Sedari kecil aku begitu menyukai sebuah benda, yaitu cermin. Awal mula aku sukapun begitu anehnya. Aku seperti menemukan teman baik yang bisa ku ajak bercerita semauku kapanpun dan dimanapun aku mau. Memang ada banyak orang disekitarku, bukan karena aku tak mempercayai mereka, tapi cermin lebih membuatku nyaman akan cerita yang ku curahkan. Kadang akupun sempat berpikir, “Seperti orang gila saja aku. Haha.”
Sering aku bercerita dengannya sampai waktu berlalu begitu cepatnya. Tersadar sesaat aku menatap cermin dan melihat dari setiap sudut bahwa aku terlihat semakin dewasa saja. Semakin bertambahnya usia, semakin keriputlah fisik kita, bahkan kadang fisik bisa berubah lebih cepat seiring usia yang semakin menua. Dan ketika orang-orang yang jarang bertemu kita pun bertanya, “Apakah kamu orang yang dulu ada disana?”. Cermin justru jauh lebih tau lagi tanpa harus bertanya sebelumnya. Dan aku percaya pada cermin yang artinya percaya pada diriku sendiri.
Tak setiap hari aku menatap diri didepan cermin ini. Akupun tak suka bersolek memperlihatkan betapa indahnya ciptaan Sang Pemilik Alam hanya untuk dapat sanjungan dari makhlukNya. Tapi setiap ku berkaca, aku hanya ingin tahu sudah sejauh mana ku berjalan, apa yang selanjutnya akan ku lakukan, dan perlukah ada perbaikan. Di setiap pertanyaan yang terlontar itu kembali lagi pada jawabanku sendiri yang ku dapatkan dari bercermin (momen introspeksi diri).
Setiap aku lelah ingin menyerah, cermin selalu berkata,”Jika kamu menyerah begitu saja, maka selesai sudah semuanya. Untuk apa kamu berjuang mati-matian jika ujung-ujungnya hanya menyerah tanpa perlawanan. Sang pencipta tak membuatmu untuk itu.!!” Dalam sekejap kata-kata itu membanjiri hati dan pikiranku. Aku berusaha bangkit lagi sekalipun dengan langkah yang terseret pelan. Pikirku, “Hidupku berliku seperti apapun pasti tetap ada ujung.” Dan akupun meyakini itu.
Ketika aku sedang bersedih hatiku bercerita dengan cermin, ku luapkan segala amarahku padanya, ku lampiaskan sekuat tenaga agar tak ada orang lain yang ku jadikan tujuan luapan amarah hanya karena sedihku menjadikan orang lain ikut merasakan kesedihan ini berlarut-larut tanpa henti arahnya sampai kemana.
Pikirku, “Tak apalah cerminku, kau ku jadikan pelampiasan amarahku bukan karena ku tak menyukaimu, tapi di situlah letak keunikanmu. Kau hanya asyik mendengar dan cerita itupun berlalu begitu saja. Aling-aling menjauh justru kau menenangkan setiap suka dukaku.”
Ketika senang menghampiri pun aku begitu, melampiaskannya dalam kesenangan yang masih dalam batas wajarnya. Dan setelah itu aku kembali beraktivitas seolah tak terjadi apa-apa saat itu juga. Ajaibnya seakan cermin mampu mengembalikan warna-warni semangatku yang sempat pudar tertelan kesedihan. Aneh kan? “Kadang terlihat baik-baik saja itu perlu saat kita sebenarnya sedang terluka.”
Aku membiasakan diri untuk tak melebihkan segala hal yang terjadi dalam hidupku. Aku tak mau banyak orang terluka karena sikapku. Aku membuat hidupku seolah tak pernah ada hal istimewa yang perlu diungkapkan didepan khalayak. Dan cerminlah yang menjadi perantara perjalanan ini bermuara.
Aku banyak berserah diri setelah sering bercengkerama seperti orang gila yang juga berbicara dengan dirinya sendiri didepan cermin. “Bisakah kamu membayangkan itu? Segila itulah diriku. Hehe.” Tapi setelah itu lega hati rasanya meluapkan sedih senang begitu saja tanpa merasa bersalah pada siapapun. Yes, cermin bisa membantumu mencari solusi ditengah kesulitan yang kau alami. Berkacalah sambil berbicara didepan cermin, layaknya kau sedang mencari dirimu sendiri didalam cermin tersebut.
Aku tak memuja cermin, karena dia hanya sebuah benda mati. Tapi aku begitu kagum padanya. Dalam hati ku berbisik, “Cermin tak pernah berbohong pada pemiliknya. Cermin selalu jujur pada apapun yang terlihat didepannya. Dia tak pernah membedakan satu dengan yang lainnya. Dia hanya melihat secara apa adanya tanpa aling-aling membela atau memaki pemiliknya.”
Betapa ajaibnya hidup, membuat kita sering lupa akan Sang Pencipta. Hingga dalam sekejap mata akupun sempat lupa bahwa diri yang terlihat dalam cermin ini suatu saat nanti juga tetap hilang tertelan bumi dan satu persatu pun akan menghadap Sang Pencipta beserta segala hiruk pikuk suka maupun duka didalamnya.