“Kamu tau gak kalau Kuntilanak tinggalnya di pohon. Tapi dia bisa keluar lewat patung, lukisan, bahkan ... cermin.” Mirel merapatkan bibir, ditatapnya cermin yang tertempel di tembok tepat berada di atas kepala Lara yang sedang duduk di depannya.
Diameter cermin itu cukup besar untuk mengeluarkan sesosok tubuh. Walaupun tidak ada unsur menyeramkan dari cermin yang dibeli Lara beberapa bulan lalu, tetap saja itu menyeramkan baginya jika mengingat cermin itu dibeli dari pedagang yang mejual dagangannya di bawah pohon besar di sekitaran jalan Katamso.
“Ini, kan bukan cermin Mangkudjiwo ...” jawab Lara. Perlahan dia beralih dari bawah cermin itu.
“Ini soal dimensi dan media, Ra. Pernah nonton Interstellar gak sih, kamu?” tanya Mirel.
“Yang keluar angkasa terus nongol dari rak buku, kan.” Lara menjawab sekenanya.
“Nah, konsepnya mirip kayak gitu. Kuntilanak bisa menggunakan cermin sebagai media untuk keluar dari dimensi lain.” Mirel mengintimidasi Lara dengan tatapan tajam.
Suasana menjadi lebih hening hingga bunyi dari sesuatu yang renyah terdengar nyaring dari mulut Lara, dia masih mencoba menikmati tiap kunyahan dan mencerna perkataan Mirel yang kerap kali berhasil membuatnya gelisah.
“Kalau kamu mendengar suara cekikikan keras kayak tokek ... hati-hati deh, apalagi kalau suaranya semakin senyap-senyap terdengar ...” Mirel menjeda perkataan.
“Kenapa?” tanya Lara lirih.
“Berarti, dia sedang ada di sekitar kamu ...” bisik Mirel.
Lara mencoba mengalihkan perasaanya, dia memilih untuk tidak menanggapi perkataan Mirel dan kembali dia kunyal camilan yang sejak datang ke Bandung menjadi sesuatu yang bisa melengkapi rasa di lidahnya bahkan ketika dia makan semangkuk bubur ayam di pagi hari. Mereka berdua baru beberapa bulan tinggal di Bandung. Lara harus tinggal di kos-kosan sementara Mirel menumpang di rumah saudaranya.
“Ya, sudah ... pokoknya kamu hati-hati, Ra. Jangan sembarangan kalau tinggal di Bandung. Kota ini termasuk kota tua yang pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda. Setiap sudut tempat menyimpan kekejaman yang pernah terjadi dari masa penjajahan, kamu udah tau, kan apa yang terjadi di belakang kosan.”
Lara menatap Mirel erat-erat. Mirel mengalihkan perhatian dengan menekan tombol untuk memutus aksesnya pada koneksi Wi-Fi kosan Lara lalu menekan tombol shutdown pada laptop dan mengemas laptopnya ke dalam tas.
Mirel sudah selesai mengunduh episode The Order yang belum sempat dia tonton. Lara hanya memperhatikan tingkah Mirel si penumpang hotspot. Mirel tersenyum menyadarai jika dia sedang diperhatikan oleh temannya itu.
“Ini, jatah buat seminggu ya,” ucap Mirel. Dia merogoh ranselnya dan memberikan sebuah lunch box bening tersegel berisi camilan. Lara tersenyum bahagia menerima kemasan yang dijanjikan Mirel.
“Ini beda ya, sama yang kemarin?” tanya Lara.
“Beda dong, aku sengaja kasih yang ini biar gak gampang habis,” jawab Mirel.
Lara hanya mengerutkan keningnya sedangkan Mirel mulai bangkit dari posisi rebahannya. Mirel mendekati cermin yang ada di kamar Lara. Wajah tirus nyaris mulus, sayang Mirel terlalu kurus, tapi dia memiliki senyum yang bisa terlihat tulus. Dia menatap bayangan dirinya di cermin, dia rapikan kondisi rambutnya.
