Dalam mimpinya, Rifan melihat di kejauhan seekor gajah sebesar gunung, dengan gagah menuju ke arahnya. Semakin dekat, suara hentakan kaki gajah semakin kuat. Seperti bumi yang bergetar hendak gempa. Saking besarnya, punggung gajah itu menghalangi laju sinar matahari. Anehnya, Rifan seolah-olah berdiri sendirian di dunia itu. Sepi. Berlarian dari rumah ke rumah yang ia dapatkan hanya kekosongan. Hanya dia makhluk hidup yang kini tengah berdiri mematung. Terbengong-bengong.
Dari atas punggung gajah itu, sesosok bayangan terjun melayang dengan kecepatan tinggi. Dan mendarat dengan mulus tanpa harus meninggalkan suara apapun. Sosok itu berdiri angkuh di hadapannya: seorang lelaki kerdil berjanggut merah, berkepala licin, berbaju hitam ala persilatan. Tidak seperti kurcaci di negeri dongeng, ia memiliki mata sebiru langit, hidungnya mancung serupa hidung Pinokio, bibir tebal semerah api. Tersenyum sinis menampakkan gigi yang rata, putih dan runcing. Rifan masih terbengong-bengong melihat makhluk aneh di depannya. Mulutnya terkunci rapat untuk mengatakan ‘siapa kau?’
Kurcaci—sebut saja begitu—itu merogoh sesuatu di tas yang sedari tadi diselendangkan. Lama merogoh—tingkah dan raut wajahnya lucu dan menjengkelkan—kurcaci itu mengeluarkan sebuah kotak kecil sebesar kepalan tangan orang dewasa. Kotak itu dilempar begitu saja. Hampir mengenai wajah jika tidak segera ditangkap Rifan.
“Bukalah!”
Rifan terbelalak kaget, melihat isinya adalah sebuah cincin emas yang merah membara, seperti baru dikeluarkan dari api yang berkobar-kobar.
***
Waktu satu jam setengah antara maghrib dan isya adalah saat-saat paling tepat bagi kami sekeluarga untuk kumpul bersama, setelah satu hari penuh menyibukkan diri dengan kesibukan masing-masing. Tapi, kali ini, hanya ada aku dan ibu yang lebih memilih diam di rumah, sementara ayah dan dua adikku pergi silaturahim ke rumah paman di daerah lain di kota ini. Setiap hari Sabtu, kami sekeluarga biasa berkunjung ke rumah paman. Di sana, adikku yang paling kecil akan tampak sangat girang, karena paman hanya memiliki satu anak laki-laki yang bisa diajaknya bermain. Terkadang, adikku itu sampai ngotot mau menginap di sana.
Sebenarnya, aku juga mau main ke sana. Karena di rumah pamanlah, aku banyak mengetahui hal-hal baru yang tidak aku ketahui sebelumnya. Pamanku memiliki kemampuan dan keterampilan yang mengagumkan. Ia orang yang selalu up-to-date terhadap perkembangan teknologi canggih.
Malam ini aku punya rencana lain. Aku ingin mengetahui cerita cinta ayah dan ibu. Aku amat penasaran. Beberapa hari yang lalu, ketika sedang membongkar buku-buku di gudang, tidak sengaja aku menemukan tiga buah diary ayah sewaktu muda. Tentu saja, melihat masa lalu orang lain tampak menyenangkan. Apalagi, orangtua sendiri. Tapi, aku tidak enak hati untuk membukanya. Bisa jadi, ayah tidak mau masa lalunya terbongkar.
“Kamu penasaran, bagaimana ayah ibu bisa bertemu dan saling jatuh hati?” ibu terkekeh, mungkin sedikit risih melayani pertanyaan anaknya, “Oke, oke… ibu mau menceritakannya. Asalkan kamu mau mengambil hikmah dari cerita ini ya?” aku mengangguk-angguk bersemangat.
“Sebenarnya, ayahmu dulu adalah seorang penjaja roti. Dari pekerjaan itulah, ayahmu bisa membiayai kuliah yang sedang mahal-mahalnya. Dari pekerjaan itu pula, ayah sangat hafal rute-rute di kota ini. Pengetahuannya amat luas. Seluas kota ini.” Aku bengong. Tidak menyangka kalau ayahku yang saat ini begitu istimewanya di mata manusia, pernah menjajal profesi rendah di mata orang.
“Wah, sepertinya seru tuh bu. Bagaimana bisa sih, ayah sesukses sekarang?” “Nah itu dia, yang harus kamu ambil hikmahnya.”
