“Wah, rambutmu makin beruban sebelum saatnya, Rein… Mirip bapakmu hehe, ” ujar Tyo, sepupu dari pihak bapakku.
Spontan aku berdiri menuju wastafel yang terdapat kaca dekat situ. Memang terlihat banyak uban sih. Padahal kakak-kakakku saja belum banyak ubannya. Kenapa semakin ke sini, malah ubanku makin banyak ya…
“Disemir aja, Rein… Siapa tahu tambah ganteng dan beruntung,” timpal Vida, sepupuku yang lain.
“Idih… Apa-an sih?” aku jadi mulai males menanggapi. Akhir pekan yang sengaja dijadikan ajang temu keluarga ini mempertemukanku dengan keluarga bapak almarhum dan sebagian keluarga ibu. Keluarga bapak memang masih satu kota biar berpencar-pencar di banyak tempat. Sementara keluarga ibu lebih berpencar lagi. Ada di lain provinsi bahkan di negara lain.
Meski dalam kondisi pandemi begini, keluarga kami memang biasa selalu berusaha silahturahmi satu sama lain. Bagaimana dan apa pun caranya. Kami masih selalu ingin menjaga kehagangatan serta kedekatan ini sampai kapan pun. Bahkan dengan keterbatasan sekarang ini. Yang bisa datang hanya beberapa orang saja. Sisanya melalui daring atau telepon biasa.
Dari semua yang datang kali ini kebanyakan yang masih muda dan dari keluarga bapak. Padahal bapak sudah lama meninggal, tetapi kedekatan ini tidak memupuskannya. Semakin dekat dan saling perhatian malah.
“Mas Titok, anaknya Bude Warni, mau nyusul keluarga Mas Dhevi ke Korea tuh, Rein… Sudah dengar kabar kan?” ujar Mbak Tanti, sepupuku yang lain, anaknya Om Gani, adiknya ibu. Mbak Tanti ini kuliahnya pernah di Australia. Balik lagi ke Indonesia karena ingin jadi PNS dan sekarang berhasil jadi PNS di sebuah kementrian.Dia termasuk kebanggaan keluarga besar kami.
“Mas Dhevi, kakaknya Mas Titok yang kerja di perusahaan Korea itu, Mbak?” aku memastikan.
“Betul.” Mbak Tanti duduk di sebelahku. “Padahal kami ingin dia tetap di Indonesia saja, temani mamanya. Bude Warni kan juga sudah mulai sakit-sakitan tuh…”
“Wah… Lalu gimana?” aku jadi penasaran sekaligus kaget juga.
Mbak Tanti mengangkat bahunya, “Ya paling kita gantian ke sana, nengokin. Sementara ini masih bareng Mbok Ni yang pengasuhnya Mas Titok dari kecil itu loh… Tapi, beliau kan juga sudah sama sepuh. Semoga baik-baik saja semua ya…”
Kepalaku mengangguk-angguk.
Memang sudah jadi tak mudah kalau berurusan antara obsesi pribadi dan keluarga.
Jadi ingat bapak. Beliau pernah cerita, sebagai salah satu mahasiswa terbaik di kampusnya saat itu, beliau ditawari belajar lagi lalu bekerja di Jerman begitu lulus S1. Tadinya bapak nawar lanjut sekolah saja karena ingin bekerja di Indonesia. Tetapi, pihak pemberi beasiswa tidak mengizinkan. Ini seperti ikatan dinas yang terikat.
Apa boleh buat. bapak harus rela melepas.
Ketika karir di tempat kerjanya mulai menanjak, ada lagi tawaran menjadi manajer area Asia yang pusatnya di Singapura. Mungkin tidak lama, tapi bisa juga seterusnya. Tergantung nanti bagaimana prestasi kerja Bapak. Waktu itu aku masih umur dua tahun, jadi nggak terlalu mengerti cerita lengkapnya.