“Ra, mending nanti cermin ini diturunkan, terus kalau kamu pergi atau mungkin pas lagi tidur, mending ditutup kain atau apa gitu ...”
Mirel tidak melanjutkan perkataannya. Dia hanya memperhatikan cermin persegi yang cukup besar itu dikaitkan Lara hanya pada sebuah paku kecil di sebelah jendela kamar Lara.
“Rel, dua minggu ya gue nyimpen cermin itu di situ. Gak ada masalah tuh!”
Lara mulai kesal dengan Mirel yang terus berusaha menciptakan rasa takut pada Lara yang setiap hari libur lebih memilih diam di kosan sendiri daripada pulang ke rumah seperti anak kosan yang lain. Mirel tetap saja tidak menghiraukan kekesalan Lara, dia justru membungkuk dan memungut sehelai rambut putih yang terselip pada sebuah cela di cermin.
“Ra, rambut siapa?” tanya Mirel.
Lara menatap bayangan Mirel yang menunjungkkan rambut putih panjang itu pada cermin. Lara meraba rambutnya yang sebahu, sementara rambut Mirel yang lebih panjang terlihat semuanya masih hitam. Mirel membalikkan tubuh dari cermin dan mendekati Lara untuk menyakinkan jika apa yang dia sentuh adalah sehelai rambut.
“Rel, please ... now, you want let me have a scary life? You have all u need,” Lara tampak putus asa dengan apa yang dilakukan Mirel, dia merasa Mirel sudah mulai berhasil menciptakan ketakutan pada dirinya yang akan tinggal sendirian di kos-kosan. Mirel justru mengambil sebuah tisu dan membungkus rambut putih di tangannya.
“Disgusting banget gak sih!” sergah Lara kesal.
“Iya, ini juga mau dibuang, Ra ...” jawab Mirel lirih.
“Besok, lu ke sini lagi jam berapa, Rel. Pagi?” tanya Lara, mencoba ramah lagi.
“Liat besok aja, aku masih mau gak temenan sama kamu ...” kelakar Mirel.
“Sialan!” sela Lara, dia mencoba menyembunyikan kecemasan.
Mirel melangkah keluar dari kamar kos-kosan Lara dengan sebuah bungkusan tisu di tangannya.
“Rel!” Lara memanggil Mirel yang baru saja melangkah.
“Apa?” tanya Mirel.
“Hati-hati, lu. Abis hujan jalanan licin,” jawab Lara.
“Kamu, tuh yang harus hati-hati,” ancam Mirel.
Lara mengabaikan Mirel dan segera menutup pintu kamarnya. Mirel melangkah menuju tong sampah yang diletakkan dekat tangga turun. Buntalan tisu itu dia buang, sebuah senyum jahil yang sejak tadi dia tahan ikut terlontar keluar.
Di dalam kamar, Lara mulai merasakan kekosongan. Pandangannya menelusi setiap sudut kamar kosan yang lebih mirip dengan sebuah kubus. Dinding kamar hingga plafon sengaja dia minta agar dicat putih, bahkan seprai yang dia gunakan juga berwarna putih. Lara ingin setiap dia pulang dari kampus bisa merasakan sensasi hotel dalam kamar kos-kosannya.
Kemasan isi dari lunch box bening pemberian Mirel tadi menarik perhatian Lara yang tidak tahu harus berbuat apa setelah kepergian Mirel, matanya belum juga mengantuk. Lara mulai memperhatikan isinya dan memikirkan apa yang akan dia lakukan. Sebuah novel yang masih belum selesai dibaca menjadi sasaran Lara, dia persiapkan novel dan cemilan itu di atas kasur lalu memutar playlist di laptop yang terhubung dengan sound box.
