#WriteYourMark
Menakutkan. Penuh rintangan. Susah. Memerlukan biaya besar. Butuh banyak koneksi. Harus keturunan pengusaha juga. Nyari tempat nggak gampang. Sewa tempat jualan harus tahunan. Saingan banyak. Belum cukup modal. Masih terlalu muda. Takut nggak berhasil. Nggak sanggup bangkrut.
Itulah gejolak negatifitas yang bergemuruh di kepala saat terpikir untuk mulai menjalankan usaha. Saat itu tahun duaribu sebelas. Saya sedang jatuh. Karier yang mandek. Novel yang tidak kunjung diminati penerbit. Keuangan hanya cukup untuk makan. Saldo tabungan yang hanya bertahan sehari dua hari. Pokoknya saat itu saya merasa masa depan seperti loteng yang dipenuhi sarang laba-laba: Suram. Ada dua peperangan yang terjadi dalam hati saya saat itu: antara optimisme sebuah gemilangnya masa depan dengan menjadi Entrepreneur dan pesimisme si mental karyawan yang sangat takut kehilangan zona amannya. Optimisme kalah. Saya pun sejenak melupakan ide gila yang sepertinya memang sulit untuk direalisasikan. Hingga akhirnya si mental tempe membelokkan jalur kehidupan ke sebuah Cafe kecil yang baru beroperasi di daerah Cinere. Kembali meringkuk aman di balik ketek kenyamanan semu sebagai karyawan. Di sana saya bekerja sambil menghibur diri dengan menyalurkan passion saya dalam memasak, sebagai asisten chef yang kelak ketika berhasil melalui masa percobaan dan pelatihan akan diangkat menjadi kepala Chef. ( rekam jejak jatuh bangun saya sebelum terpikir untuk benar-benar memulai usaha ada di
catatan ini ) .
Di penghujung 2011 panggilan itu akhirnya datang. Keinginan untuk menjalankan usaha kembali menggebu setelah pada suatu ketika saya bengong memikirkan nasib masa depan dan melakukan kilas balik masa lalu. Saat itu saya tersadar bahwa minat berbisnis sudah saya jalani dari kecil. Karena sering ikut Ibu ke bedeng penampungan barang bekas di kabupaten Manonjaya yang berjarak satu jam dari rumah, usaha yang Ibu ambil alih dari Ayah saya yang meninggal saat saya berumur 6 tahun, saya jadi tahu bahwa komponen rumah tangga bekas dari alumunium, kuningan, plastik dan besi ternyata memiliki nilai jual tinggi. Berbekal kiloan portable dan modal hasil mengumpulkan uang jajan, saya mulai membeli rongsokan dari rumah teman-teman yang biasa bermain dengan saya. Dan dengan modal tujuh ribu saat itu, saya bisa jajan dan bersenang-senang dengan nilai uang duapuluh ribu dan uang modal utuh sebesar tujuh ribu. Selain membeli barang bekas, saya juga pernah memasarkan mukena ringkas bahkan kantong kresek di pasar induk setiap menjelang lebaran. Semua itu dilakukan ketika saya masih SD.
Ahhirnya saya memutuskan untuk segera memulainya. Tapi dari mana? Gimana caranya? Bikin usaha apa? Kebingungan kembali menyapa. Namun akhirnya saya menemukan mantra ajaib dari tagline sepatu terkenal: JUST DO IT. Kalo nggak dijalanin ya gimana bisa tau ide bisnis kita berhasil atau tidak? Akhirnya saya memutuskan untuk membuat usaha di bidang kuliner, makaroni pedas. Karena cemilan ini mempunyai ikatan sejarah yang kuat dengan masa kecil dan Ibu saya.
Langkah pertama yang saya ambil adalah tes pasar. Target penjualan mahasiswa. Tapi untuk memulai usaha dari nol saat itu sama sekali tidak ada uang. Modal masih belum terkumpul dan hanya cukup untuk membeli bahan mentah sebanyak sepuluh kilo dan bumbu secukupnya. Saya pun memutar otak, agar bisa jualan tanpa terlalu banyak keluar modal. Akhirnya ketika dalam perjalanan pulang dari Jakarta menuju kampung halaman di Tasikmalaya, saya lewat daerah Jatinangor yang ternyata baru tahu daerah kampus UNPAD. Akhirnya saya turun sejenak untuk mengamati situasi dan mencoba peruntungan, berharap ada suatu hal yang bisa membuka jalan dalam memulai usaha. Entah itu informasi, sudut pandang, percikan ide atau pembakar semangat. Kita tidak pernah tau dari mana hal esensial itu datang, sangat random dan di luar perkiraan.