Yang jelas, kata ibu dan kakak-kakak, bapak akhirnya melepas kesempatan itu karena nggak bisa pisah lama-lama dari keluarga. Meskipun kemungkinan keluarga bisa diboyong setelah berapa lama bekerja di sana, bapak tetap tidak mau.
Baginya keluarganya adalah hal utama.
Padahal ibuku sudah bilang iklas dan rela kalau harus ditinggal bapak beberapa waktu. Toh, urusan jarak juga nggak terlalu jauh-jauh amat.
Entahlah… Bapak nampak tidak cukup berani meninggalkan keluarganya.
Dia lebih memilih tetap di posisi yang naiknya tidak terlalu signifikan dibanding tawaran kalau pindah ke Singapura.
“Bapakmu memang aneh. Sementara keluarga ibumu lebih banyak milih kesempatan ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri, bapakmu malah tetap milih di sini saja,” komentar Mas Tius, kakak pertamaku.
“Iya, tapi karena dia nggak mau pindah, kita jadi lulus tepat waktu, semua anaknya pas wisuda bisa didampingi malah pas kita nikah juga bisa diantar bapak ibu. Selain, si bungsu satu ini yang kok kayaknya males nikah ya…,” goda Mbak Nadine, kakakku yang kedua. Dia sedang menyindirku.
“Nah, kalau yang urusan belakangan itu, nurun dari bapak kayaknya deh… Soale kan bapak kalian telat melamar ibu kalian. Untung nggak diembat orang haha…” Mbak Tanti ikut nimbrung. Hari ini benar-benar judulnya pertemuan keluarga untuk mebullyku deh…
^^^^^
Aku tak bisa memberi respon apa-apa selain sesekali memandangnya.
Gadis berambut panjang ini balas menatap dengan tatapan matanya yang tak pernah berubah sejak pertama kami kenal. Tatapan yang membuatku seperti tidak berdaya, pasrah mau diapa-apakan juga.
“Jadi, Kakak siapnya kapan melamar aku?” tanyanya manja. Suaranya ini juga bisa bikin aku merem melek karena merdu dan sedikit serak. Sungguh, perempuan ini idaman sekali.
Aku menarik nafas sesaat menyadari apa yang gadisku tanya barusan.
“Kok nanya itu lagi, Neng? Kan jawabannya belum berubah,” jawabku berusaha tenang.
“Lalu kapan berubahnya? Kakak sudah pernah janji dua tahun lalu, bahkan pernah bilang juga ke mama, kalau sudah jadi karyawan tetap, Kakak mau lamar aku?”
Kali ini aku terdiam. Benar-benar tidak punya kalimat jawab.
Cilla adalah adik angkatan di kampus yang sudah kupacari sejak kami masih kuliah. Dia pacar pertama dan berharap terakhir. Kami sama-sama merasa cocok satu sama lain plus keluarga yang mendukung. Benar-benar tidak ada halangan atas hubungan kami.
Benar yang dibilang Cilla bahwa aku pernah berjanji untuk melamarnya jika aku sudah resmi jadi karyawan tetap di perusahaan otomatif tempatku bekerja sekarang. Aku tak meragukan sedikit pun hubungan kami ini maka aku berani pernah bilang begitu.
Tapi, entahlah… Aku masih merasa belum mantap kalau segera melamar satu-satunya perempuan yang ku cintai selain ibuku ini.
“Apalagi tho, Rein… Kamu meragukan apa sampai tidak mau segera meresmikan hubunganmu dengan Cilla? Restu Ibu dan keluarga sudah kamu dapat. Apa lagi?” suara Ibuku terdengar menyentil hatiku sesaat kuceritakan apa yang terjadi.
“Sejujurnya Reindard juga tidak tahu kenapa, Bu… Tapi, rasanya ini berhubungan dengan ego diri Rein yang masih ingin meraih lebih tinggi di karir,” jawabku lancar. Dengan ibundaku ini, rasanya yang mendadak tak bisa berupa kalimat, tiba-tiba meluncur saja dari mulut.