Jam sudah menunjukkan pukul 21.45. Suasana setelah hujan menjadi lebih sunyi, Lara tenggelam dalam bahan bacaannya. Camilan renyah yang ada di sampingnya dia sendok beberapa kali, hanya ketika mulutya mengalami kekosongan rasa. Camilan itu cukup membuat lidah serta bibirnya bergetar dan Lara menginginkan sensasi itu lagi, dan lagi.
Angin bertiup kencang menerobos jendela kamar hingga menggerakkan cermin yang tertempel di sampingnya. Lara yang sedang membaca di atas kasur, tergambar nyata di cermin. Benturan bagian sisi cermin dan tembok menimbulkan bunyi mengganggu hingga membuat Lara mengalihkan mata dari lembar tulisan yang sedang dia baca.
Lara menatap cermin yang ada beberapa langkah dari tempat tidurnya, dia merasa jika cermin itu sedang memperhatikan dirinya. Lara meletakkan novel yang sedang dia baca, dia ambil camilan dalam jumlah cukup banyak dan mengunyahnya. Bibir Lara bergetar, sebuah rasa menguasai lidah dan seakan memenuhi mulutnya.
Ditatap erat-erat cermin itu, sebuah wajah yang sejak dulu Lara miliki. Sebuah wajah yang diam-diam ingin selalu terlihat, sebuah wajah yang diam-diam menyembunyikan kesepian, sebuah wajah yang tidak pernah tahu terlihat seperti apa dia sebenarnya.
Lara merasa jika cermin itu hanya memantulkan bayangan dirinya. Apa yang di terjemahkan oleh matanya adalah apa yang diinginkan otaknya. Di hadapan cermin itu Lara tidak bisa membenarkan jika dia adalah dirinya, karena apa yang terlihat sama olehnya akan berbeda di lain mata.
Angin yang berhembus liar membuat suara seng yang menjadi talang hujan berbunyi hingga soud box yang memutar lagu Seperti tulang dari Nadin Amizah tersamarkan. Tetesan hujan diluar mulai kembali terdengar masuk kedalam.
Wajah dengan mulut yang masih mengunyah camilan itu terus di perhatikan oleh Lara. Banyak pertanyaan yang dia ucapkan dalam hatinya pada wajah itu. Keringat perlahan keluar dari pori-pori kepala yang berdenyut, lalu mulai menetes menjalar menjamah wajah hingga Lara merasakan pedih pada matanya.
Cermin bergerak-gerak tertiup angin, menerbangkan butiran air hujan. Seharusnya dingin dirasakan oleh tubuh Lara. Tidak kali ini, sensasi sejuk dan hangat menjalar pada perut dan menyebar pada seluruh tubuh dan kulitnya yang lembut. Penglihatan Lara mulai buram, butiran air tertahan di matanya.
Lara menatap kedua matanya di cermin, kedua mata itu masih berusaha menahan air mata. Hembusan angin lebih kencang, menyebar ke seisi ruang, meniup wajah Lara, menjatuhkan air matanya. Seketika itu juga cermin di hadapan Lara terjatuh menyentuh lantai diikuti dengan lampu kamar yang tiba-tiba padam. Lara terdiam, gelap telah menguasai malam.
***
“Gila ... tadi malam gue sampe gak bisa tiduran gara-gara elu, Rel!” cerca Lara.
“Lah, kenapa ...” jawab Mirel acuh.
“Hujan gede, cermin di kamar jatuh, terus tiba-tiba mati lampu, dong ...” Lara menjeda perkataan dia mengeluarkan sebuah lunch box dari ransel lalu berkata, “Sama ini nih ... sumpah ya, gue gak nyangka bisa sepedas itu, merinding gue.”
Satu sendokkan Lara ambil dari wadah, camilan yang terbalur oleh bermacam bumbu dan bubuk cabai itu dia tuang pada semangkuk bubur ayam panas. Aroma irisan bawang daun, seledri, bercampur dengan aroma pedas cabai yang menyegarkan pagi yang sudah di sinari terik matahari.