Seturunnya dari angkot saya menuju gerobak penjual tahu pedas yang berada di trotoar pinggir jalan yang panas, depan Toko Yanto yang keadaannya hampir bangkrut yang akhrinya saya tahu karena pak Yanto nya senang judi. Sambil makan saya pun mulai membaca situasi dengan membuka percakapan dengan si pedagang yang bernama Teh Iis. Saya bertanya gimana keadaan penjualan, perilaku pembeli, karakter penduduk sekitar, omzet penjualan, keamanan, bentuk persaingan dan sebagainya. Akhirnya Teh Iis penasaran karena pertanyaan saya semakin mendetil. Saya pun bilang kalau saya sedang mencari tempat untuk jualan makaroni pedas. Teh Iis langsung mematahkan semangat dengan berkata bahwa sudah ada yang jualan makaroni, rasanya pun bermacam-macam. Biasa pake gerobak sepeda dan nongkrong di pinggir jalan, tapi sudah tidak terlalu laku. Awalnya saya sempat terpengaruh. Tapi hati kecil saya tetap yakin kalau ini pasti berhasil. Pokonya saya kekeuh menjelaskan secara mendetil betapa usaha ini masih memiliki peluang bagus. Setelah penjelasan panjang lebar akhirnya teh Iis mengutarakan sebuah ide. Penjualan Tahu Pedas nya sudah mengalami penurunan dalam beberapa bulan karena banyaknya saingan. Teh Iis menawarkan kerja sama. Dia yang memodali gerobak serta peralatannya sedangkan saya eksekusi ide dan pelaksanaannya. Kesepakatan tercapai. Dua minggu kemudian gerobak kecil dari bahan alumunium pun jadi. Saya mulai berjualan. Saya ngekost di dalam gang tidak jauh dari tempat jualan, sekaligus sebagai tempat penyimpanan bahan baku. Penjualan pertama cukup signifikan, bukan dari pendapatan uangnya melainkan dari reaksi pembeli. Selalu ada reaksi positif ketika mereka mencicipi dagangan kami, dan itu sudah lebih dari cukup untuk memompa semangat dan semakin membakar optimisme bahwa usaha ini bisa berhasil. Omzet hanya sekitar delapan puluh sampai seratus ribu karena situasi perkuliahan mahasiswa yang memasuki libur panjang. Sebulan berjalan, omzet masih belum ada peningkatan signifikan. Saya tetap semangat meskipun jerawat semakin banyak, badan menjadi dekil dan hitam karena sering kena matahari dan debu jalanan. Saya tidak peduli. Saya tetap pada semangat dan keyakinan. Karena esensi dari berwirausaha adalah menjalani beberapa tahun kehidupan tidak menyenangkan yang kebanyakan orang tidak akan mau jalani agar bisa menjalani sisa tahun-tahun hidup kita dengan cara yang tidak semua orang bisa jalani. Inilah kunci pelecut semangat yang selalu saya pegang.
dua minggu kemudian saya dan Teh Iis harus pecah kongsi. Suami teh Iis yang jarang ada di rumah karena alasan pekerjaan sebagai penjaga toko kelontongan di Dipati Ukur, merasa risih karena tetangga mencibir Teh Iis yang -menurut mereka- tidak pantas berjualan dengan seorang bujangan sedangkan suaminya tidak pernah ada di rumah. Teh Iis dan suaminya dengan kerendahan hati meminta saya untuk merelakan keadaan ini dengan kompensasi uang membeli resep usaha sebesar satu juta. Saya sama sekali tidak keberatan karena tokh tujuan utama saya saat itu adalah sebagai tes pasar. Dan waktu satu bulan setengah sudah cukup untuk meyakinkan saya bahwa usaha ini bisa berhasil dijalankan di mana saja. Hasil respon pangsa pasar sudah didapat, dagangan saya digemari oleh semua suku yang diwakili mahasiswa UNPAD yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Bahkan negara tetangga. Meski memang saat itu saya juga bingung, bagaimana caranya memulai usaha ini di Jakarta.