***
Hari itu Rifan sedang tidak mood menjajakan rotinya. Ia seperti butir telur di ujung tanduk. Problem menggunung begitu banyaknya. Padahal, sudah beberapa hari ini dia kehabisan bekal untuk membiayai kuliahnya yang serba tidak gratis. Bayangkan, untuk lima lembar kertas fotokopian saja, ia mesti mengeluarkan uang sebesar setengah hasil penjualan satu roti jualannya. Belum lagi jika memikirkan uang belanja, uang makan dua kali sehari. Semuanya memang butuh uang. Sementara, ia sama sekali tidak bisa berterus terang kepada orang tuanya, yang juga berjuang mati-matian menghidupi sembilan adiknya. Kiriman ibu bapaknya hanya cukup membiayai uang kuliah. Selebihnya, ia harus berusaha sendiri. Ia tidak perlu repot mencari kos atau kontrakan, sebuah pesantren mau menampungnya.
Dari keadaan seperti itulah, Rifan menjadi manusia yang selalu efisien dan tidak menyia-nyiakan waktu. Ia harus maksimal dalam bekerja. Tapi juga tidak mengorbankan belajarnya.
Masih ada bayang-bayang mimpi yang semalam menjejali otaknya. Ia terus bertanya-tanya, apa maksud dari mimpi tersebut? Ia khawatir makna cincin dari bara api semalam adalah sekat yang menghalangi cintanya dengan Reliah, perempuan anggun yang memikat hatinya.
Seharian itu, ia sibuk dengan pikiran yang melanglang buana. Mengurutkan berbagai masalahnya yang akhir-akhir ini tidak bisa tidak ia harus selesaikan dengan cepat, tanggap, dan cerdas. Terbayangkan perjalanan hidupnya yang asri dan dipenuhi bunga-bunga cinta sejak bertemu Reliah. Reliah adalah santriwati baru di pesantren itu. Ketika sedang berjualan roti, tidak sengaja ia berpapasan dengan ojek yang mengantar Reliah ke pesantren. Sejak itu, Rifan dimabuk cinta. Setelah sekian lama, ia baru tahu, jika Reliah adalah tetangga jauh di kampungnya. Namun, keluarga Reliah masih tergolong berkecukupan.
Impian dan tekad yang besar adalah salah satu dari sekian alasan, yang membuatnya nekat merantau ke kota. Di kampung, ekonomi keluarganya yang miskin tidak bisa berbuat banyak. Berbekal keyakinan, ia sambangi sebuah pesantren, menunjukkan kemampuan seni kaligrafinya, agar bisa bernaung dan tinggal di pesantren itu. Untunglah, sang Kiai melihat potensi yang luar biasa dalam dirinya. Selain kaligrafi, Rifan menguasai ilmu retorika dengan baik. Ia juga menjajal profesi kuli bangunan sebagai tambahan penghasilannya. Banyak sudah bangunan pesantren yang kokoh dan indah berdiri berkat keahliannya.
Potensi mengajarnya juga tidak disia-siakan oleh kiai. Ia diembani amanah untuk mengajar dan menjadi wali kelas di sana.
Semakin akrablah ia dengan penghuni pondok. Di tengah kepadatannya mencari ilmu dan harta, ia sempatkan menghafal ayat Qur’an. Sehingga Kiai pimpinan dibuat terpesona.
“Maaf, Ustad Rifan,Kiai memanggil antum di ndalem,” ujar seorang santri ketika ia sedang khusyuk menelaah buku. Lantas tersenyum sebagai ungkapan terima kasih.
“Rifan, aku salut padamu. Aku bangga memiliki santri sepertimu. Sekian lama aku menantikan manusia seperti dirimu. Aku tahu, kau ada niat hendak meninggalkan pondok ini dalam jangka waktu dekat. Tapi, sebelum itu terjadi, dengan segala kerendahan hati, aku meminta kau menetap di sini dalam jangka waktu sepuluh tahun lagi. Aku tidak memaksa, hanya saja, pondok kita membutuhkanmu.”
Rifan tertunduk pasrah. Sulit ia menolak tawaran Kiai yang sudah seperti ayah kandungnya sendiri. Apalagi, karena pertolongan Kiai lah, ia bisa bertahan hidup untuk tinggal di pesantren ini.
“Kalau kau masih bimbang, yakinkan pilihanmu dengan istkharah,” pesan Kiai padanya “Tidak Pak Kiai. Saya bersedia. Saya bersedia, bahkan jika Kiai meminta saya selamanya
di sini, saya turuti.”