Lara sedikit menenggelamkan camilan berbentuk pipa kecil membengkok itu ke dasar mangkuk bubur. Mirel mengikuti apa yang dilakukan Lara. Sambil menunggu camilan goreng yang berbahan dasar gandum dan tepung terigu itu menjadi sedikit melunak, Mirel kembali memanaskan susana.
“Kamu gak mikir apa, kenapa kok cermin itu bisa jatuh?” selidik Mirel.
Pertanyaan Mirel membuat Lara merapatkan bibir. Lara menyedok bubur ayam, camilan itu sudah terlihat sedikit mengembang terbalut dengan kentalnya bubur panas, irisan batang seledri, dan suwiran daging ayam. Satu sendokan masuk ke dalam mulut Lara, gurih dan kerenyahan yang masih tersisa terasa di lidah, mengimbangi bumbu pedas yang melekat di dalam rongga camilan goreng itu.
“Rel, ini tuh camilan khas Bandung bukan sih sebenarnya?” tanya Lara berusaha mengalihkan pembahasan yang tadi ditanyakan Mirel.
“Kamu pasti udah tahu kalau itu asalnya dari Italia,” jawab Mirel kesal.
“Perasaan westerns gak pake bumbu rame yang sepedas ini ...” gumam Lara.
“Ya, karena camilan yang kamu makan itu asalnya dari Tasik West Java!” sergah Mirel, menahan pedas yang semakin terasa di lidahnya.
“Gue kira asalnya dari Padang West Sumatra ...” kelakar Lara, menertawakan tingkah Mirel yang terlihat kepedasan.
Sebuah tumbler berisi teh melati hangat diberikan Lara pada Mirel. Seketika itu juga Mirel segera meneguk teh hangat itu dengan semangat. Terlihat seorang perempuan yang melewati gerobak bubur ayam melambaikan tangan dari dalam mobilnya.
Setelah memarkirkan mobil perempuan itu diam-diam datang menghampiri Lara dan Mirel dari arah belakang. Aroma Narsico Rodriguez tercium. Lara bisa mengenali dengan mudah pemilik aroma pengagum Haechan ini, bahkan jika matanya tertutup. Lara membalikkan badanya ke belakang. Aksi perempuan yang akan mengagetkan itu tertangkap, perempuan itu cemberut menunjukkan wajah kesalnya yang imut.
“Eh, Ra ... nanti ngerjain perlengkapan buat OSPEK jurusan di kosan elu aja, ya!” pinta perempuan yang menggunakan outer kemeja flanel over size yang di padukan dengan inner kaos polos berwarna abu.
“Boleh. Berempat aja ya, Na ...” jawab Lara.
“Oke deh, gue kabarin Aly sama Guntur!” seru Gina genit.
“Ih, apaan sih, Gin ...” jawab Lara malu.
“Na, mending ajak si Ririn aja biar seru gibah. Kasian tuh si Lara ...”
“Gak apa-apa. Bawa aja tuh si Guntur,” ucap Lara kesal memotong perkataan Mirel.
“Jadi, Guntur ...” goda Mirel.
“Oh, Guntur,” sambung Gina sambil menyendok camilan Lara.
“Gin, itu level ...”
Belum sempat Mirel berkata, satu sendok makan camilan itu sudah masuk kedalam mulut dan Gina langsung menyunyahnya tanpa ragu.
“Kamcakiya! Pedas, air ... air!” teriak Gina histeris.
Lara menumpahkan air yang masih tersisa dengan sengaja di hadapan Gina. Air terkuras habis hingga tetesan terakhir menyentuh tanah, Lara tersenyum puas. Mirel mengambil tumbler kosong itu dari tangan Lara dan bergegas membawanya pada gerobak penjual bubur.