Pertengahan duaribu duabelas saya kembali menulis skenario sinetron. Kali itu saya bertekad ini untuk yang terakhir kalinya karena setelah modal terkumpul, saya akan segera merealisasikan rencana yang sudah sangat matang ini. Saya semakin mendalami semua aspek penjualan mulai dari harga bahan baku, bumbu, minyak, sewa tempat dan lain-lain. Setiap pulang ke Tasik saya selalu diskusi dengan Ibu saya, menanyakan berapa harga minyak, tabung gas serta berapa kali penggorengan habisnya dan perangkat memasak. Dari situ saya mendapat hitungan kasar, berapa banyak porsi yang harus saya jual dengan harga yang pas agar bisa mendapatkan keuntungan. Meski tidak banyak diekspresikan, saya bisa melihat betapa besarnya dukungan Ibu dari sorot matanya saat saya menjabarkan panjang lebar bahwa usaha ini akan berjalan. Ibu saya hanya berkata bahwa, beliau percaya dengan apa yang saya lakukan. Dan saya semakin bertekad untuk menjalankan usaha ini, membuatnya berhasil dan membanggakan beliau. Karena makaroni pedas ini, dari pengakuan pribadi keluarga kami berdasarkan reaksi tamu yang mencicipinya saat lebaran tiba dari tahun sembilan puluh empat, adalah hasil kreasi pertama Ibu saya, yang akhirnya bertahun-tahun kemudian saudara dan tetangga mulai ikut menyajikan di setiap lebaran. Hingga akhirnya Tasikmalaya kini menjadi pemasok terbesar makaroni pedas ke kota-kota besar. Tidak menutup kemungkinan di desa lain juga sudah ada yang membuat, tapi saya tahu Ibu saya menciptakan makaroni goreng pedas ini dari kreasi imajinasinya sendiri. Dan saya pikir, ketika saya berhasil, beliau pasti akan bangga. Dan ini adalah bentuk penghargaan saya untuknya. Pokoknya saya bertekad, Tahun duaribu tigabelas saya sudah memulai usaha saya.
Tapi bukan hidup namanya kalau tidak mempersembahkan twist maha tak terduga. Tanpa peringatan, kekuatan dan semangat terbesar saya untuk membuka usaha tiba-tiba memasuki masa kadaluarsanya. Januari duaribu tigabelas, Ibu meninggal. Saya terpuruk dan kehilangan gairah hidup. Tidak ada lagi minat untuk melanjutkan rencana. Yang saya pikirkan saat itu adalah saya hanya ingin memasak dan menari. Karena dua hal itu yang bisa mendistraksi saya dari kekosongan hidup. Saya sempat berpikir untuk bekerja kembali di restoran di posisi dapur dan malamnya mengikuti kursus tari kontemporer. Tidak apa gaji pas-pasan yang penting saya bisa menjalani hidup dengan apa yang saya cintai.
Ketika saya dalam keadaan sedih dan hilang arah, saya biasa menghibur diri dengan menyusuri jalanan jakarta dari atas angkutan umum atau pun Bus Way. Dan saat itu pun saya melakukan hal yang sama. Duduk di bangku paling belakang dan mengamati jalanan yang dilewati dengan pikiran yang tidak jelas bentuknya. Turun di Halte manapun hati saya ingin turun dan naik kembali saat mood saya ingin pergi. Entah apa korelasinya tapi Setidaknya hal itu sedikit mendistraksi nyeri.