“Hohoho…. Tidak, tidak, Nak. Kalau memang kau keberatan jangan memaksakan diri.
Aku ini sama sepertimu. Aku juga manusia biasa. Semua perkataan dan perbuatanku juga mesti dipertimbangkan.”
“Tapi, untuk permintaan Kiai tadi, saya memang benar-benar siap,” Rifan dengan gagah menjawab. Kiai tersenyum tulus mendengarnya. Dua bola matanya berbinar. Meneduhkan siapa saja yang menatapnya.
“Terima kasih, Nak. Terima kasih. Ya, sudah. Kau boleh pergi.”
“Oya, Kiai… saya mau bertanya.” Kiai menggangguk. “Tadi malam saya bermimpi.
Sebelumnya saya tidak pernah mengalami mimpi seaneh ini.” Rifan menceritakan mimpinya.
“Kau sedang jatuh cinta ya?” godaan kiai membuatnya tersipu dan tergagap. Kiai terkekeh melihatnya salah tingkah. “Boleh aku tahu siapa orangnya?”
“Namanya Reliah, Kiai.”
“Reliah Bashri? Santriwati baru itu? Waduh, waduh… tahu saja kalau dia cantik. Hehehe…. Mimpimu ini bukan kembang tidur biasa. Semoga aku benar. Sebaiknya kau cepat
sunting dia. Lamar dia, tapi sebelum itu tentu kau harus menjalani ta’aruf terlebih dahulu. Dikhawatirkan, cincin dalam mimpimu itu adalah pertanda bahaya. Kurcaci adalah pertanda masalah yang kau hadapi mungkin sepele. Tapi akibatnya bisa sebesar gajah dalam mimpimu itu,” jelas kiai panjang lebar.
Rifan meninggalkan ndalem dengan senyum mengembang.
Malam itu. Di bawah temaram lampu, Rifan menulis semua kejadian hari ini. Ia susun target sepuluh tahun ke depan. Termasuk menjadikan Reliah sebagai bagian dari hidupnya.
***
“Tidak. Kau tidak boleh menikah dengannya. Bapak sudah pilihkan kau jodoh yang bagus. Sekali lagi, bapak tidak mau kau menikah dengan keluarga yang menjadi musuh bebuyutan kita.”
Bapak berang begitu aku sampaikan kabar bahwa Rifan hendak melamarku. Aku katakan, kalau aku mencintianya sepenuh hati. Padahal, aku sudah mantap menerima lamarannya. Belum satu bulan aku tinggal di pesantren, hatiku telah terpesona dan jatuh cinta pada seorang ustad yang umurnya selisih lima tahun dariku. Untung saja Rifan cepat melamarku, kalau tidak aku sudah menjadi istri orang yang tidak aku cintai sama sekali.
Aku memang tidak menilainya dengan harta dan ketampanan. Aku bangga dengan perjuangannya mencari ilmu, mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya dan keluarganya. Keterampilannya banyak sekali. Aku kagum. Penampilannya yang memukau ketika menjadi pengganti sebagai penceramah, membuat siapa yang menyaksikan pasti berdecak kagum. Seni kaligrafinya yang terpasang di sudut-sudut pesantren. Bangunan yang berdiri berkat kerja kerasnya, membuatku kagum dan percaya, bahwa hanya dengannya aku mampu menatap masa depan gemilang. Seorang suami yang kelak dapat menuntunku dan anak-anakku masuk surga.
Yang aku benci sekarang ini adalah konflik antara keluarga besarku dengan keluarga besarnya. Cinta kami tersekat hanya karena sebuah masjid. Ya, hanya karena sebuah masjid.
Di desaku, ada satu masjid besar yang gagah berdiri di antara rerimbunan pohon. Ayah Rifan selalu dipercaya untuk mengimami dan menjadi ketua masjid di sana. Sejak ayah berniat mendirikan masjid lagi, dengan alasan jarak yang jauh, sejak itu pula sengketa mulai berkobar. Ayah Rifan tidak setuju dengan usul itu. Menurutnya, masjid baru akan memisahkan keakraban antar warga.
“Kau tentu tidak lupa dengan Farid? Anak kepala desa? Dia baik, cukup harta, dan tidak dipandang sebelah mata. Beberapa waktu lalu, dia kemari hendak melamarmu.”
Mendengar itu, aku menitikkan air mata. Bagaimana bisa aku hidup dengan orang yang tidak aku cintai?