Lara menyembunyikan kekesalannya dari dua temannya itu. Lara tidak suka menjadi bahan olok-olokan. Lara merasa jika kedewasaan dua temanya itu kurang. Bagaimana bisa perasaan seseorang menjadi sebuah bahan candaan.
Guntur adalah laki-laki yang Lara sukai dalam diam sejak pertama kali bertemu ketika melakukan registrasi ulang di kampus. Lara dan Mirel sebelumnya sudah kenal melalui sebuah base di twitter, mereka menjadi dekat karena mengincar untuk masuk kampus yang sama dan akhirnya mereka benar-benar diterima.
Sedangkan Gina adalah teman yang mereka temukan di kampus dalam waktu yang sama ketika mereka melakukan daftar ulang. Gina tidak pernah berhenti mengolok-ngolok Lara sejak dia melihat kiriman tweet di sebuah base twitter yang menyertakan foto Guntur yang sedang berdiri di loket administrasi kampus.
Sebuah caption tertulis dalam postingan foto Guntur saat itu, [Hey, i have crush on u]. Foto itu terlihat diambil pada saat Lara, Mirel, Gina, dan Guntur ada di tempat yang sama. Dari komposisi hasil angle foto, bisa di ketahui jika foto itu di ambil dari samping dan saat itu hanya Lara yang duduk di bagian bangku tunggu yang menyamping.
Dengan polosnya Gina saat itu justru langsung menanyakan kebenarannya pada Lara. Lara yang memiliki keahlian di bidang seni teater dibuat tidak berdaya oleh Gina saat dia mencoba mengelak. Mirel yang sudah kenal dan menjadi tempat berceritanya sama sekali tidak membantu Lara menyempurnakan alibi untuk menyumpal mulut licin Gina. Sejak hari itu Mirel malah ikut asik mengolok-olok Lara.
“Salah kamu sendiri sih, share di base twitter orang Bandung. Udah jelas-jelas isinya hampir semua orang Bandung dan kebanyakan anak kuliahan.” Ucapan Mirel saat itu tidak akan pernah Lara lupakan.
Lara ingin menjadi orang yang bisa membenci dengan konsisten, begitupun mencintai. Wajar saja jika kebencian pada Gina dan Mirel diam-diam dia sembunyikan, Lara merasa jika semua itu ada batasanya termasuk membenci dan mencintai. Semuanya hanya tentang waktu, bisa menambah kadar untuk mecintai atau malah mengurangi kadar dari kebencian itu.
Sepulang dari kampus, Lara, Gina, Mirel, dan Ririn mampir terlebih dahulu ke sebuah cafe, Gina mentraktir ketiga temannya untuk satu venti es kopi standar internasional. Setelah mengambil pesanan, mereka bergegas pergi ke kos-kosan Lara. Bangunannya cukup besar meskipun merupakan bangunan yang bisa dikatakan vintage tapi kosan Lara sudah mengalami pemugaran dan furniturnya juga sudah di sesuaikan dengan furniture estetik masa kini.
Bagian belakang bagunan kosan bersebelahan dengan sisi belakang sekola dasar yang katanya sudah berdiri sejak masa kolonial Belanda. Lara bisa melihat genting sekolah dasar itu dari lantai dua saat dia akan mencuci piring. Sedangkan ketika Lara harus menjemur cucian di lantai tiga, dia bisa melihat view kota Bandung dan sebuah lorong kosong yang memberikan jarak antara bangunan kosan dan gedung sekolah dasar itu terlihat curam berada di bawah.
Lorong kosong yang terbentuk dari himpitan dua gedung itu mungkin hanya muat untuk dilalui motor, tapi entah apa sebabnya jalan itu di tutup sehingga lorong itu tampak sunyi dan minim cahaya. Ada sebuah desas-desus dari anak tetangga kosan jika dulu pernah terjadi pemenggalan begal oleh seorang Jawara di lorong yang dulu sebenarnya merupakan sebuah jalan kecil yang terhubung dengan jalan raya.