“Reinard Putro Saraji, anak ibu dan bapak…,” ibu menyentuh lenganku lembut. Kalau sudah menyebut nama lengkapku begitu, berarti ia sedang hendak serius menceritakan atau mencurahkan isi hati yang harus kudengar baik-baik. “Ibu dari dulu juga selalu percaya pada proses hidupmu. Kamu pasti tahu itu. Urusan hubunganmu dengan Cilla pun, ibu nggak mau maksa apa-apa juga. Tapi… Kalau sekarang ibu beri saran, ini lebih karena kamu melibatkan banyak orang, selain dengan Cilla. Apakah kamu ingin mereka semua itu bertanya hal yang sama berulang?”
Bener juga kata ibu barusan.
Hubunganku dengan Cilla sudah melbatkan banyak orang, terutama keluarga besar kami. Mereka sudah banyak tahu dan bahkan berharap baik dengan semua doa-doanya agar hubungan kami bisa segera diresmikan.
Malas banget kalau ternyata segitu banyak orang menanyakan hal yang sama dengan jawaban yang sama pula. Ibu paling tahu kalau aku paling malas ngurusin pertanyaan yang sebenarnya sudah pada tahu dan bisa jadi belum berubah untuk jangka waktu tertentu. Apalagi urusan pribadi begini.
“Kamu itu kan nurun bapakmu. Inginnya urusan pribadi tidak banyak yang tahu. Tapi, kalau sudah begini, apa kamu mau sembunyi di dalam gua?”
Ah, ibu…
Sekali lagi benar adanya. Walau itu jadi menambah pikiranku saat ini.
^^^^^
Entah apa yang harus kulakukan atas berita yang sangat menggembirakan ini.
“Selamat ya, Reinard… Akhirnya ada kesempatan juga studi sekaligus kerja di Jepang sebagai reward atas segala kerjamu selama ini,” salam Pak Dandi, atasanku langsung yang memberitahukan kabar gembira itu.
Sebentar aku terpana. Buat sekadar membalas salam atau meyambut uluran tangan Pak Dandi pun seperti mendadak beku. Sampai akhirnya Pak Dandi menepuk bahuku, hendak menyedarkanku.
“Eh, Pak… Aduh, maaf,” aku segera tersadar plus sedikit malu. “Terima kasih kabar gembiranya, Pak… Saya… Saya masih belum percaya ini…”
“Tidak apa… Masih ada waktu cukup untuk menyiapkan dokumen pribadimu sebelum proses ke dokumen perusahaan dan lain-lain. Semoga bisa berbareng kamu sadar kalau ini beneran kabar baik buatmu ya…”
Aku mengangguk-angguk.
Tubuhku masih setengah kaku. Seperti shock atas berita yang kuterima. Ruang rapat ini seolah jadi saksi apa yang terjadi. Beberapa teman yang tertinggal, satu-satu menyalami dan ada yang menggodaku seraya memintaku untuk segera sadar dari kekagetan ini.
Meski tak hendak sombong, berita baik yang sudah lama dinanti keluarganya ini pun, kuberanikan bagikan ke WA grup keluarga. Seperti dugaanku sebelumnya, berita ini membuat kehebohan tersendiri. Semua senang dan memberi selamat. Bahkan ada yang sudah siap bantu urusan yang berhubungan, termasuk Mas Dhevi yang ada di Korea sudah beri trik-trik untuk bisa bertahan hidup di negeri orang. “Jepang sama Korea kan beda-beda tipis, Rein. Jadi ya siap-siap lah dengan semua yang kutulis itu haha,” tulisanya diiringi banyak komentar keluarga lain.
Ibu, sebagai orang pertama yang kuberitahu begitu Pak Dendi memberi tahu resmi waktu itu, sudah langsung memberi restu. Beliau bahkan meneteskan air mata saat aku sampai rumah dan memeluknya. Beliau paling tahu bagaimana selama ini aku memang ingin sekali bisa mendapat kesempatan belajar di Jepang dengan tanggungan perusahaan.