Hingga suatu ketika, saya lupa detail kejadiannya, saya mengalami sebuah pencerahan. Saya memberikan sejumlah uang kepada orang yang sepertinya membutuhkan. Dan reaksi yang saya dapatkan sungguh di luar dugaan. Sorot matanya memancarkan kelegaan dan rasa terimakasih, percik kebahagiaan yang saya rasakan ketika mengetahui orang itu bahagia karena ada yang mempedulikannya. Uang yang saya beri tidak seberapa, tapi apa yang saya rasakan melebihi segalanya. Perasaan yang sama ketika saya berada di posisi bawah, kebingungan yang serupa akan masa depan dan kelangsungan hidup. Saya seperti menolong diri saya sendiri. Akhirnya saat itu saya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa, esensi hidup adalah dengan membahagiakan orang lain. Karena kebahagiaan sejati bukan saat kita mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi saat kita membaginya dengan orang lain. Dari situ saya mulai berpikir, saya masih punya kewajiban. Adik saya masih membutuhkan dukungan maka dari itu saya tidak boleh larut dalam keterpurukan. Dari situ saya kembali menemukan tujuan hidup: berguna dan membahagiakan sesama. Mustahil untuk bisa membahagiakan semua orang, tapi saya pikir setidaknya minimal pasti ada ada satu orang yang bisa kita kurangi sedikit beban hidupnya. Uang memang bukan segalanya, tapi menolong orang yang sakit, membayar uang sekolah, membeli lauk pauk untuk makan, tetap membutuhkan uang. Saya akhirnya sadar.
Saya kembali mengumpulkan kekuatan. Modal habis untuk keperluan masa berkabung, dan juga dalam rangka menghibur diri. Setelah mendapat pinjaman modal dari seorang teman yang sangat baik hati, akhirnya saya mulai menjalankan usaha dengan pembagian sekian persen dari keuntungan.
Diawali dengan mencari tempat berjualan, saya memutuskan untuk melakukan pencarian di daerah kampus Binus. Saya susuri jalan-jalan yang sekiranya potensial, namun di hari pertama tidak membuahkan hasil. Semua tempat sudah diisi dan semua orang yang saya tanyai selalu menjawab kalau tempat berjualan di daerah itu sudah tidak tersedia. Saya tidak menyerah, keesokan harinya saya menyusuri jalur yang berbeda. Setelah beberapa jam berjalan kaki dan berpanas-panasan, tubuh saya menyampaikan isyarat untuk balik badan dan menyerah saja. Tapi saat itu mata saya melihat ada sebuah pertigaan duapuluh meter dari tempat saya berdiri. Lantas hati kecil saya berkata, ‘Ayo kita lihat ada apa di belokan itu. Hanya beberapa langkah aja, kita cari tahu situasi di jajaran sana.’ dan kaki saya otomatis melangkah sebelum otak saya memberikan perintah. Di situlah insting saya menemukan jodohnya. Delapan langkah dari belokan saya menemukan sebuah kios kecil yang tidak berpenghuni, dan kebetulan pemilik rumah sedang duduk di luar. Saya pun langsung tanya, dan ternyata kios itu memang dikontrakan. Tanpa pikir panjang, saya membayar uang muka. Dua minggu kemudian warung kecil saya beres didandani, dan tanggal sepuluh Maret duaribu tigabelas, Makaroni Pedas Ngehe mulai beropeasi. Ada tiga level pedas yaitu #CiwitBuTina, #KepretPakEndang dan #PitnahBuLilis. Betul, level yang terakhir adalah level yang paling nyelekit pedasnya.
Ngehe. Merek dagang ini menimbulkan cukup banyak kontroversi. Pendapat negatif berlontaran dari berbagai sisi. Bahkan sahabat terdekat saya sempat memperingatkan untuk berhati-hati karena ini berkaitan dengan makanan yang memerlukan pencitraan bagus. Tapi saya tetap pada pendirian saya, karena seandainya saya mendengarkan negatifitas dan komentar orang-orang dari awal perencanaan, mungkin usaha saya tidak akan berjalan sampai sekarang. Penciptaan merk Ngehe ini sudah melalu proses pemikiran panjang dan memiliki makna yang dalam. Ini adalah sesuatu yang personal yang melibatkan sebagian besar peristiwa dalam kehidupan saya dan apa yang menjadi kepedulian dan misi saya dalam hidup ini.