Kamar Lara ada di lantai dua dan termasuk kamar yang beruntung karena sebuah balkon ada di depan pintu dan jendela kamar. Kos-kosan Lara juga cukup ganjil karena memiliki tiga tangga, tapi hanya digunakan dua saja. Tangga kedua yang menghubungkan dapur di lantai satu dengan bagian tegah lantai dua malah di tutup dengan sebuah pintu yang tidak pernah dibuka. Lara tidak pernah mau banyak bertanya untuk hal yang membuatnya akan bertanya-tanya.
Sebuah bangku dan meja di balkon kos-kosan cukup esthetic, comfy dan fancy untuk dijadikan tempat berkumpul, itu menjadi daya tarik tersendiri bagi Gita, Lara, Mirel, dan Ririn. Meskipun Gina pernah tiba-tiba terkurung sendiri di dalam kamar mandi, saat dia merasa ketakutan dan mulai mengatakan hal-hal yang dia takutkan dari kos-kosan Lara.
Ririn juga pernah mendapati lampu kamar mandi meledak ketika dia bercanda tentang keberadaan Kuntilanak di kos-kosan Lara. Sebenarnya Lara ingin merasakan takut dengan rentetan kejadian itu, tapi dia selalu merasa tidak lebih baik dari setan atau apapun itu yang mengganggu saat mereka terusik. Lara juga selalu bertanya kenapa setan tidak mau tunduk pada manusia?
“Ra, cermin pecah masih aja kamu pake, ada ajian apa nih kaca?” kelakar Ririn.
“Ih, jangan sembarangan kamu, Rin. Cermin keramat tuh!” balas Gina diikuti tawa.
Lara hanya memperhatikan ketiga temannya sibuk bersolek di hadapan cermin cacat yang walaupun sudah tidak dia gantung pada dinding tapi masih ia simpan di dalam kamarnya. Lara terlalu malas untuk menanam kembali paku di tempat semula, dia memilih menyandarkan cermin itu di pojok kamar, terhimpit di antara dispenser dan lemari penyimpan stok makanan.
Wajah teman-temannya itu memang cantik bahkan cermin yang sudah retak saja dengan sempurna memantulkan kecantikan wajah mereka dari permukaannya yang licin. Lara tidak tahu kenapa Ririn dan Gina mau berteman dengannya, Lara juga tidak mengerti kenapa dia masih berteman dengan Mirel dan dua orang yang tidak bisa dia ketahui seperti apa wajah mereka sebenarnya.
Kadang Lara merasa jika teman-temanya sedang memakai wajah kedua saat mereka bersama. Jika uang logam memiliki dua sisi dan cermin memiliki lapisan logam di bagian belakangnya sehingga bisa memantulkan cahaya yang diterimanya dengan sempurna, maka wajah manusia lebih sempurna menampilkan apa saja yang mereka kehendaki pada manusia lainya.
Lara kembali memperhatikan wajah mereka yang dipantulkan cermin padanya, kebaikan Mirel sepertinya tidak tulus, begitupun keramahan Ririn, kadang juga dia merasa jika Gina menggunakan dirinya untuk mendekati Guntur.
Ya, Lara bisa melihat jika Gina juga diam-diam menyukai Guntur, hanya entah kenapa berteman dengan dirinya, Gina lakukan untuk diam-diam menarik Guntur. Lara seperti dijadikan umpan, dan Gina yang memegang kailnya.
Sudah hampir tiga puluh menit mereka berada di balkon kosan mengerjakan perlengkapan untuk mengikuti OSPEK jurusan. Kehadiran Guntur yang tiba-tiba saja datang ke kosan, mengagetkan Lara dan membuat Gina yang ketahuan mengajak Guntur mendapatkan aksi diam dari Lara. Pantas saja tadi Gina berdandan, dugaan Lara benar.