“Jangan lepaskan kepercayaan ini ya, Rein..,” pesan ibu yang langsung kuanggukan kepala. Kali ini ada berlipat rasa yakin bahwa aku pasti akan bisa mewujudkan keinginan lama. Bukan demi ibu dan keluarga saja. Tetapi, juga buat diriku sendiri.
Hari-hari persiapan segala hal yang berhubungan itu pun nampak lancar, tanpa ada kendala. Semua hal seperti memberi jalan dan kelancaran sendiri. Bahkan Cilla adalah orang yang paling semangat membantu dan membuat persiapan ini terasa cepat siap.
Tapi….
Semua laksana mendadak berubah drastis ketika ibu harus masuk rumah sakit karena ada masalah di lambungnya. Ibu memang sudah lama menderita sakit di bagian lambung. Mungkin beberapa hari lalu mengkonsumsi sesuatu yang bikin lambungnya berontak padahal selama ini sudah ia jaga dengan baik.
Malam itu bersama Mbak Nadine yang rumahnya kebetulan tidak jauh, kami mengantarkan ibu ke rumah sakit. Beruntungnya rumah sakit bisa segera menangani dan mendapat kamar perawatan. Di masa pandemi begini, kamar pasien kan sering kali penuh. Ibuku dikasihi semesta sehingga beliau pun bisa cepat ditangani walau tetap harus opname.
Padahal besok pagi aku harus menjalani serangkaian tes.
Rangkaian tes ini harus kujalani dengan serius dan sehat karena akan berpengaruh juga pada keputusan bisa atau tidaknya aku pergi tidak lama lagi.
“Kamu istirahatlah. Biar Mbak dan Mas yang nungguin,” saran Mbak Nadine.
“Tapi, Mbak kan Mbak juga ngajar besok?” tolakku karena sebagai dosen Mbak Nadine pasti harus masuk kelas.
“Sudah. Itu urusan gampang. Urusanmu yang lebih penting. Kalau perlu nanti Mbak minta tolong Mas Tius atau yang lain… Kamu urusin yang jadi urusanmu dulu ya…”
Aku tak bisa membantah lagi. Apa yang dibilang Mbak Nadine benar semua. Akhirnya aku mengalah untuk segera pulang dan istirahat sekaligus mencoba tenang supaya bisa fokus pada rangkaian tes yang harus aku hadapi.
^^^^^
Tidak ada alasanku untuk bersyukur.
Ibu ternyata tidak perlu berlama-lama di rumah sakit. Biar ada banyak catatan yang harus dipatuhi selama masa penyambuhan, setidaknya dengan beliau sudah kembali ke rumah, membuatku bisa lebih tenang. Begitu juga Mas Tius dan Mbak Nadine. Lebih mudah juga bolak baliknya.
Tinggal urusan diriku yang makin mendekati hari, makin membuatku dag dig dug.
Tiada hari tanpa semua persiapan dan mengingat-ingat apa yang harus dibawa. Segala petuah dan nasihat pun sudah tak bisa dihitung terdengar di telinga dan berusaha diingat kepala. Bukan cuma dari ibu atau keluarga dekat, dari teman-teman serta kerabat kantor pun ikutan memberi saran serta nasihat.
Termasuk Cilla.
Khusus untuk orang terkasih itu, aku sengaja sesering mungkin menyempatkan waktu bisa bersamanya. Entah sengaja berdua atau apa pun kegiatan yang tidak jauh darinya. Bahkan selama masih ngantor, telepon dan video call adalah “cemilan”ku di saat senggang. Cilla pun dengan riang gembira selalu menerima caraku untuk selalu bersamanya itu.
Tapi, diam-diam mulai ada gelisah menyelinap pelan-pelan.
Awalnya memang dari hati. Entah mengapa mulai terasa merambat pada perbuatan sehari-hari. Isi kepala ini seperti tidak bisa ditutupi dengan semua gerak gerik tubuh.