Ngehe adalah saat saya tidak bisa membeli sepatu seperti teman-teman sekolah saya beli,
Ngehe adalah saat guru bahasa Indonesia waktu kelas satu SMP memfitnah puisi tema perjuangan yang saya ciptakan merupakan hasil plagiasi,
Ngehe adalah saat di mana guru bahasa Indonesia mencubit lengan saya karena saya sok-sokan mengerjakan soal di papan tulisan dan berujung dengan jawaban salah, padahal soal itu diambil dari PR yang sama sekali tidak saya kerjakan,
Ngehe adalah saat guru SD menampar saya karena saya mengikat tali saat latihan upacara bendera dengan format yang salah,
Ngehe adalah saat saya harus tidur di mesjid atau emper tokokarena takut mengganggu orang tua teman yang rumahnya saya tumpangi,
Ngehe adalah saat saya harus bekerja sebagai tukang cuci piring juga membantu masak di sebuah kantin karyawan di Cinere Mall demi mendapatkan makan gratis dan upah lima ribu rupiah perhari, dari jam tujuh pagi sampai jam enam sore,
Ngehe adalah saat saya dimaki-maki asisten manajer restoran di hadapan customer saat saya meminta beliau untuk memarahi saya tidak di depan customer,
Ngehe adalah saat kita lapar tapi hanya ada pohon jambu batu pemilik ibu Kost sebagai pengganjal perut,
Ngehe adalah saat harus pura-pura ketinggalan dompet saat makan di warteg karena uang pinjaman tidak kunjung ditransfer,
Ngehe adalah saat mimpi untuk menerbitkan novel selalu mendapatkan rintangan dari berbagai sisi,
Ngehe adalah saat tidak ada satupun yang percaya bahwa kita bisa berhasil memperjuangkan mimpi,
Ngehe adalah saat melihat Ibu saya menangis saat berdo’a di akhir sholatnya,
Ngehe adalah saat tahu Ibu saya harus menjual kain untuk menyambung hidup,
Ngehe adalah saat kita tidak bisa membantu keluarga sahabat dan orang-orang yang kita sayangi karena keterbatasan finansial,
Ngehe adalah titik balik di mana kelemahan saya akhirnya saya ubah menjadi kekuatan,
Ngehe adalah ‘perlawanan’ saya akan terhadap beberapa fase hidup saya yang terasa menyebalkan,
Ngehe adalah pengikat emosi antara saya dengan Ibu saya,
“Ngehe adalah bentuk pengabdian saya terhadap bangsa, lingkungan, alam dan sesama.” Ini terdengar utopis untuk sebagian orang skeptis. Bahkan sahabat terdekat saya berujar, ‘err…My brain suddenly shuts down’ saat saya dengan menjabarkan misi visi saya ketika akan memulai buka usaha dan menerangkan singkatan Ngehe tersebut. Bagi common society Mungkin ini terlalu naif. Mungkin ini terlalu mengada-ngada. Mungkin ini sekedar semangat idealisme yang akan padam saat kita menginjak usia tigapuluh, kepedulian yang akan luntur saat kita akhirnya semakin disibukan dengan kepentingan eksistensi diri sendiri. Dan dari situ saya semakin sadar bahwa pola pikir generasi muda kita bukan hanya sempit, tapi tertutup dengan mindset kekerenan semu yang berasal dari adaptasi luar, bukan dari keberagaman budaya dan kesadaran dalam diri sendiri. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk tidak membahas lagi hal ini dengan siapapun. Dampak yang ada hanyalah opini destruktif terhadap semua rencana yang saya bangun. Biarlah saya menjalankan usaha ini dengan tenang tanpa harus mengumbar visi misi ini. Saya tidak peduli orang menertawakan. Saya tidak peduli orang bersikap skeptis. Karena pada akhirnya perbaikan keadaan bangsa dimulai dari diri kita sendiri, BENAR-BENAR MULAI MELAKSANAKAN bukan hanya sebatas lontaran jargon dan moto hidup. Dalam keadaan seperti sekarang ini, jamannya ‘Mulai Mencintai Lingkungan’ sudah lewat. Sekarang sudah saatnya “Bertindak Menyelamatkan Lingkungan” We’re so done talking about how to save environment tanpa tindakan jelas. We’are so done planning. We are now in crucial momment to take a real serious action. Saya juga akhirnya menyadari bahwa kata-kata dan himbauan memiliki efektifitas minim dalam merubah kebiasaan dan menumbuhkan kepedulian seseorang. Saya yakin di luar sana banyak yang peduli, hanya saja belum tergugah untuk segera mengeksekusi kepedulian terhadap tindakan nyata. Dan inilah Ngehe, sebuah bentuk pengabdian misi visi saya. Jika kelak usaha saya menjadi besar, maka lima bidang tersebut yang akan menjadi fokus utama kepedulian saya.