“Aigo ... Onni, serius amat sih ngerjain kayak gini aja!” seru Gina mengisi keheningan.
“Duh, jangan ganggu, Shay. Lagi menggiling dese ...” kelakar Mirel.
“Gilingan ya, Shay ...” cibir Ririn genit.
“Gak tau nih, lada pisan. Panas ...” sindir Gina melirik Lara yang sejak tadi terdiam dengan mulut yang terus mengunyah. Lara yang menjadi sasaran pura-pura tidak paham, dia terus mencomot cemilan pedas yang masih tersisa dalam kemasan lunch box.
“Sini aku dinginin,” sahut Guntur meniup ubu-ubun Gina yang ada di sampingnya. Lara melirik tajam lalu mengalihkan perhatiannya pada Butterbeer Frappuccino yang sudah kering, hanya menyisakan beberapa bongkah kristal es di dasarnya.
Apa yang kerap dilakukan Guntur membuat Gina, Mirel, dan Ririn tertawa, sementara Lara hanya tersenyum sama rata lalu beralih ke dalam kamar untuk mendapatkan air tawar. Guntur memang laki-laki penuh canda, bahkan Lara merasa perasaannya juga mungkin akan menjadi sebuah candaan jika dia mengatakan apa yang sejak lama dia rasa.
Tingkah ketiga temannya membuat Lara muak sejak tadi. Dia kesal melihat mereka begitu mudah bergumul dengan Guntur. Lara mulai kesal dengan perasaan yang dia miliki, kenapa mencintai itu melelahkan bagi dirinya. Lara merasa jika Guntur telah membuang sampah dan membuat Lara menyimpannya sendirian di dalam hati. Mungkin hidup akan lebih mudah tanpa harus merasakan cinta, pikir Lara.
Awan biru perlahan menjadi abu, angin lembut berhembus, cahaya matahari yang menembus ventilasi kamar Lara sedikit meredup. Suara girang dan tawa canda teman-temannya menahan Lara untuk sejenak mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.
Lara terdiam melihat sebuah sisi di pojok kamarnya, dia merapatkan bibir dan menelan ludahnya, tatapan Lara kosong. Perlahan tubuhnya membungkuk lalu terduduk. Bibir, dan wajah Lara bergetar, keringat mengucur, seolah dia terbakar, seketika itu Lara berteriak mengerang.
Teriakan Lara mengagetkan teman-temanya yang berada di luar. Gina dan Ririn bangkit dari kursi dan berlari ke dalam kamar. Guntur mengekori mereka dari belakang, sementara Mirel masih berusaha tenang, dia mengamankan smartphone, dan barang teman-temannya ke dalam tas masing-masing.
Tubuh Lara terlihat menegang, matanya melotot tajam penuh kebencian. Mirel menyusul teman-temanya ke dalam, didapatinya Lara dalam kondisi duduk dengan posisi yang tidak biasa. Mata Lara dan Mirel bertemu, seketika itu juga kepala Lara menunduk lunglai. Rambut Lara yang sebahu menutup wajah, senyap terdengar Lara mulai meringis dan tiba-tiba mengerang dengan tangan yang siap mencengkram.
Gina berteriak histeris, Ririn yang sejak tadi menahan takut mulai panik, tanpa aba-aba dia berlari keluar kamar diikuti Gina. Dengan sepatu yang mereka kenakan sekenanya, mereka keluar dari kosan Lara hingga ketika ada di beberapa anak tangga terakhir, sepatu yang dikenakan Ririn terlepas dan menyebabkan dia terpeleset.
Tubuh Ririn yang menghalagi anak tangga kayu itu tertabrak oleh Gina yang sedang merasakan ketakutan yang sama. Mereka tersungkur hingga sampai di lantai pertama. Guntur yang tadi sempat berpikir untuk berbuat sesuatu pada Rara ternyata kembali mengekori mereka.