Ya… Aku mendadak gelisah akan meninggalkan orang-orang yang aku cintai, keluarga, Cilla, teman-teman. Aku harus meninggalkan mereka menuju sebuah tempat yang aku sendiri belum tahu pasti apakah akan bertemu orang-orang seperhatian dan sehangat mereka? Apakah di sana aku memang benar-benar harus mandiri? Kalau ada apa-apa, aku harus ke siapa?
Eh, kalau dibalik, ada apa-apa dengan orang-orang terkasihku di Indonesia terutama ibu, apakah aku bisa secepat kilat membantu mereka?
Ah, apakah sebenarnya aku ini siap meninggalkan mereka demi sesuatu yang sejujurnya untuk obsesi pribadi? Tidakkah itu berarti aku anak yang tidak berbakti?
Mendadak semua pertanyaan itu begitu menguasai kepala. Menyesakkan dada hingga tanpa sadar terbaca oleh ibunda.
“Kamu ini, Rein… Kok yang beginian jatuhnya mirip bapakmu almarhum tho??” ibuku segera mengetahui kegelisahanku. Dia menggeleng-gelengkan kepala tanda keheranannya. “Sudah bagus kamu begitu semangat memenuhi semua syarat dengan pantang menyerah. Semuanya dilancarkan tho? Lha kok mau jelang harinya, kamunya gelisah begini? Apa nggak takut nanti muncul masalah baru?”
Aku diam saja.
Gemuruh di dada ini masih belum mereda.
“Asal kamu tahu ya, Rein… Dulu waktu bapakmu memilih nggak lanjut studi ke Jerman atau mentok karirnya alasanna ya karena keluarga. Dia nggak tega ninggalin keluarga. Padahal bapak ibunya waktu itu dan ibumu ini sudah memberi restu. Kami menyayangkan, tapi nggak bisa maksa juga. Yang melaksanakan toh bapakmu. Kalau nanti dia nggak nyaman, repot juga nanti.”
“Tapi, Bu… Kalau kejadiannya kayak keluarga Bude Warni yang ditinggalkan anak-anaknya, aku nggak mau, Bu… Biar gimana ibu harus ada yang temani dan urusi.”
“Lho… Kan kakak-kakakmu tinggalnya nggak jauh dari sini. Ada tante dan om-mu yang lain pula. Bude Warni itu masalahnya bukan saja karena kedua anaknya sekarang di Korea. Tapi, ada urusan keluarganya yang lain yang membuat kami setengah hati membiarkan Mas Titok nyusul Mas Dhevi ke Korea.”
Aku sedikit terkejut. Hal ini baru saja aku dengar.
“Makanya, pantanglah kamu mundur, Rein… Kami semua sudah merestui dan iklas membiarkanmu meneruskan kesempatan emas ini,” suara ibu begitu lembut. Mengurangi kecemasanku seketika.
Kepala yang semula gemuruh seperti pelan-pelan meluruh. Dalam diam aku berusaha mencerna sekaligus menerima apa yang dibilang ibu barusan.
“Tapi, Bu… Kalau nanti Ibu tiba-tiba sakit seperti kemarin gimana? Mana malam lagi… Siapa yang bisa antar Ibu ke rumah sakit?” ternyata aku masih dikuasai cemas itu.
“Oalah, Rein..” Ibu mencoba meraih bahuku lalu menepuk-nepuk pelan. “Besok Ibu mau bilang deh sama Mbak Yun atau Pak Radi supaya sering-sering nginep sini, biar Ibu nggak sendirian. Siapa tahu juga mau tinggal di sini.” Mbak Yun dan Pak Radi adalah pasangan suami istri yang kerja di rumah sebagai asisten rumah tangga dan supir. Mereka sebenarnya sudah pernah ditawarkan tinggal di belakang rumah, tapi tidak mau. Mungkin sungkan. Entah nanti kalau kondisinya aku sudah di Jepang.
“Eh, atau…” Tiba-tiba mata ibu menatapku tajam. Seperti mendapat ide cemerlang yang berhubungan denganku. Ia pun langsung tersenyum lebar. “Mungkin ini saatnya, Rein buat kamu melamar Cilla…”
“Hah???!!!” Aku terkejut bukan main. Dibanding pemberitahuan saat kesempatan ke Jepang tempo hari, apa yang diusulkan ibu barusan sungguh membuatku kaget, bingung, nggak percaya dan entah apalagi.