Kunci dari menjalankan bisnis adalah ‘to add some extra values’ pada bisnis yang kita geluti. Jangan takut menjalankan bisnis di segmen yang sudah dilakukan banyak orang selama kita bisa memberikan nilai lebih bagi customer. Bisnis is all about to accomodate customer’s satisfaction. Kepuasan konsumen tidak selalu dari hal general. Keramah tamahan dalam melayani sudah menjadi bagian utama dari keberhasilan bisnis, namun selalu ingat bahwa keramahan yang berlebihan hanya menimbulkan efek ketidak nyamanan terhadap pembeli. Melayani konsumen tidak selalu harus senyum terlewat manis dan intonasi yang terkesan mengagung-agungkan. Kita sebagai pelaku usaha juga harus mempunyai pride. Kita menjual barang/jasa/makanan , bukan servis pujian. Saya memposisikan diri sebagai pembeli, ketika datang ke sebuah tempat makan yang servisnya terlalu artifisial, maka perasaan yang muncul adalah jengah. Posisikan diri sebagai teman untuk konsumen, bukan sebagai pelaku bisnis yang menggantungkan omzet dari para pembeli. Be real with your hosptality, Contoh singkat dari aplikasi ‘add some extra values’ misal, Fitness Centre. Dari sekian banyaknya fitness centre mewah di jakarta, pelaku bisnis bisa menjaring pelanggan baru dengan menambahkan value di fitness centre nya seperti: colokan di setiap loker jadi sementara berlatih bisa mengisi batre gadget, ataupun cotton bud yang di meja dekat hari dryer. kalau dihitung secara ekonomi, cotton bud dua batang tidak memerlukan biaya besar tapi kelebihan ini lah yang bisa menjadi daya tarik orang untuk mendaftarkan diri sebagai anggota. Atau misal Samsung membuat remote digital yang terintegrasi dengan produk lainnya. Misal remote TV, AC dan DVD bisa dioperasikan dalam satu alat. Ini bisa sangat membantu konsumen karena kebanyakan remote terkadang membuat kita pusing mencari. Atau jualan tahu sumedang, misal. Kita bisa mengganti cabe rawit hijau dengan cabe rawit merah merona. Ini bukan hal penting tapi berpengaruh besar terhadap minat pembeli. Intinya, tambahkan nilai lebih pada dagangan kita, sesuatu yang ringan, sepele, simpel tapi sebenarnya bisa menjadi bagian utama dalam menambahkan kepuasan pelanggan. Perhatikan pada detil yang tidak mungkin terpikir oleh pesaing lain tapi konsumen bisa aware terhadap kelebihan itu. Dan ketika kita sudah berhasil mendapatkan kepuasan konsumen, makan bisnis kita akan berjalan dengan sendirinya.
Kini Ngehe sudah beroperasi hampir delapan bulan. Perkembangan yang cukup signifikan. Satu yang membuat saya bahagia adalah hubungan yang terjalin antara kami kru Ngehe dengan pembeli. Energi dan keakraban terasa sangat kental dan hangat. Para pembeli terasa seperti teman dan mereka senang mengajak kami bicara dan becanda. Semua terjadi dengan sendirinya, tanpa plot rencana ataupun skenario. karena sebaik-baiknya bisnis adalah membawa interaksi jual beli ke tingkat selanjutnya, sebuah keakraban serupa teman yang memberikan kenyamanan tanpa merasa dipaksakan.
Jangan biarkan komentar orang-orang menghambat niat untuk memulai usaha. Hidup itu singkat. Terlalu sedikit kesempatan untuk menikmatinya ketika harus terikat dengan sesuatu yang hanya bersifat kenyamanan semu. Break the rules. Be stupid. Get stumbled. Enjoy the underdog circumstances. Karena semua pengalaman pahit pada akhirnya akan memberikan pencerahan dan pembelajaran. Jangan takut melakukan hal berbeda. Whatever you think, think the opposite. A very inspiring Book by Paul Arden. Baca deh, karena buku itu menyadarkan kita bahwa keberhasilan seseorang karena dia berhasil berpikir beda dari kepala yang ada di sekitarnya. Dan sebagai penutup: You Are What You Believe.