Langkah Guntur tertahan, dilihatnya Gina dan Ririn yang tersungkur di lantai. Segera dia bantu Gina untuk bangkit dan Ririn bangun lalu melangkah sendiri. Mereka bertiga berlalu meninggalkan kosan Lara sementara di lantai atas Mirel hanya melongo memegang empat ransel teman-temanya itu.
Mirel masih mencoba tenang, dia berdiri mematung di ambang pintu kamar Lara yang masih terus menunduk tegang dan mengerang di hadapannya. Mata Mirel mencoba menelusuri setiap sisi dari kamar kosan Lara.
Pengamatan berhenti, mata Mirel tertuju pada sisi pojok dari kamar Lara. Mirel merapatkan bibir, sebuah ransel dia lemparkan pada Lara. Ransel yang hanya berisi beberapa buku dan kosmetik itu mengenai tubuh dan menjeda erangan Lara. Beberapa detik Mirel menatap kosong Lara sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan Lara sendirian.
Suasana kembali menjadi semakin sunyi, awan kelabu semakin abu-abu, angin yang semula hanya bertiup sekarang mulai bersuara, berbisik-bisik menahan gemuruh, berdesir riuh semakin gaduh mengusik tubuh yang tidak pernah merasa utuh.
Lara mengangkat kepalanya kembali, dia usap keringat dari wajah dan menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya. Dibaringkan tubuhnya pada lantai, rasa pedas masih masih menguasai seisi mulut, napas terengah-engah, jantung berdebar-debar, matanya menatap kosong langit-langit kamar. Penglihatan mulai buram, tidak hanya keringat, kali ini air mata ikut keluar.
Gina dan Ririn yang selalu Lara bantu dalam beberapa hal termasuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Guntur yang selalu Lara dukung dalam setiap pengerjaan konten YouTube dan perkembangan channel-nya. Mirel yang sudah Lara anggap lebih dari teman terdekat, ternyata dia pergi. Ya, mereka pergi semua. Sekarang Lara mengerti kenapa setan tidak mau bersujud menghormati adam.
Tubuh Lara bergetar menahan suara, dia tutup mulut dengan kedua tangannya, isak tangisnya tidak tertahan lagi, air mata menetes tak tertahan, tangan yang bergetar mencoba menjelajahi pipinya yang basah, air mata itu terus keluar. Lara menagis tersedan-sedan, dengan hela napas yang ikut terhembus dari hidung dan mulutnya. Rasa pedas sudah bercampur asin, air mata yang mengalir telah sampai pada bibirnya.
Mirel menahan langkahnya, dia biarkan Lara dengan sisa-sisa air mata yang masih dia punya. Lara tidak menyadari kehadiran Mirel yang berdiri di ambang pintu, hingga botol plastik air mineral yang dipegang Mirel sedikit tertekan dan menciptakan bunyi letupan. Lara terkejut mengetahui kehadiran Mirel. Lara mencoba meredakan tangis, perlahan dia hapus air matanya dan duduk menyandar pada sisi dipan.
“Gue kira, elu sama kayak mereka,” ucap Lara lirih.
“Yang terlihat sama saja ternyata berbeda, kan, Ra. Kenapa harus berbeda untuk tidak sama?” Mirel melepaskan sepatu lalu masuk kedalam dan duduk di samping Lara.
Mata mereka bertemu. Mirel mengalihkan tatapan Lara pada sisi pojok kamar, Lara ikut menatap sisi pojok kamarnya. Mereka melihat kini cermin retak itu ada di antara lemari makanan dan sebuah galon kosong yang terpisah dari dispenser. Mirel memberikan sebotol air mineral. Lara menerimanya, seketika ikut juga Mirel tertawa keras di ikuti Lara yang lebih puas tertawa karena merasa sudah terbaca.
(13/01/2021) Bandung,
Robeni