“Reliah… kemari,Nak,” ibu memanggilku dan mengajakku masuk kamar. “Nak, ibu tidak bisa berbuat apa-apa jika ayahmu sudah memutuskan pendapatnya. Ibu yakin, Rifan adalah jodoh terbaik dari Tuhan untukmu. Sebenarnya, konflik antar keluarga kita, bermula dari ayah yang suka menyindir ayah Rifan. Jadi, kau katakan pada Rifan, jika ia mampu menyelesaikan konflik berkepanjangan ini, tentu tidak jadi masalah kau menjadi miliknya. Hanya itu jalan satu-satunya, Nak.” Aku mengangguk paham.
***
Malam itu, Rifan berkunjung ke rumah Reliah sendirian. Setelah Reliah berkata padanya, bahwa tantangan terbesarnya saat ini, adalah meyakinkan orang tua Reliah, bahwa ia mampu, dengan tidak memperpanjang konflik sengketa masjid yang membuat dua kubu keluarga mereka terpisahkan. Ia hanya ditugaskan Reliah agar mampu meyakinkan ayah Reliah, bahwa ia memang terlahir dari keluarga miskin, tapi dapat menjamin Reliah bahagia dan aman sentosa.
“Okey…. Begini. Perjanjian yang harus kau sepakati bila memang betul-betul ingin
meminang anakku. Aku akan percayakan ia menjadi pendamping sahmu, asal kau sanggup
meyakinkan warga, terutama ayahmu, bahwa aku mendirikan masjid dekat rumahku, bukan karena aku ingin merusak tali silaturahim. Tapi, memang karena keadaan, dan niat baik dariku,” tegas ayah Reliah di depan Rifan yang sudah nampak kelelahan meladeni perdebatan sengit ayah Reliah itu. Untungnya Rifan tidak terpancing emosi, sehingga malah membuat kagum calon mertuanya itu.
Hmm… ternyata benar apa kata Pak Kiai, telat sedikit saja, Reliah akan menjadi milik orang lain, batin Rifan.
***
Andai saja cinta tidak bermula dari harta, tapi karena jiwa yang sudah saling mencinta.
Andaikata hati hanya dapat melihat cinta, bukan harta, tentu damai sentosa akan terus kita cipta.
Malam nan syahdu itu sejarah terukir atas perjuangan Rifan dalam mencari cintanya. Mempertahankan kekuatan cintanya yang sudah sedemikian kuat. Dengan pakaian serba putih, Rifan dengan tegas dan lancar menjalani proses ijab kabul. Sementara Reliah tertunduk malu di sampingnya.
Turut hadir dalam resepsi pernikahan itu, Pak Kiai yang tidak sabar menunggunya kembali mengajar di pesantren. Pak Kiai tertunduk haru, jodoh lebih berpihak kepada santriwatinya, daripada anaknya. Padahal, tujuannya meminta Rifan menetap selama sepuluh tahun ke depan adalah untuk menjadikannya menantu. Sesal kemudian memang menyakitkan. Padahal, anak perempuannya tinggal setahun menyelesaikan studi S1 di Australia. Ah, biarlah. Ini adalah kehendak tuhan. Bukan kehendak manusia selemah dia.
Beruntunglah Rifan yang mempunyai bakat dalam bidang retorika, sehingga dapat meyakinkan warga sekitar bahwa pendirian masjid baru adalah sebuah anugerah yang harus disyukuri. Di balik itu semua, hanya ayah Rifan yang tampaknya masih menyimpan dendam. ***
Brrrmm…
“Sssst… ayah datang. Jangan bilang kalau ibu cerita tentang ayah ya…?” ibu meletakkan telunjuknya di depan bibir begitu mendengar suara mobil ayah masuk garasi.
Aku mengangguk paham.
Semoga ibu bapak tidak tahu, kalau aku sudah membaca cerita cinta mereka yang berliku dari tiga buah buku diary ayah saat-saat sebelum mereka menikah. Ah… ayah memang hebat. Suatu ketika, cerita ini harus aku wariskan kepada anak cucuku, agar mereka memahami, bahwa kakek neneknya adalah pahlawan-pahlawan hebat.
Sebaiknya, aku juga menceritakan kisah cinta ini pada orang lain. Agar bisa menjadi kaca perbandingan dan contoh yang baik. Sebaiknya, aku kasih judul apa ya?
Aha! “Cinta Sepotong Roti” nampaknya bagus!
Malam makin larut. Dan aku membayangkan ayah ibu tersenyum bersanding di pelaminan.
DZIKRY AMRULLAH