluk tubuh Pak Toni dengan hangat.
Keduanya hanyut dalam pelukan beberapa saat dan meluapkan rasa kasih satu sama lain. Angin timur berhembus lembut, seperti berusaha mengusap air mata anak dan bapak yang sedang mengenal satu sama lain.
-TAMAT-
Biografi Penulis:
Ozi Marzuki, seorang anak yang lahir dari keluarga betawi. Dia menyebut George Orwell sebagai penulis favoritnya, sejak dia membaca “Animal Farm” dan “1984”, sejak saat itu dia menyukai menulis fiksi menggunakan sudut pandang alegori, atau singkatnya sangat terinspirasi oleh George Orwell.