“Ibu serius usul begitu?”
Kepala ibu angguk-angguk. “Serius dong… Sejak kapan Ibu tidak serius ngomongin hubungan kamu dengan Cilla?” Kali ini senyum ibu mengiringi. Aku tahu, ibu memang tidak main-main dengan ucapannya. Tapi, mengusulkan sesuatu di hari-hari menjelang keberangkatan begini… Sungguh tak terbayangkan…
“Rein… Sebenarnya Ibu dan kakak-kakakmu juga papa mama Cilla pernah bicara soal pertunangan kalian. Kami sepakat, tidak perlu ada acara mewah dan antar keluarga saja. Acara ramainya nanti saja saat pernikahan kalian. Nah, kalau memang kamu setuju, di waktu yang mepet ini, Ibu percaya pasti bisa dilaksanakan niat baik itu. Kalau dirimu dan Cilla sudah ada ikatan, Ibu yakin, satu ketidaknyamananmudi hari-hari ini pasti berkurang lagi.”
Harus diakui, hal lain yang sempat hinggap menjadi pikiran dan kecemasan itu adalah tentang hubunganku dengan Cilla Ada ketakutan tersendiri atas hubungan ini oleh karena bakal ada jarak lebar diantara kami. Bukan meragukan kesetiaan Cilla atau bahkan diriku sendiri. Tetapi, tidak ada yang tahu, apa yang akan terjadi atas halangan jarak ini.
“Kalau kamu bisa melaksanakan hal ini, berarti kamu sudah dua Langkah melebihi bapakmu. Berani ambil kesempatan buat masa depanmu dengan ke Jepang dan berani melamar orang yang kamu sayang…”
Kali ini aku benar-benar tidak bisa berkomentar lagi.
Ibu benar. Aku memang harus menurut untuk kebaikan banyak hal.
Persiapan menuju lamaran itu pun segera dilakukan. Hari nan mepet rupanya bukan penghalang atas niat baik yang dibantu banyak orang ini. Beruntungku memiliki Cilla dan keluarganya yang tak meminta aneh-aneh. Syarat sebuah pertunangan pun bisa dibilang sederhana. Mudah dicari.
Maka sehari sebelum keberangkatan, aku benar seperti mendapat semangat dan kekuatan baru untuk menyakini seratus persen atas semua yang sudah kuputuskan. Belum pernah aku seyakin dan semantap ini.
Dan… Sebelum siang merajai hari ini, semua keluarga telah bersiap menuju rumah Cilla.
Setelan batik coklat akan menjadi saksi atas keindahan yang bakal terjadi di hari ini.
Kusempatkan bergaya dulu di depan cermin. Memastikan tentang semua persiapan lahiriahku. Senyum berkembang sebagai penanda, aku memang sudah siap.
Sekonyong-konyong, aku fokus pada deretan gigiku.
Putih, bersih, berjejer rapi dan termasuk besar-besar.
Mas Tius dan Mbak Nadine giginya juga begini. Bahkan ke anak-anak mereka.
Ya iyalah… Kami kan anak-anak dan cucu-cucunya bapak. Gigi putih, berjejer rapi dan besar ini salah satu warisan bapak. Berharap kelak, anak-anakku juga bisa dapat kemiripan dari bapak satu ini.
Hmm…
Di depan cermin ini, aku semakin tersenyum lebar.
Sekelebat melihat bapak dalam diriku.
Biar ada banyak dalam diriku yang mirip bapak, tapi kali ini anak bapak satu ini bakal beda karena urusan masa depan dan percintaannya. Aku punya cara sendiri menjadikannya lebih berarti. Nggak mau jadi mirip bapak, batinku. Bangga.
Minta restunya juga ya, Pak… Anaknya bapak satu ini pasti tidak akan mengecewakan bapak.